Agama Kristen adalah sebuah
agama yang berdasar pada ajaran, hidup, sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus
Kristus. Agama ini meyakini Yesus adalah Tuhan dan Mesias, juru selamat bagi
seluruh umat manusia, yang menebus manusia dari dosa. Mereka beribadah di gereja
dan kitab suci mereka adalah Alkitab. Murid-murid Yesus Kristus pertama
kali dipanggil Kristen di Antiokia (Kisah Para Rasul 11:26).
Etika
pada awalnya tidak mungkin datang dari dalam diri seseorang, etika harus datang
dari luar diri manusia itu sendiri. Sebab darimana ia peroleh aturan-aturan
tersebut, tentu dari luar dirinya, apakah itu dari ayah/ Ibu, komunitasnya,
budayanya, agama atau bangsanya. Tidak mungkin seseorang yang baru lahir, dapat
memiliki etika tanpa keterlibatan pihak luar (ayah/ Ibu, lingkungan/ budaya,
agama). Ia baru dapat mengembangkan etikanya sendiri ketika ia telah menjadi
dewasa, tetapi sekalipun demikian, etika dasar (baca: bawaan) tetap sedikit
banyaknya melekat pada orang tersebut. Dan saya kira seluruh system etika
bersifat demikian, di bangsa manapun, dibudaya manapun, bahkan individu
sekalipun. Hal ini senada dengan apa yang diutarakan oleh Andre Comte, bahwa
etika datang kepada seseorang dari masa lalu yang berakar di dalam sejarah
untuk masyarakat yang dimulai sejak masa kanak-kanak, namun tidak menutup
kemungkinan untuk dikritisi bahkan dapat memberikan suatu inovasi dalam etika
yang dipegangnya selanjutnya.[1]
Orang
Kristen dan gereja beranggapan politik itu kotor dan duniawi, maka harus
dijauhi. Core business gereja adalah membina kerohanian umat, bukan
mengurusi barang dunia fana itu. Tetapi sekarang terjadi perubahan yang cukup
mencengangkan. Tidak sedikit orang Kristen, pendeta bahkan gereja yang
tiba-tiba gandrung pada politik. Bahkan juga mencalonkan diri baik sebagai
anggota legislative maupun eksekutif, di tingkat lokal maupun nasional,
sekalipun belum tentu memiliki pengalaman, pengetahuan dan kemampuan politik
yang memadai. GKI biasanya sangat berhati-hati dalam menyikapi berbagai
perubahan yang ada.
Dari
pemaparan di atas penulis akan membahas tentang bagaimana Etika Kristen dalam
berpolitik dan keunggulan Etika Kristen dibanding Etika Alamiah yang akan di
ungkapkan pada bab pembahasan.
PEMBAHASAN
1. Definisi Etika Kristen
Berasal dari bahasa Yunani ethos, berarti
kebiasaan atau
adat, merupakan suatu cabang ilmu teologi yang memajukan masalah tentang
sesuatu yang baik dari
sudut pandang kekristenan.
Apabila dilihat
dari sudut pandang
injil, maka etika Kristen adalah segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah dan itulah yang
baik.[2] Dengan
demikian, maka etika Kristen merupakan satu tindakan yang bila diukur secara
moral baik.[3]
Saat ini, permasalahan yang dihadapi etika Kristen ialah kehendak Allah dari manusia yang diciptakan
menurut gambarNya, serta sikap manusia terhadap kehendak Allah itu.[4]
2. Etika
Perjanjian Lama
Titik tolok etika perjanjian lama adalah anugerah Allah
terhadap umatnya dan tuntutan perintahnya yang terikat pada tindakannya demi
keselamatan umat manusia. Oleh karena itu, bentuk etika Perjanjian Lama
berkisar pada tindakan Allah dalam sejarah umatnya dan juga yang menuntut
respon yang serasi. Hal ini juga menyebabkan konsep etika Perjanjian Lama
selaras dengan sebuah etika yang dinamakan dengan “etika teonom” yang
berlandaskan hubungan antara Allah dan umatnya. Sesuai dengan konsep ini, maka
dasar etika Perjanjian Lama dapat disoroti dari empat sisi. Pertama,
menanggapi perbuatan Allah dimana bangsa Israel harus memiliki dorongan untuk
mengarah pada kelakuan etis dalam wujud tanggapan akan tindakan-tindakan Allah
dalam sejarah kehidupan mereka. Kedua, mengikuti teladan Allah, dimana
bangsa Israel wajib untuk memperlihatkan sifat Allah melalui kelakuan mereka. Ketiga,
hidup dibawah pemerintahan Allah, maksudnya adalah kedaulatan dan kewibawaan
