Kondisi umat Islam sepeninggal Nabi
Muhammad dan generasi awal Islam yang menemui beragam persoalan yang banyak
berupa permasalahan baru membuat kalangan ulama Islam menyusun suatu disiplin
ilmu yang kemudian dikenal sebagai ushul fiqih. Ilmu ini berisikan
kaidah-kaidah yang menjadi dasar pertimbangan para ulama dalam menggali dan
menetapkan hukum Islam atas beragam permasalahan yang dihadapi umat Islam.
Para
ulama ushul fiqih dalam menggali hukum Islam membagi kaidah-kaidah yang
mereka gunakan ,yaitu kaidah-kaidah ushul fiqih dari aspek bahasa
pembuatan hukum Islam. Kaidah jenis yang pertama terdiri dari tujuh macam
kaidah yang menjadi landasan penetapan hukum dalam Islam berdasarkan ilmu ushul
fiqh yang dikemukakan oleh ulama Islam.
Sebagaimana
diketahui bahwa al-Qur’an dan Hadits menggunakan bahasa Arab dalam
menyampaikannya kepada umat Islam, maka dengan demikian untuk memahaminya harus
pula mengetahui dan memahami bahasa tersebut secara lebih komprehensif.
Pemahaman mendalam tersebut mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan
bahasa Arab, terutama pada aspek stilistika atau gaya bahasa yang digunakan
oleh kedua sumber utama hukum Islam tersebut.
Berdasarkan
kajian komprehensif yang dilakukan para ulama Islam, didapatkan beberapa kaidah
yang menjadi dasar dalam menetapkan hukum dalam Islam dari aspek bahasanya.[1] Kaidah
pertama adalah teori pengambilan makna teks, yaitu teks syari’at atau
undang-undang wajib diamalkan menurut apa yang tersurat, isyarat, dalalah atau
menurut tuntutannya. Hal ini karena setiap pemahaman teks melalui salah satu
cara di atas pada dasarnya adalah pengertian teks tersebut dan teks itu
merupakan landasan bagi pengertian itu. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
teks syari’at atau undang-undang seringkali menunjukkan makna yang banyak
dengan beberapa cara seperti firman Allah : “… Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah: 275).
Kaidah
Kedua pengertian balik yang berbunyi: Teks syari’at tidak mempunyai hubungan
atas hukum menurut pengertian balik. Adapun pengertiannya adalah teks syari’at
tidak mempunyai hubungan bahwa hukum yang terkandung dalam teks tersebut
terdapat pengertian balik dengan bunyi teks. Contohnya adalah firman Allah : “Katakanlah:
Dalam wahyu yang diturunkan kepadaku aku tidak memperoleh sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai
atau darah yang mengalir” (al-Anām: 145). Dalam ayat ini dinyatakan bahwa
darah yang mengalir diharamkan oleh Allah, maka bukan berarti darah yang tidak
mengalir menjadi dihalalkan karena tidak adanya hubungan antara ayat ini dengan
makna tersebut.
Kaidah
Ketiga Kejelasan Hubungan dan Tingkatannya, yang berbunyi
setiap teks yang jelas hubungannya harus diperlakukan sesuai dengan kejelasan
hubungan yang ditunjukkannya tersebut. Adapun contoh dari kaidah ini adalah
firman Allah : “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah ia dan apa
yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah” (al-Hasyr: 7). Berdasarkan ayat
ini maka apa yang telah diperintahkan oleh Nabi Muhammad maka harus dilakukan
oleh umatnya dan sebaliknya apa yang dilarang maka jangan dilakukan karena
demikianlah kejelasan makna yang terkandung dalam ayat ini.
Kaidah
Keempat, Ketidakjelasan Hubungan dan Tingkatannya, yang berbunyi teks yang
tidak jelas hubungannya adalah teks yang melalui bentuknya sendiri tidak
menunjukkan arti yang dimaksudkan, bahkan untuk memahaminya diperlukan faktor
dari luar. Contohnya adalah firman Allah: “Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri selama tiga kali quru’” (al-Baqarah: 228). Lafadz
yang tidak jelas dalam ayat ini adalah suci yang memunculkan perbedaan pendapat
di kalangan ulama Islam apa yang dimaksudkan suci di sini, apakah setelah masa
tenggang waktu berakhir (iddah) atau tiga kali masa suci.
Kaidah
Kelima, Lafadz yang mempunyai banyak arti (musytarak) dan
hubungannya, yang berbunyi: apabila dalam teks terdapat lafadz musytarak, maka
lafadz tersebut harus dibawa kepada makna syari’at. Hal ini dapat dicontohkan
dalam firman Allah : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri maka
potonglah kedua tangannya” (al-Māidah: 38). Penggunaan lafadz ‘tangan’
memunculkan banyak pengertian mengenai batasan ‘tangan’ yang dimaksudkan untuk
dipotong. Untuk itu, pengertian ayat tersebut dikembalikan kepada tuntunan Nabi
Muhammad dalam hadis yang membahas masalah ini.
Kaidah
Keenam, Keumuman dan hubungannya, yang berbunyi : apabila dalam teks
syari’at terdapat lafadz yang umum dan tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya
maka, maka lafadz tersebut wajib diartikan dengan keumuman dan menetapkan hukum
untuk semua satuannya dengan pasti. Hal ini sebagaimana firman Allah: “Dan
tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah pasti memberi rezeki
kepadanya” (Hūd: 6). Ayat ini mengungkapkan bahwa seluruh makhluk di muka
bumi ini pasti akan mendapatkan rezeki dari Allah, tanpa terkecuali.
Kaidah
Ketujuh, Kekhususan dan Hubungannya, yang berbunyi: Apabila di dalam teks
terdapat lafadz khusus, maka dapat menetapkan hukum dengan pasti, selama tidak
ada dalil yang menghendaki arti lain. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam
firman Allah: “Dan saksikanlah oleh dua orang saksi dari laki-laki (di
antara kamu)” (al-Baqarah: 282). Ayat ini hanya mengkhususkan persaksian
pada hutang piutang yang terjadi antara manusia dengan syarat harus disaksikan
oleh dua orang yang terdiri dari laki-laki.
Penerapan
kaidah-kaidah yang terdapat dalam ilmu ushul fiqih ini berdampak sangat
luas di kalangan masyarakat Islam dari masa ke masa. Beragam permasalahan hukum
yang sering menghinggapi umat Islam seiring kian jauhnya keberadaan dan waktu
mereka dengan Nabi Muhammad dan generasi pertama Islam menjadi dapat
terpecahkan melalui penggunaan kaidah-kaidah ini. Meskipun tidak semua kalangan
Islam menyepakati kaidah-kaidah yang termaktub dalam ilmu ushul fiqih
ini, tetapi setidaknya upaya yang dilakukan ulama Islam ini menjadi sebuah
solusi atas persoalan menyangkut hukum Islam menjadi terpecahkan.
Peranan Usul al-Fiqh dalam Menalar Hukum Islam
Muhammad Abu Zahrah, seorang ulama
kenamaan dari Mesir, menjelaskan peranan Usul Fiqh dalam menalar hukum sebagai
berikut:
يبين
المنهاج الذى يلتزمه الفقيه ، فهو القانون الذى يلتزمه الفقيه ليعتصم به من الخطأ
فى الاستنباط
Dalam pernyataan singkat itu, setidaknya ada dua peranan yang dimainkan oleh Usul al-Fiqh, yaitu:
Dalam pernyataan singkat itu, setidaknya ada dua peranan yang dimainkan oleh Usul al-Fiqh, yaitu:
-
Sebagai metode yang menjadi pegangan bagi seorang faqih yang hendak
berijtihad.
- Sebagai kaidah (qanun) yang menjaga seorang faqih dari kesalahan dalam melakukan ijtihad (istinbat hukum).
- Sebagai kaidah (qanun) yang menjaga seorang faqih dari kesalahan dalam melakukan ijtihad (istinbat hukum).
Dalam hal menalar hukum ini, Usul
al-Fiqh bisa diibaratkan sebagai sebuah peta jalan atau rute yang menuntun
seorang pengembara mencapai tujuannya. Boleh jadi, antara satu mujtahid dan
mujtahid lain memiliki konten Usul al-Fiqh yang berbeda-beda, namun memiliki
tujuan yang sama, yaitu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya
dalam kerangka maslahah manusia sebagai makhluk individu maupun sosial.
a.
Usul al-Fiqh sebagai Metode Ijtihad
Sebagai metode berijtihad, Usul
al-Fiqh berperanan sebagai jalan yang menuntun seorang mujtahid dalam melakukan
istinbat. Atau sebagai penjelasan jalan yang telah ditempuh oleh seorang
mujtahid, sehingga orang-orang yang datang sesudahnya bisa memahami alasan
mujtahid tersebut menempuh jalan tersebut.
b.
Usul al-Fiqh sebagai Kaidah
Sebagai
kaidah, Usul al-Fiqh memiliki peranan sebagai pengingat mujtahid dari kesalahan
yang mungkin akan dilakukannya. Atau korektor atas kesalahan yang telah
dilakukannya. Tentu saja fungsi atau peranan Usul al-Fiqh ini amat membantu
mujtahid dalam melaksanakan tugasnya. Bagaimana pun cerdasnya seorang mujtahid,
ia adalah seorang manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan kapan saja. Nah,
di sinilah peranan Usul al-Fiqh amat dirasakan oleh mujtahid itu, yaitu
menghindari atau setidaknya meminimalisir kesalahan-kesalahan tersebut.
[1].
Paparan ini seluruhnya bersumber dari ‘Abd al-Wahhāb Khalāf, ‘Ilm
Ushūl al-Fiqh, … hlm. 140-191.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar