Hedonisme adalah paham sebuah aliran filsafat dari Yunani. Tujuan paham aliran ini, untuk menghindari kesengsaraan dan menikmati kebahagiaan sebanyak mungkin dalam kehidupan di dunia. Kala itu, hedonisme masih mempunyai arti positif. Dalam perkembangannya, penganut paham ini mencari kebahagiaan berefek panjang tanpa disertai penderitaan.
Ketika hidup dijalani, seorang manusia tidak akan terlepas dari
keterikatan hubungan dengan manusia lainnya. Hal ini dapat dipahami karena ia
adalah makhluk sosial. Tidak satupun yang merasa dan siap menghadapi kenyataan
hidup seorang diri di tengah keramaian dan hiruk pikuknya dunia ini tanpa
bantuan orang lain. Agama bahkan mengajarkan akan pentingya hubungan manusia
dengan Tuhan, hubungan dengan sesama manusia, hubungan manusia dengan alam
sekitarnya serta mengembangan hubungan kasih sayang, sehingga tercipta
kehidupan yang ideal dan harmonis.
Namun, aktivitas yang dilakukan manusia dalam interaksi sosial itu
tidak akan pernah lepas dan selalu bersinggungan dengan nilai-nilai, baik yang
tertulis maupun tidak. Sehingga disadari ataupun tidak, dalam menjalani
aktivitas hidupnya, selalu dilandaskan pada nilai-nilai dalam lingkup dirinya,
orang lain dan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat pun
seyogyanya tidak terlepas dari nilai-nilai sebagai pengontrol/pengendali, agar
tidak terjerembab ke dalam keangkaramurkaan dan nafsu serakah yang pada
akhirnya akan menghancurkan dunia dan peradaban manusia itu sendiri. Iptek yang
disenyawakan dengan nilai-nilai atau etika ilmiah niscaya akan membuahkan
produk yang bermanfaat tanpa harus bermasalah dengan tatanan peradaban umat
manusia.
Pembahasan yang terkait dengan konsep nilai, sebenarnya merupakan
kajian yang sangat erat secara substansial dengan persoalan etika. Kajian dalam
persoalan ini biasanya mempertanyakan "apakah baik atau buruk", atau
"bagaimana mestinya berbuat baik sehingga tujuan dapat dicapai dan
bernilai". Menyikapi hal tersebut, dalam pembahasan makalah ini, akan
dipaparkan tentang apa pengertian filsafat hedonisme dalam aksiologinya.
CABANG
FILSAFAT DAN ALIRANNYA
Untuk mengkaji filsafat secara sistematis, pertama kita golongkan
terlebih dahulu menjadi dua kategori kedudukan filsafat. Pertama filsafat
teoritis, kedua filsafat praktis. Filsafat teoritis digarap oleh ahli filsafat.
Sedangkan filsafat praktis merupakan garapan filsuf. Adakalanya seseorang ahli
filsafat bukan seorang filsuf. Seorang ahli filsafat adalah seorang yang
menguasai secara akademis dan teoritis tentang asas, historis dan sistematika
filsafat-filsafat. Seseorang mungkin mengetahui banyak hal tentang filsafat,
tetapi ia sendiri tidak berfikir filsafati seperti filsuf. Mempelajari filsafat
tidak ada bedanya dengan mempelajari ilmu-ilmu lainnya yang mengharuskan
kinerja akal[1].
Untuk memahami filsafat secara teoritis, maka para ahli filsafat
membagi kajiannya menjadi tiga bahasan utama, yaitu historis, sistematis dan
asas. Pertama, filsafat secara historis terbagi atas filsafat klasik, modern
dan kontemporer dengan ranah kajian filsafat Barat, Timur dan Islam. Kedua,
filsafat secara sistematis terbagi atas bahasan tentang cabang dan aliran.
Contoh cabang filsafat adalah ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Contoh
aliran filsafat ialah matrealisme, idealisme. Sedangkan yang dimaksud aksiologi
yaitu cabang filsafat yang membahas mengenai tindakan. Aksiologi terdiri dari
aliran-aliran berwujud: Idealisme Etis, Deontologisme Etis, Etika Teleologis,
Hedonisme dan Utilitarianisme[2].
Dan dalam makalah ini akan dibahas tentang aliran filsafat hedonisme.
ALIRAN
FILSAFAT HEDONISME
Hedonisme adalah paham sebuah aliran filsafat dari Yunani. Tujuan
paham aliran ini, untuk menghindari kesengsaraan dan menikmati kebahagiaan
sebanyak mungkin dalam kehidupan di dunia. Kala itu, hedonisme masih mempunyai
arti positif. Dalam perkembangannya, penganut paham ini mencari kebahagiaan
berefek panjang tanpa disertai penderitaan. Mereka menjalani berbagai praktik asketis,
seperti puasa, hidup miskin, bahkan menjadi pertapa agar mendapat kebahagiaan
sejati. Namun waktu kekaisaran Romawi menguasai seluruh Eropa dan Afrika, paham
ini mengalami pergeseran ke arah negatif dalam semboyan baru hedonisme.
Semboyan baru itu, carpe diem (raihlah kenikmatan sebanyak mungkin selagi kamu
hidup), menjiwai tiap embusan napas aliran tersebut. Kebahagiaan dipahami
sebagai kenikmatan belaka tanpa mempunyai arti mendalam.
Kedangkalan makna mulai terasa. Pemahaman negatif melekat dan pemahaman
positif menghilang dalam hedonisme. Karena pemahaman hedonis yang lebih
mengedepankan kebahagiaan diganti dengan mengutamakan kenikmatan. Pengertian
kenikmatan berbeda dari kebahagiaan. Kenikmatan cenderung lebih bersifat
duniawi daripada rohani. Kenikmatan hanya mengejar hal-hal yang bersifat
sementara. Masa depan tidak lagi terpikirkan. Saat paling utama dan berarti
adalah saat ini. Bukan masa depan atau masa lalu. Hidup adalah suatu kesempatan
yang datangnya hanya sekali. Karena itu, isilah dengan kenikmatan tanpa
memikirkan efek jangka panjang yang akan diakibatkan. Bila terlampau memikirkan
baik buruknya hidup, akan sia-sia karena setiap kesempatan yang ada akan
terlewatkan. Demikian pemikiran hedonis negatif yang berkembang saat ini.
Pemikiran itu agaknya sangat cocok dengan gaya hidup masyarakat modern.
Individualitas dan nafsu untuk meraih kenikmatan sangat kental mewarnai
kehidupan kita. Paham ini mulai merasuki kehidupan remaja.
Hedonisme, dalam konteks dunia modern adalah pandangan hidup yang
menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup.
Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang, pesta-pora, dan pelesiran
merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak.
Karena mereka beranggapan hidup ini hanya satu kali, sehingga mereka merasa
ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya. di dalam lingkungan penganut paham
ini, hidup dijalanani dengan sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang
tanpa batas.
Kita bisa menyaksikan bahwa saat ini kebanyakan orang terutama para
remajanya berbondong-bondong digiring untuk menjalani kehidupan yang berpangkal
pada pencarian kesenangan semata, salah satunya berwujud dunia entertaintment.
Barangkali, banyak dari kita yang belum sadar mengenai hedonisme sebagai sebuah
sistem filsafat etika yang muncul di Barat.
Hedonisme yang sekarang diartikan sebagai kesenangan belaka adalah
efek dari renaissance di barat sebagai balasan atas hegemoni gereja. Gereja
yang saat itu memiliki kekuatan ternyata menyalahgunakannya. Sehingga muncul
perlawanan dan mengakibat sekularisasi dalam berbagai lini. Agama seakan
menjadi tidak penting karena pengalaman masa lalu hegemoni gereja. Rakyat
akhirnya mencari pemenuhan eksistensi dengan jalan materialisme dan berujung
pada hedonisme negatif.
Menurut kamus Indonesia, hedonisme berasal dari bahasa Yunani yang
derivasi katanya; ‘hedon’ (pleasure) dan ‘isme’. Yang diartikan sebagai
paradigma berpikir yang menjadikan kesenangan sebagai pusat tindakan (any way
of thinking that gives pleasure a central role). Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, hedonisme diartikan sebagai pandangan yang menganggap kesenangan dan
kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Secara general, hedonisme
bermakna, kesenangan merupakan satu-satunya manfaat atau kebaikan. Dengan
demikian hedonisme bisa didefinisikan sebagai sebuah doktrin (filsafat etika)
yang berpegangan bahwa tingkah laku itu digerakkan oleh keinginan atau hasrat
terhadap kesenangan dan menghindar dari segala penderitaan.
Paradigma hedonistis memfokuskan pandangannya pada pencarian
kesenangan dan penghindaran terhadap segala penderitaan. Namun dewasa ini
substansi secara harfiah sudah tidak lagi menemukan relevansinya. Nampaknya
tidak ada persamaan persepsi mengenai apa-apa saja yang sebenarnya bisa
mendatangkan kesenangan dan apa-apa saja aktivitas yang bisa mendatangkan
penderitaan. Esensi filosofis hedonistik terkadang punya konotasi seksual atau
pemikiran liberal.
PEMBAHASAN
Berbicara mengenai hedonisme, maka kita tidak bisa mengesampingkan
seorang filosof Yunani yang dinilai punya peranan signifikan dalam membangun
epistemologi hedonisme, yaitu Epicurus of Sámos. Epikuros lahir tahun 342 SM di
kota Yunani, Samos, dan meninggal di Atena tahun 270 SM[3]..
Kelak prinsip-prinsip ajarannya tersebut dikenal dengan Epicureanisme.
Epicureanisme adalah sebuah sistem filsafat yang bersumber dai ajaran-ajaran
Epicurus yang dicetuskan sekitar tahun 307 SM. Inti epistemologi Epicureanisme
dibangun diatas tiga kriteria kebenaran: Sensasi atau gambaran (aesthêsis),
pra-konsepsi atau prasangka (prolêpsis) dan terakhir feelings atau perasaan
(pathê). Prolepsis diartikan sebagai “kekuatan dasar” dan juga bisa
didefinisikan sebagai “gagasan universal”, yaitu sebuah konsep dan cita-cita
yang bisa dimengerti oleh semua orang.
Contohnya, seperti kata “laki-laki” yang setiap orang memiliki
pendapat yang terbentuk sebelumnya mengenai apa itu laki-laki. Kemudian
aesthesis atau sensasi (tanggapan pancaindera) dimaknai sebagai pengetahuan
atau ilmu yang didapat melalui perasaan dan verifikasi empiris. Seperti
kebanyakan sains modern, filsafat Epicurean menjadikan empirisisme sebagai alat
untuk mengidentifikasi kebenaran dari kesalahan. Yang terakhir perasaan
(feelings) yang sebenarnya erat kaitannya dengan etika daripada dengan teori
fisiknya Epicurean yang akan mengkonfirmasikan kepada manusia tentang apa-apa
saja yang akan memberi kesenangan dan apa-apa saja yang akan mendatangkan
penderitaan. Dengan begini, menjadi penting untuk bisa mendapatkan potret utuh
doktrin etika Epicurean.
Ajaran Epikuros menitikberatkan persoalan kenikmatan[4].
Bagi Epicurus, kenikmatan yang paling tinggi adalah tranquility (kesejahteraan
dan bebas dari rasa takut) yang hanya bisa diperoleh dari ilmu pengetahuan
(knowledge), persahabatan (friendship) dan hidup sederhana (virtuous and
temperate life). Ia juga mengakui adanya perasaan-perasaan akan kesenangan
sederhana (enjoyment of simple pleasures). Namun Epicurus mengartikan
kesenangan sebagai sesuatu yang harus jauh dari hasrat-hasrat jasmaniah (bodily
desires), semisal seks dan hawa nafsu. Ia menguraikan, ketika kita makan,
jangan sampai terlalu kenyang dan berlebihan, karena bisa menyebabkan
ketidakpuasan (dissatisfaction) nantinya. Maka konsekuensinya, nantinya
dikemudian hari, seseorang tidak layak untuk menghasilkan makanan-makanan yang
lezat.
Namun demikian, bukanlah kenikmatan yang tanpa aturan yang
dijunjung Kaum Epikurean, melainkan kenikmatan yang dipahami secara mendalam[5].
Kaum Epikurean membedakan keinginan alami yang perlu (seperti makan) dan
keinginan alami yang tidak perlu (seperti makanan yang enak), serta keinginan
yang sia-sia (seperti kekayaan/harta yang berlebihan)[6].
Keinginan pertama harus dipuaskan dan pemuasannya secara terbatas menyebabkan
kesenangan yang paling besar. Oleh sebab itu kehidupan sederhana disarankan
oleh Epikuros. Tujuannya untuk mencapai ''Ataraxia'', yaitu ketenteraman jiwa
yang tenang, kebebasan dari perasaan risau, dan keadaan seimbang[7].
Menurutnya, orang yang bijaksana adalah seorang seniman yang dapat
mempertimbangkan pilihan nikmat atau rasa sakit[8].
Orang bijaksana bukanlah orang yang memperbanyak kebutuhan, tetapi mereka yang
membatasi kebutuhan agar dengan cara membatasi diri, ia akan mencapai kepuasan.
Ia menghindari tindakan yang berlebihan[9].
Oleh karena itu, ada sebuah perhitungan yang dilakukan oleh Kaum Epikurean
dalam mempertimbangkan segi-segi positif
dan negatif untuk mencapai kenikmatan jangka panjang dan mendekatkan
diri kepada ataraxia[10].
Epikuros juga sangat menegaskan kebijaksanaan [phoronesis][11].
Demikian juga, sejatinya seks bisa mendorong untuk meningkatkan birahi atau
libido. Namun disisi lain, Epicurus beranggapan, terlalu sering melakukan
hubungan seks akan mengurangi hasrat seksual, yang akan mengakibatkan pihak
lain merasa tidak puas dengan dengan pasangan ngeseks-nya dan pastinya
menyebabkan ketidakbahagiaan (unhappiness). Epicurus mengidentifikasikan
‘kesenangan’ dengan ‘kesentosaan’ (tranquility) dan penekanan kepada reduksi
hasrat berlebih terhadap perolehan spontan kesenangan (the immediate
acquisition of pleasure).
Apa yang baik adalah segala sesuatu yang mendatangkan kenikmatan,
dan apa yang buruk adalah segala sesuatu yang menghasilkan ketidaknikmatan[12].
Jadi menurut Epicurus, kesenangan bukanlah sesuatu yang pada dasarnya
menyenangkan, justru kesenangan adalah kondisi sejahtera. Karena menurut dia
kesenangan itu relatif. Dengan demikian, Epicureanisme melepaskan diri dari
proposisi yang sebelumnya: kesenangan dan ‘manfaat yang utama’ (the highest
good) itu sejajar. Kebahagiaan yang dituju oleh Kaum Epikurean adalah
kebahagiaan pribadi (privatistik)[13].
Epicurus mengklaim bahwa kesenangan yang paling tinggi tercapai
dari sesuatu yang sederhana, semisal kehidupan sederhana yang dijalani bersama
teman-teman dan dari diskusi-diskusi filosofis. Dia menekankan bahwa, bukanlah
hal baik jika seseorang melakukan sesuatu yang membuat seseorang yang lain
(teman) merasa baik, yang apabila dengan pengalaman perbuatan tersebut
seseorang justru meremehkan pengalaman-pengalaman yang akan datang dan membuat
seseorang yang lain merasa tidak lagi nyaman[14].
PENUTUP
Dari segi kegunaan (aksiologi), bahwa kehidupan manusia perlu
ditopang dengan nilai-nilai etika, agar keberadaannya betul-betul dapat
dinikmati dengan penuh arti. Berkumpul dan berbincang-bincang dengan para kawan
dan membina persahabatan jauh lebih menguntungkan dan membantu mencapai
ketenangan jiwa[15].
Dengan ini berarti dehumanisasi tidak perlu terjadi bilamana human (manusia)
bersikap legowo menetapkan etika kerja dan etika pengkajian ilmu. Itulah
sebabnya mengapa kajian yang mendalam dan sungguh-sungguh ini dikemas dalam
wadah filsafat. Menurut Epikuros, kebahagiaan terbesar bagi manusia adalah
persahabatan[16]
Apa yang diajarkan oleh Epicuras sejatinya adalah sebuah tawaran
untuk melakukan langkah yang stabil dalam menjalani kehidupan. Perlunya nilai
etika dalam semua bidang dan sendi-sendi kehidupan meniscayakan tata kehidupan
yang humanis. Meski sebagian yang lain menafikannya. Sebab yang terpenting
adalah berpulang kepada kitanya, mau mengiktui etika atau tidak. Mudah-mudahan
kesungguhan kita dalam pengamalannya itu akan beroleh manfaat yang besar dan
tak hingga nilainya.
Hedonisme mengharapkan
sebuah kemaslahatan yang sejatinya berasal dari masing-masing orang. Jika satu
sama lain menyederhanakan diri dalam tata dan perolehan keinginan, maka sangat
mungkin sekali kemaslahatan yang berarti menghindari perilaku culas dapat
tercapai. Demikian makalah ini saya sampaikan, atas perhatiannya saya ucapkan
terima kasih.
[1] Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu. Bandung: Mulia Press. 2008,
hal. 12
[2] S. Praja Juhana, Alran-Aliran Filsafat Dan Etika. Jakarta. Prenada
Media, 2003, hal.23
[3] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika. Yogyakarta: Kanisius,
1997, hal. 49-50
[4] Ibid. 49-50
[5] K Bertens, Etika. Jakarta: Gramedia, 1999, hal. 235-236
[6] Ibid, hal. 235
[7] Ibid, hal. 238
[8] Op.cit. hal. 49-50
[9] Op.cit. hal. 50
[10] Op.cit. hal. 49-50
[11] Op.cit. hal. 50
[12] Op.cit. hal. 50
[13] Op.cit. hal. 50
[14] M Suradi
Ramadhan,. 2009. Teori Nilai (Etika). Diunduh dari www.dpdimmriau.co.cc. 29/10/2011
[15]Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual.
Yogyakarta: Petualangan Intelektual, 2004, hal.24
[16] Op.cit. hal. 50
Tidak ada komentar:
Posting Komentar