Allah sebagai Raja Ilahi yang mebuat mmanusia harus tunduk sebagai makhluk
ciptaan dan hamba. Keempat adalah menaati perintah Allah.[5]
Etika Perjanjian Lama pada dasarnya tidak dapat terlepas
dari moralitas
manusia
pertama. Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang istimewa, yaitu sebagai
gambar Allah, dalam bahasa Ibrani disebut “tselem” dan dalam bahasa
latin disebut “Imago Dei”. Tidak hanya itu saja, manusia yang diciptakan Allah juga
memiliki kesamaan moral
dengan Allah
yang maha suci, hal itu terjadi pada waktu Adam dan Hawa belum jatuh ke dalam dosa.[6]
Manusia yang
telah diciptakan Allah selanjutnya merupakan makhluk moral yang diberi
kemampuan memilih apa yang akan dilakukannya, apakah akan mematuhi perintah-perintah
Allah atau malah menentangnya. Hal ini
terjadi karena manusia adalah pribadi bebas yang juga memiliki kehendak bebas, namun kehendak bebas
haruslah disertai dengan tanggung jawab. Pada waktu Adam dan Hawa telah
diciptakan, Allah memberikan sebuah perintah kepada Adam yaitu berupa larangan
untuk memetik dan memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat
yang berada dalam taman eden, namun perintah dari Allah tidak dihiraukan oleh
Adam dan Hawa dan mereka mengambil sebuah keputusan etis yaitu dengan memetik
dan memakan buah tersebut, ketika Allah mengetahui perbuatan tersebut ada
sebuah tindakan yang dilakukan oleh Allah dan hal ini merupakan ethos Allah (ethos:
sikap dasar dalam berbuat sesuatu). Tindakan Allah ini merupakan inisiatif dari
Allah sendiri yang mencerminkan sikap kasihNya pada manusia, terdapat dua hal
yang dilakukan Allah:
a. Ketika manusia
pertama jatuh ke dalam dosa yang kemudian telanjang dan merasa malu dan
bersembunyi di antara pohon-pohon dalam taman, Allah mencarinya dan lebih
dahulu menyapanya, dimanakah engkau? (Kejadian 3: 9)
b. Untuk menutupi
ketelanjangan manusia, Allah membuatkan pakaian dari kulit binatang, lalu
mengenakannya pada kedua manusia berdosa,Adam dan istrinya Hawa (Kejadian 3: 21)
Ethos yang ditunjukkan Allah telah
menunjukkan bahwa Allah mau merendahkan diriNya dan memperlihatkan sikap
kasihnya kepada manusia berdosa,
namun sikap dan respon manusia terhadap kebaikan Allah justru semakin
meningkatkan perbuatan dosanya. Hal ini dapat
terlihat pada anak Adam yang
bernama Kain yang begitu tega dan kejam membunuh
adiknya yang bernama Habel hanya karena
iri terhadap soal persembahan. Bukan
hanya itu, ketika
manusia bertambah banyak, perbuatannya semakin dipenuhi kejahatan, sampai Tuhan
menyesal telah menciptakan manusia (Kejadian 6: 5-6).[7]
3. Etika
Perjanjian Baru
Etika
Perjanjian Baru adalah sebuah petunjuk-petunjuk sikap dan kelakuan
orang-orang Kristen, oleh karena itu etika Perjanjian Baru saling terkait
dengan kelakuan orang-orang Kristen yang pertama dan dengan kehidupan mereka
sehari-hari.[8]
4. Ajaran Etik Yesus Kristus
Ajaran etik
Yesus Kristus di antaranya terdapat dalam Injil-injil sinoptis (Matius, Markus,
Lukas), salah satu ajaran tersebut adalah khotbah di bukit (Mat 5:7; Luk 6 :
20-49). Dalam khotbah di bukit, Yesus mempermasalahkan etik orang Farisi yang
sangat berpegang teguh pada pelaksanaan hukum taurat tetapi tidak mengarah
kepada kegenapan hukum taurat dan kitab para nabi. Dalam hal ini Yesus
mengatakan bahwa “jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup
keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan
masuk ke dalam kerajaan surga“ (Matius 5: 20), karena Kerajaan Allah sudah
dekat kepadamu (Lukas 10: 9).[9]
Selain itu, ajaran etik Yesus juga meminta kepada manusia untuk menjadi seorang
manusia yang bersifat ilahi. Kata ilahi ini memiliki arti menjadi seseorang
yang lebih baik dari yang lain. Sebagai
contoh, Yesus mengajarkan “Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu,
melainkan siapapun menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.
Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu,
serahkanlah juga jubahmu. Dan siapa yang
menyuruh engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua
mil”. (Matius 5: 39-41).[10]
5. Etika Gereja
Mula-mula
Pada masa gereja mula-mula,
perkembangan etika dipengaruhi oleh keadaan ekonomi, dimana hak milik pribadi
dan hak milik bersama selalu diperdebatkan dan menjadi masalah yang cukup besar,
oleh karena permasalahan ini, muncul pendapat dari beberapa tokoh gereja
mula-mula, yaitu Clemens dari Roma, Ignatius dari Antiokhia dan Agustinus.[11]
a. Clemens dari Roma
Clemens adalah orang yang disebut oleh Paulus sebagai sahabat
yang setia dalam perjuangan pemberitaan Injil. Clemens dikenal karena ia memiliki
hubungan dengan surat Paulus kepada jemaat di Korintus. Pada saat di
Korintus, terjadi kericuhan yaitu Presbiter yang tua dipecat oleh presbiter yang
muda. Clemens
menasihatkan kepada jemaat agar mereka hidup dalam persekutuan yang rukun,
dalam kasih, rendah hati, dan hidup suci meniru teladan Kristus, terutama
teladan Paulus dan Petrus.
Ia meminta
supaya Presbiter yang
telah dipecat dipulihkan kedudukannya serta jemaat menghormati
pemimpin-pemimpinnya. Clemens
menyatakan bahwa Tuhan Allah membenci kekacauan, Allah menghendaki ketertiban. Dalam
pandangan teologinya, Clemens mengikuti teologi Paulus terutama mengenai
pembenaran oleh iman. Ia mengatakan
bahwa semua orang besar dan mulia bukan karena diri mereka sendiri atau pun
oleh pekerjaan mereka, tetapi karena kehendak Allah.[12]
Dalam pemikiran Clemens tentang etika,
ia menyatakan bahwa sikap hidup jemaat mula-mula seharusnya tidak terfokus pada
materi. Hal ini ia
katakan untuk menentang pengajaran kaum gnostik yang menganggap tingkat kekayaan dapat
dijadikan tolak ukur atau menentukan tingkat kehidupan sesorang. Permasalahan
moral mengenai kekayaan, Clemens tuliskan dalam sebuah tulisannya yang berjudul
Who Is The Rich Man That Shall Be Saved? Tulisan Clemens ini mencoba
untuk menyelidiki maksud dari cerita mengenai orang kaya sukar masuk kerajaan
Allah (Markus 10:17-27). Menurut
Clemens, tidak ada masalah mengenai kekayaan, yang menjadi masalah sebenarnya
adalah sikap kita terhadap kekayaan.[13]
b. Ignatius dari
Antiokhia
Ignatius
adalah seorang
yang berasal dari Siria. Ia dilahirkan
sekitar tahun 35. Sebelum
menjadi kristen, ia adalah seorang kafir yang diduga turut menganiaya orang
Kristen. Menurut
tradisi, Ignatius adalah uskup dari Antiokhia, merupakan murid dari rasul Yohanes. Ia hidup pada
masa pemerintahan kaisar Trajanus. Pada masa itu, kaisar sempat mengunjungi
Antiokhia dan mengancam orang-orang disana untuk mau mempersembahkan kurban
kepada dewa-dewa, namun apabila ada yang tidak melakukan hal ini, maka ia akan
dihukum mati. Perintah kaisar ini tidak didengarkan oleh Ignatius, ia tetap
mempertahankan imannya dan menolak mempersembahkan korban kepada dewa-dewa
karena ia tidak mau menyangkal Yesus, oleh karena tindakannya ini, Ignatius
dijatuhi hukuman mati dengan dibuang ke dalam Koloseum di Roma dengan tangan
yang terantai.[14]
Menurut pendapat Ignatius, permaslahan
etika yang muncul pada masa gereja mula-mula adalah banyaknya orang yang tidak
memperhatikan tentang kasih. Menurutnya,
orang kaya tidak memperhatikan janda-janda, orang-orang yang ada dipenjara,
orang-orang yang lapar maupun orang-orang yang haus.[15]
c. Agustinus
Agustinus adalah seorang murid Paulus. Ia dikenal
sebagai pelawan penyesat-penyesat yang gigih. Dalam perlawanannya dengan Donatisme menyebabkan ia
menguraikan pandangannya tentang gereja dan sakramen. Menurut
Agustinus, kebaikan akan memimpin orang ke dalam hidup yang bahagia dan
kehidupan bahagia ini didapatkan oleh tiap orang melalui cinta kasih yang
sempurna dari Allah. Agustinus juga
menyatakan bahwa baik atau buruknya moral seseorang ditentukan dari cintanya
terhadap orang lain.[16] Permasalahan
mengenai materi, bagi Agustinus kekayaan bukanlah hal yang salah. Jika kekayaan
itu dipergunakan untuk memuliakan Allah, maka hal itu adalah hal yang baik. Namun
demikian, apabila motivasi kita menyembah Allah hanya untuk kekayaan, maka
itulah yang salah.[17]
6. Etika Kristen
abad Pertengahan
Dalam abad pertengahan, hal-hal yang
berhubungan dengan etika diterangkan dalam kumpulan-kumpulan tulisan yang
disebut kitab-kitab pengakuan dosa. Tokoh-tokoh yang berperan pada saat itu antara lain Luther, Calvin, Zwingli dan Beza. Tokoh-tokoh ini
seringkali menuliskan tulisan tentang permasalahan etika yang saat itu muncul
seperti masalah kesusilaan, masalah perang, etika politik dan etika jabatan.[18]
7. Etika Kristen
Abad 20
Salah satu tokoh dalam perkembangan
etika abad 20 adalah Reinhold Niebuhr. Niebuhr memberikan sebuah ajaran etis
mengenai dosa asal atau dosa warisan. Ia berpendapat bahwa dosa warisan itu adalah sifat
universal manusia yang cenderung memilih untuk berdosa. Hal itu
dikarenakan manusia kekurangan kebebasan dalam mengambil keputusan yang
bermoral. Selain ituKarl
Barth juga memberikan pandangannya mengenai etika, ia menyatakan etika
bersumber dari kasih karunia Tuhan yang ditunjukkan melalui Yesus Kristus, oleh
karena itu manusia tidak dapat menghindar dari keputusan bebas dari kasih Allah
yang meletakkan Yesus Kristus ke dalam hubungan dengan manusia.[19]
8. Etika Politik Kristen
Pada umumnya etika Kristen
mendasarkan diri pada pemikiran Paulus sebagaimana terdapat dalam Roma 13:1-7.
Di situ Paulus berbicara tentang hubungan umat beriman dengan pemerintah
(kaisar), namun krisis Naziisme telah menyentak pemikiran etika politik kristen
di Eropa, dan menyadarkannya bahwa perikop itu saja tidaklah memadai untuk
sebuah dasar etika politik.[20]
Karena terbukti dalam sejarah bahwa tidak selalu penguasa itu representasi dari
Allah. Tidak tertutup kemungkinan penguasa politik justru menjadi representasi
dari kuasa Iblis ketimbang Allah, oleh karena itu pendasaran bible atas etika Kristen
perlu mulai dievaluasi dan direvisi. Tidak berarti bahwa perikop itu tidak
berlaku lagi. Melainkan diperlukan suatu pemahaman yang lebih mendasar dan
komprehensif.
Dalam kesempatan yang amat terbatas
ini tidak mungkin kita membicarakan secara mendetil etika Kristen dalam bidang
politik. Oleh karena itu di sini hanya akan dipaparkan beberapa prinsip dasar
dalam perumusan etika Kristen dalam bidang politik. Untuk itu saya akan merujuk
pada hasil-hasil konsultasi yang diadakan oleh WCC di Cyprus yang membicarakan
masalah etika politik tersebut. Dalam konsultasi itu disepakati beberapa hal
penting dan mendasar berkaitan dengan pokok pembicaraan kita, yaitu:
a. Perlunya pemahaman yang holistik mengenai kesaksian alkitab,
seperti telah disinggung di atas bahwa pendasaran etika Kristen hanya pada
bagian-bagian tertentu saja dari kesaksian Alkitab, tidaklah memadai, oleh
karena itu diperlukan suatu pendekatan dan pemahaman yang lebih holistik atas
isi Alkitab. Pendekatan yang holistik akan menolak segala bentuk absolutisasi
atas bagian-bagian tertentu dalam Alkitab, menerima dan menggunakan secara
kreatif kepelbagaian kontekstual, dan fokus utama pada kesaksian biblis tentang
Yesus Kristus dan Kerajaan Allah. Penekanan atas keutuhan dan keseluruhan
Alkitab tidak berarti mengabaikan berbagai tekanan yang terdapat pada
bagian-bagian tertentu dalam Alkitab.
b. Keterkaitan
antara yang historis dengan yang eskatologis
Umat
beriman yang hidup di dalam dunia ini berada dalam konteks sejarah. Ia bagian
dari sejarah dan dengan demikian menjadi bagian pula dari realitas politik yang
ada baik lokal maupun global, namun pada saat yang sama setiap orang beriman
juga hidup dalam janji dan pengharapan eskatologis. Tugas umat beriman adalah
menjaga ketegangan ini secara kreatif. Benar bahwa kedua realitas ini berbeda, segala
tindakan manusia dalam sejarah bersifat relatif, dan semuanya itu harus dilihat
dalam terang tindakan Allah yang akan menggenapi janji eskatologisNya, oleh
karena itu segala tindakan politik umat beriman juga harus senantiasa dilakukan
dalam terang dan mengacu pada janji eskatologis Allah yang akan menghadirkan
KerajaanNya secara sempurna.
c. Dua simbol
kunci
Dua
simbol kunci penting dalam rangka memahami etika politik Kristen adalah,
pertama, simbol yang diambil dari Perjanjian Lama, yaitu komunitas perjanjian (covenant
community). Simbol ini melambangkan hubungan yang baik antara Allah dengan
umatNya. Dan relasi tersebut menjadi dasar dari pemahaman (alkitab) tentang keadilan,
kebenaran dan perdamaian (shalom). Simbol yang kedua adalah kerajaan
atau komunitas mesianis (messianic community or kingdom). Sekalipun symbol
kedua ini berakar pada simbol yang pertama, namun ia juga memiliki identitas
dan integritas sendiri.
Kerajaan
mesianis adalah komunitas mesianis dari suatu perjanjian baru di dalam Yesus
Kristus. Dan ia mengarah pada suatu komunitas tanpa kekuasaan untuk
mendominasi, dan komunitas yang di dalamnya janji Allah untuk tinggal di antara
umatNya tergenapi, sehingga umat memerintah bersama dengan Mesias. Manifestasi
dari komunitas ini bermuara pada salib Kristus, Mesias yang menderita.
Inilah
simbol eskatologis dan ia tidak bisa diubah begitu saja ke dalam ideologi
politik dalam realitas historis. Tetapi simbol ini penting untuk menjaga agar
supaya umat beriman tetap memiliki perspektif kritis dalam menafsirkan sejarah
politik dan memelihara suatu visi yang berpengharapan yang melampaui
pengharapan-pengharapan historis.
Berdasarkan
prinsip-prinsip etis tersebut di atas, maka keterlibatan orang kristen dalam
kehidupan politik hendaknya didasari atas penghayatan:
1) Kekuasaan
sebagai anugerah Allah.
Kekuasaan
bukan sesuatu yang buruk. Ia hendaknya dipahami sebagai anugerah Allah. Dan
setiap anugerah Allah haruslah dipergunakan untuk menjadi berkat bagi
sesamanya. Dengan demikian jabatan dan kekuasaan itu dipandang sebagai
kesempatan untuk mengabdi kepada rakyat dan kepada Tuhan.
2) Keberpihakan
kepada yang lemah
Para
politikus Kristen dipanggil memiliki keberpihakan kepada yang lemah, karena dua
alasan penting, yaitu, pertama, kelompok masyarakat inilah yang seringkali
menjadi korban penindasan, ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan. Keberpihakan
mereka tidak boleh dilandasi oleh sentimen-sentimen yang bersifat primordial
(suku, ras atau agama). Dan kedua, kelompok inilah yang merupakan mayoritas rakyat
Indonesia, khususnya mereka yang lemah secara sosial-ekonomi. Namun
keberpihakan itu juga tidak membuta, dalam arti bahwa aturan dan hukum tidak
berlaku bagi kelompok ini.
3) Memiliki
visi dan misi yang berorientasi pada rakyat dan kerajaan Allah Visi dan misi
para politikus Kristen hendaknya tidak hanya dibatasi oleh lingkup dan waktu.
Maksudnya kiprahnya dalam dunia politik tidak hanya dibatasi oleh konstituennya
saja (kelompok pemilihnya) ataupun jangka waktu ia memiliki jabatan itu.
Melainkan hendaknya terarah pada perwujudan cita-cita Indonesia yang adil,
makmur dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahkan lebih jauh lagi para
politikus Kristen juga sekaligus adalah agen-agen eskatologis. Ia seharusnya
ikut serta dalam menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah (keadilan, kebenaran,
perdamaian dan keutuhan ciptaan) sampai dengan pemenuhannya.
4) Mendorong
perubahan yang benar dalam masyarakat Indonesia
Para
politikus Kristen hendaknya juga menjadi agen-agen perubahan. Untuk itu
dibutuhkan keteladanan sikap dan perilaku yang baik. Setiap politikus Kristen
harus berani mengatakan “tidak” atas semua tawaran, bujukan atau
strategi-strategi yang dapat membuatnya jatuh pada tindak korupsi, kolusi
ataupun nepotisme, menjauhi segala bentuk premanisme dan menegakkan hukum
secara konsisten dan konsekuen. [21]
9. Etika Kristen melampaui Etika
Alamiah
a. Etika Alamiah
Etika Alamiah yang dimaksud ialah yang datang langsung di dalam
kesadaran diri seseorang tanpa melewati pembentukan dari masa kanak-kanak.
Sudah barang tentu, itu tidak mungkin terjadi. Apalagi jika dirujuk ke masa
awal penciptaan manusia (ini jika kita sependapat dengan teori penciptaan
menurut wahyu), Adam manusia pertama, darimana ia memperoleh etika, Wahyu
menjelaskan dari Tuhan, bukan saja karena ia diberi peraturan oleh Tuhan
tentang bagaimana menjalani hidup di rumahnya (baca: taman Eden) yang diberikan
Tuhan padanya, tetapi karena ia adalah gambar (prototype) Allah bagi dunia.
Sebagaimana Allah yang memiliki sifat moral[22]
pastilah Tuhan juga menginginkan manusia yang adalah gambar dan rupa-Nya
tersebut memiliki sifat moral seperti yang Ia miliki. Itulah sebabnya Tuhan
memberikan peraturan-peraturan etika kepadanya, yang sesuai dengan apa yang ada
di dalam diri Allah. Dengan demikian, etika yang ada di dalam diri manusia,
maka jawabnya etika Tuhan yang telah Tuhan turunkan lewat wahyunya kepada
manusia.
Etika Tuhan merupakan etika alamiah. Bila dilihat seluruh
etika yang berlaku, maka di sana ada terlihat etika umum (alamiah). Misalnya,
di bangsa manapun atau dimasyarakat manapun, mencuri, membunuh, itu merupakan
pelanggaran dan tidak dibenarkan. Bagaimana hal itu bisa terjadi, karena asal
manusia hanya dari satu orang yakni dari Adam, kemudian manusia itu menyebar ke
seluruh bumi, lalu etika manusia berkembang sesuai dengan lokasi, kebutuhan
masyarakatnya, dan paham yang mempengaruhinya. Itulah sebabnya,
kesamaan-kesamaan di dalam etika banyak ditemui.
Etika alamiah yang ada di dalam hati manusia telah terpolusi
oleh berbagai faktor: faktor budaya, kebiasaan umum dan bahkan kebiasaan
pribadi manusia itu sendiri. Polusi tersebutlah yang membuat etika alamiah itu
memiliki keterbatasan-keterbatasan, sehingga tidak mampu lagi bertindak
sebagaimana mestinya, seperti waktu pertamakali sifat moral tersebut dilekatkan
pada manusia. Akibatnya ketika seseorang ingin mengejawantahkan etika alamiah
yang ada di dalam dirinya, melalui kesadaran moralnya. Tidak dapat lagi
dilakukan dengan baik sebagaimana mestinya.[23]
b. Etika Kristen
Beberapa pemikir kristen membedakan antara etika dan moral
berdasarkan asumsi bahwa moral itu alkitabiah (scriptural) sedang etika
itu alamiah (natural). Hal tersebut berdasarkan keyakinan, bahwa aturan
moral asalnya dari Firman Allah, sedangkan aturan etika didapatkan dengan cara
bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.[24]
Etika Kristen pada awalnya datang dari luar (baca: Tuhan).
Etika diberikan Tuhan melalui wahyunya (baca: Alkitab) untuk dijadikan pedoman
dalam etika berkehidupan. Di sini terlihat pada awalnya etika Kristen merupakan
sarana, belum berfungsi sebagai tujuan. Itu sebabnya etika Kristen, tidak
berhenti sampai di sana. Etika Kristen harus sampai kepada tujuan, bahwa
seseorang melakukan yang baik atau menolak yang jahat bukan karena itu
merupakan perintah yang datang dari luar; tetapi datang langsung dari kesadaran
moralnya.
Persoalan ini dikatakan Rudolf Bultman dalam Victor Paul
Furnish, sebagai persoalan pernyataan indicative dan imperative.[25]
Di satu sisi seorang Kristen melaksanakan etika karena itu merupakan perintah
dari Tuhan, sehingga itu bukan datang dari kesadaran moralnya. Persoalan ini
dapat diselesaikan dengan apa yang dikatakan Bultman ini, “Because the
Christian is freed from sin through justivication, he ought to wage war against
sin”, oleh karena itu, seorang Kristen melaksanakan etikanya (perang
terhadap dosa), bukan lagi berdasarkan imperative (perintah), tetapi
berdasarkan indicative (kenyataan).[26]
Kesadaran moral yang dimiliki seseorang memperlihatkan bahwa
orang tersebut telah dewasa dalam kesadaran. Tetapi kedewasaan di dalam
kesadaran, tidak cukup untuk mengerakkan seseorang melakukan yang “baik” dan menolak
yang “buruk”, karena manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan hal yang
tidak baik dalam kehidupannya. Meskipun seseorang tahu yang baik dan kesadaran
moralnya juga mengharuskan atau mewajibkan ia untuk melakukan yang baik, namun
belum tentu orang tersebut mau melakukannya. Hal tersebut terjadi oleh karena
polusi-polusi yang terjadi di dalam hati nurani seseorang,
pertimbangan-pertimbangan yang terjadi pada bathin seseorang, dan keterbatasan
seseorang untuk melakukannya.
Keterbatasan tersebut diperlukan Roh Kudus, yang akan
membersihkan polusi-polusi tersebut dan Alkitab sebagai pedoman untuk bertindak
atau berperilaku. Akibatnya, muncul kesadaran moral yang telah dimurnikan di
dalam diri seseorang, dan seorang dewasa akan melakukan kesadaran moral
tersebut di dalam kehidupannya sebagai pilihan yang diejawantahkan sebagai
tindakan kesadaran moralnya. Dengan demikian, ia akan mengetahui secara
langsung apakah tindakan yang sedang ia lakukan itu “baik” atau “buruk”. Di
sinilah etika Kristen melampaui etika alamiah. Etika alamiah berhenti
pada kesadaran moral yang cacat, karena telah terpolusi oleh, budaya, kebiasaan
umum atau individu. Tetapi etika Kristen tidak berhenti pada kesadaran moral
yang cacat, ia menerobos sampai pada pembersihan polusi-polusi tersebut berkat
adanya Roh Kudus dan Alkitab yang menuntun tingkah laku seseorang.
Meskipun demikian, etika Kristen belumlah lengkap jika hanya
memiliki pedoman yang lengkap untuk bertindak dan berperilaku, sekalipun
polusi-polusi tersebut telah dibersihkan oleh Roh Kudus. Etika Kristen akan
lengkap jika kasih dan hati nurani digunakan sebagai dasar atau motivasi dalam
bertindak dan berperilaku. Mengapa? Karena meskipun seseorang telah mengetahui
petunjuk-petunjuk dalam berperilaku, seseorang dalam melakukannya belum tentu
dapat melakukannya dengan benar. Mengapa? Karena tiap situasi dalam suatu
tindakan, terkadang tidak memiliki rumusan baku atau prinsip umum yang dapat
berlaku umum dan mutlak dalam suatu kehidupan. Suatu contoh misalnya dengan apa
yang diungkapkan Yesus pada (Lukas 10: 25-37). Di sana Yesus tidak
mendefinisikan suatu tindakan yang harus dilakukan oleh seseorang, bila ia
menghadapi situasi seperti itu. Berangkat dari teks tersebut, Wolfgang
Schrage merujuk apa yang dikatakan Bultmann mengatakan, “Jesus never says
anywhere what one should do or not do; this would see human existence as
fundamentally quaranteed, so that we have control over the range of action that
can confront us.”[27]
Tetapi Yesus meminta dan mengharapkan kita, “that we will know what is
good and what is evil in any given situation requiring a decision.”[28]
Sebab memang banyak tindakan-tindakan etis yang konkret yang belum tercatat di
dalam Alkitab untuk dijadikan sebagai pegangan atau prinsip dalam berperilaku
dan bertindak. Itulah sebabnya Yesus memberikan hukum kasih dalam bertindak dan
dalam berperilaku dengan berkata, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan
segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah
hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan
itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Matius
22:37-39).
Di dalam bertindak dan berperilaku, kasih melampaui dari
mengetahui yang “baik” dan yang “jahat”. Sebab kasih di dalam berperilaku dan
bertindak di atas pengetahuan apupun tentang etika. Kasih sebagaimana yang
diutarakan (Korintus 13: 4-7) adalah kesempurnaan dari seluruh tindakan etis
manusia.
Hati nurani berfungsi untuk merekam segala keputusan etis
yang dilakukan seseorang, rekaman tersebut akan menuntut tanggungjawab
seseorang terhadap tindakan dan perilakunya.[29]
Eduard Lohse mengatakan, “Since a conscience has been given to every human
being, all know that they are called to a responsible manner of life.”[30]
KESIMPULAN
Keterlibatan Umat Kristen untuk secara sadar mulai memberi
perhatian terhadap perkembangan politik lokal maupun nasional. Dengan demikian
Gereja dapat berperan seminimal apapun dalam kehidupan publik dan bersama-sama
dengan berbagai elemen bangsa yang lain memperjuangkan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Etika
Kristen melampaui etika alamiah. Etika alamiah berhenti pada kesadaran moral
yang cacat, karena telah terpolusi oleh, budaya, kebiasaan umum atau individu.
Tetapi etika Kristen tidak berhenti pada kesadaran moral yang cacat, ia
menerobos sampai pada pembersihan polusi-polusi tersebut berkat adanya Roh
Kudus dan Alkitab yang menuntun tingkah laku seseorang, meskipun demikian,
kasih sebagai dasar atau motivasi seluruh tindakan etis manusia. Dan hati
nurani sebagai tempat rekaman yang akan menuntut tanggungjawab seluruh tindakan
etis manusia.
[1] Andre
Comte Sponville, Spiritualitas Tanpa Tuhan, Jakarta: Pustaka Alvabet,
2007, hlm. 31-32.
[2] J. Verkuyl, Etika Kristen bag. Umum, Jakarta: BPK Gunung
Mulia,
1993, hlm.15.
[3] Norman L.
Geisler, Etika Kristen,
Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara,
2000, hlm.17.
[4] J. Verkuyl,
op. cit., hlm.17.
[5] Ibid.
[6] Karel Sosipater, Etika Perjanjian Lama,
Jakarta: Suara
Harapan Bangsa, t.th., hlm. 9.
[7] Ibid., hlm 20-21.
[8] Henk ten Napel,
Jalan yang
Lebih Utama Lagi: Etika Perjanjian Baru,
Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1991, hlm. 5-7.
[9]
Richard A. Burridge,
Imitating
Jesus: an Inclusive approach to New Testament Ethics,
Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans,
2007, hlm. 40.
[10] Bernhard Kieser,
Moral Dasar:
Kaitan Iman dan Perbuatan, Yogyakarta:
Kanisius, 1987, hlm. 54.
[11] Philip Wogaman,
Christian
Ethics: A Historical Introduction,
USA:
Westminster/John Knox Press, 1993, hlm. 23.
[12]
F.D. Wellem,
Riwayat Hidup
Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1993, lm. 82.
[13] J. Philip Wogaman,
op. cit., hlm. 218-220.
[14]
F.D. Wellem,
op. cit., hlm. 83.
[15] J. Philip
Wogaman, op. cit., hlm. 221.
[16] George Wolfgang Forell, History of Christian Ethics,
Minneapolis: Augsburg Publishing House,
1979, hlm.165.
[17] J. Philip
Wogaman, op. cit., hlm. 220.
[18]
Ibid., hlm. 30.
[19]
Ibid., hlm. 33.
[20] John Howard Yoder, The Politics of Jesus, Michigan:
William B. Eerdmans Publishing Company, 1975, h. 193.
[21] Yohanes Calvin, Institutio,
Pengajaran Agama Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985, h. 252.
[22] Jurnal
Teologi Stulos, Varietas Baru Manusia: Vir Doctus Et Credit
Fortiter Deo, Bandung: STTB, April 2009.
[23]
Ibid.
[24] Henry
Hazlittt, Dasar-dasar Moralitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003, hlm. 10.
[25] Franz von, Magnis, Etika Umum,
Yogyakarta: Kanisius, 1975, hlm. 27.
[26]
Ibid., hlm. 28.
[27] Franz von, hlm. 31.
[28]
Ibid.
[29] Theological Ethics of The New Testament, Minneapolis: Fortress Press, 1991, hlm., 91.
[30] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar