Etika (Ethic = Bahasa Inggris) artinya, susila, kesusilaan, ilmu akhlak. Sila adalah salah satu kerangka dasar ajaran agama Hindu (Tatwa, Sila Upacara) atau merupakan ajaran pertama dan utama dari Saptangga Dharma, yaitu:
1)
Sila = Kesusilaan
2)
Yadnya = Persembahan suci
3)
Tapa = Pengendalian diri
4)
Dana = Berderma
5)
Prawrjya = Menyebarkan Dharma
6)
Diksa = Upacara inisisai
7)
Yoga = Menunggalkan diri dengan Tuhan
Pada
Sloka Wrehaspati Tattwa No. 25 itu dijelaskan bahwa, “Sila ngaranya
mangrakascara rahayu”, yang artinya Sila adalah menjaga perilaku/kebiasaan
agar tidak menyimpang dari norma-norma kebenaran dan kebaikan. Dengan lain
katanya, memelihara perangai yang baik dan benar menurut Dharma Agama dan
sosial budaya. Suatu perilaku dikatakan etis apabila; sopan, pantas/wajar,
baik, dan benar sesuai norma dan nilai yang berlaku. Sedangkan norma atau
aturan tingkah laku yang baik dan mulia disebut Tata Susila.
Ajaran
Hindu tidak memakai istilah dogmatik baik dan jahat atau surga dengan neraka
melainkan memiliki etika-etika yang berdasar karena kebutuhan untuk
menyelaraskan keinginan individu, emosi, dan ambisi untuk mengarahkannya pada
sebuah kehidupan yang harmonis di bumi dengan tujuan mutlak dari agama Hindu
untuk menyadari keberadaan kita sendiri. Kesadaran diri menurut pandangan Hindu
adalah kesadaran pada diri kita dengan Tuhan, sebagai sumber dan intisari dari
keberadaan manusia dan kebebasannya. Dalam kitab Hindu menyatakan bahwa setiap
individu yang terdiri dari tubuh fisik (sarira), pikiran (manas),
intelek (buddhi),
dan diri (atman).
Berdasarkan 4 hal itu, setiap individu membutuhkan hal-hal keduniawian (artha)
untuk dapat mempertahankan tubuh fisik dan memuaskan segala kebutuhan keluarga
dengan ketergantungannya. Untuk memuaskan pikiran dan intelek, kebutuhan untuk
memenuhi keinginannya dan pengejaran intelek (kama) atau penyatuan dengan Tuhan
merupakan tujuan utama dalam kehidupan manusia.
Setiap
manusia harus memainkan perannya demi kebaikan masyarakat, bangsa, dan dunia
dengan melakukan tindakan yang dimotivasi kebaikan sosial dan bertindak sesuai
dengan batasan dharma (kebenaran), tugas, moral,
dan hukum sosial. Sehingga dalam hal ini terdapat empat tujuan prinsip hidup
manusia yaitu dharma, artha, kama, dan moksa.
Dharma
adalah yang pertama, yang menandakan bahwa ketiganya tidak dapat dipenuhi tanpa
memenuhi kewajiban dharma. Moksa adalah tujuan yang terakhir
karena keterikatan adalah memungkinkan ketika dari ketiga bagian lain sudah
terpenuhi. Walaupun dharma memiliki arti yang berbeda dari sudut pandang etika,
dharma adalah sistem moral dan nilai etika. Hindu Dharma menyadari adanya tujuh
faktor yang membuat seseorang menyimpang dari jalan dharma atau mengarah untuk
perbuatan dosa, yaitu penderitaan (tresna), kemarahan (krodha),
ketamakan (lobha),
keterikatan (moha), rasa bangga (mada),
kecemburuan (matsarya), dan egoisme (ahankara).
Untuk
menghindari manusia tidak menyimpang karena pengaruh ketujuh faktor tersebut,
maka di dalam filsafat Hindu terdapat sepuluh kebajikan, yang dikenal dengan
"Dharma
Laksana", yang terdapat di dalam kitab "Manu
Smrti" yaitu sebagai berikut:[1]
Akrodha (tidak marah): Kemarahan yang
menutupi alasan, menghasilkan perbedaan antara benar dan salah, serta kebajikan
dan keburukan. Ketika pemikiran yang dapat membedakan itu dirusak maka orang
tersebut akan kehilangan identitas diri. Seseorang yang marah akan menyakiti diri
sendiri dan orang lain, dengan tiga cara yang berbeda secara fisik (melalui
kekerasan), secara verbal (melalui kata-kata kasar), dan secara mental (melalui
keinginan yang buruk). Pengendalian kemarahan dapat diartikan sebagai sebuah
pemikiran yang baik dalam diri.
Asteya (tidak mencuri): Secara umum
mencuri dapat didefinisikan sebagai mengambil dengan paksa atau dengan tidak
adil barang/benda milik orang lain. Dalam etika Hindu, mencuri juga termasuk
didalamnya ingin menguasai barang/benda orang lain dan di atas kebutuhan
legistimasi yang menghambat kemajuan orang lain, atau mengambil kesempatan
mereka dengan memiliki sesuatu melalui maksud yang ilegal. Kurangnya
pengendalian indera dan ketamakan seseorang biasanya menimbulkan suatu
keinginan untuk mencuri. Seseorang yang memegang teguh asteya akan bebas dari
ketamakan dan tidak memiliki keinginan untuk mencuri.
Atma Vinigraha (pengendalian pikiran): Pikiran
yang terganggu tidak dapat akan membedakan benar dengan yang salah atau
kebaikan dengan keburukan. Konsentrasi dalam memberikan kebijaksanaan dan kasih
yang mendalam dapat meningkatkan kekuatan pikiran.
Dama (pengendalian diri atau pengendalian
indera): Indera harus dapat dikendalikan sehingga dapat berfungsi sesuai dengan
pengarahan alasan. Pengendalian diri bukan tidak berarti penolakan diri namun
dalam bersikap sederhana dalam memuaskan kebutuhan dan menghindari kebodohan.
Seseorang yang dapat mengendalikan dan membebaskan dirinya dari berbicara yang
lepas kendali, gosip, minum berlebihan, dan menjaga tubuh dan pikirannya agar
terkendali. Kurangnya diskriminasi antara apa yang yang harus dan tidak harus
dilakukan yang mengarahkan seseorang pada angan-angan. Sebuah pikiran yang
berkhayal menjadi tidak sehat untuk dapat menyadari tujuan dari hidup seseorang.
Dhi (kemurnian pikiran): Kemurnian pikiran dan
intelek adalah lebih penting daripada kecerdasan. Seorang manusia yang memiliki
kemurnian intelek akan bebas dari rasa sakit, temperamen yang tidak baik,
perasaan yang buruk, dan keinginan yang tidak dapat diduga. Para Rsi Hindu
berpendapat bahwa kecerdasan sangat dianjurkan untuk pengajaran pada kitab agar
melakukan perbuatan yang baik dan pikiran yang mulia serta meditasi yang
teratur.
Dhrti (ketetapan dan persistence): Seseorang harus tetap
dalam hal pendirian untuk dapat menemukan kebenaran. Pikiran yang selalu terus
beriak tidak akan dapat menemukan kebenaran. Hidup yang benar sangat
dimungkinkan hanya dengan komitmen seseorang untuk menjalankan kehidupannya.
Ksama (pengampunan atau kesabaran): Pengampunan
adalah kebaikan yang utama dari moral dan etika hidup. Pengampunan dapat
mempertahankan kesucian pikiran bahkan situasi yang provokatif dalam kehidupan
seseorang.
Satya (kebenaran): Satya tidak berarti semata-mata
berkata yang benar, perkataan dan perbuatan, dan dalam hubungan kita dengan
orang lain. Untuk menjalankan kehidupan yang bermoral dan hidup yang beretika,
maka seseorang harus melakukan kebenaran. Konsep dari moralitas dapat berubah
setiap waktu, namun kebenaran tidak akan pernah berubah. Tidak ada seorangpun
yang dapat menyembunyikan kebenaran secara terus menerus.
Sauca (kemurnian tubuh dan pikiran): Kemurnian itu
terbagi dalam dua jenis yaitu fisik dan mental. Kemurnian fisik berarti menjaga
tubuh seseorang bersih dari luar maupun dalam. Kebersihan diri dari dalam dapat
diperoleh dengan menjalankan hukum kesehatan yang baik dan memakan makanan yang
"sattvika"
(makanan yang menyehatkan, kekuatan metal, kekuatan, panjang umur, dan yang
bergizi serta mengandung nutrisi). Kebersihan luar artinya mengenakan pakaian
yang bersih dan menjaga kebersihan tubuh. Kemurnian mental berarti bebas dari
pemikiran yang negatif dari nafsu, ketamakan, kemarahan, kebencian, rasa
bangga, kecemburuan, dan lain-lain.
Vidya (pengetahuan): Kitab Hindu menyatakan bahwa
pengetahuan itu ada dua jenis yaitu pengetahuan yang lebih rendah (apara-vidya)
dan pengetahuan yang lebih tinggi (para-vidya). Pengetahuan yang lebih
rendah artinya pengetahuan yang bersifat keduniawian dalam bidang ilmu dan
pengetahuan yang sangat diperlukan untuk kehidupan di dunia. Sedangkan
pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan spiritual yang mengajarkan
cara untuk dapat mengatasi kesengsaraan yang tidak diharapkan, menggapai tujuan
yang bukan halangan, serta mencapai kekuatan mental dan spiritual untuk dapat
mengatasi perjuangan hidup. Pengetahuan spiritual dapat diperoleh melalui
belajar kitab yang berhubungan dengan orang suci, dan dengan melakukan
perbuatan yang tidak mementingkan diri (niskama). Pengetahuan spiritual
juga dapat membantu seseorang untuk menjalankan kehidupan yang berarti, yang
menguntungkan secara sosial. Tujuan pengetahuan spiritual ini adalah untuk
mencapai penyatuan yang mutlak dengan Tuhan.
Dasar-Dasar Etika Hindu
Hindu seringkali dianggap sebagai agama
yang beraliran politeisme karena memuja banyak Dewa,
namun tidaklah sepenuhnya demikian. Dalam agama Hindu, Dewa
bukanlah Tuhan tersendiri. Menurut umat Hindu, Tuhan itu Maha Esa tiada
duanya. Dalam salah satu ajaran filsafat Hindu, Adwaita Wedanta menegaskan bahwa hanya ada
satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada (Brahman), yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam
beragam bentuk.
Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan, dimana keyakinan tersebut merupakan
kekuatan moral pemeluk agama Hindu yang disebut dengan Pancasradha.
Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan
tersebut, yakni:
a) Widdhi
sraddha
sebagai dasar etika Hindu. Karena yakin bahwa Brahman (Tuhan) berada
dimana-mana dan selalu ada serta maha tahu, mengetahui semua yang tampak dan tak
tampak, maka menjadi alasan atau dasar yang mendorong orang untuk selalu
menjaga perilakunya agar tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Tuhan (Agama)
dimana dan kapan pun, baik ada yang melihat maupun tidak. Walau hanya dalam
angan atau pikiran saja semestinya tidak dibiarkan menyimpang karena Tuhan
mengetahui apapun yang ada dalam pikiran manusia. Apalagi umat Hindu juga yakin
bahwa Tuhan menyayangi orang-orang yang susila dan berbudi pekerti yang luhur.
b) Karena yakin dengan Atma[2] adalah dewa yang memberikan
kekuatan hidup pada setiap mahkluk, maha saksi yang tidak dapat ditipu, maka timbul
etika tidak boleh bohong. “Sanghyang Atma sirata dewa ring sarira, manoning
ala ayu tan keneng in imur-imur.” Artinya, Sanghyang Atma adalah dewa dalam
tubuh, mengetahui palsu dan sejati (baik-buruk) tak dapat dikelabuhi.
Karena yakin bahwa pada dasarnya Atma semua
makhluk adalah tunggal, tapi berbeda kondisinya karena karmanya dan tubuhnya
masing-masing maka Hindu meyakini konsep “Bhineka - Tunggal” artinya
berbdea-beda satu sama lain namun pada hakekatnya tunggal. Berdasarkan
kenyataan bahwa manusia keadaannya berbeda-beda, ada yang lebih tua, ada yang
lebih muda, ada yang lebih tinggi statusnya, ada yang lebih rendah, maka orang
ber-tata krama atau ber-etika; orang yang lebih rendah statusnya atau lebih
muda umurnya patut menghormati yang lebih tinggi statusnya atau lebih tua
umurnya, orang lebih tinggi statusnya atau lebih patut menghargai yang lebih
rendah dan yang lebih muda. Berdasarkan keyakinan bahwa, pada hakekatnya semua
Atma adalah tunggal, melahirkan filsafat “Tat Twam Asi” artinya dia
adalah kamu : melandasi serta mendorong etika untuk saling menghargai satu sama
lain. Tat Twam Asi juga landasan dasar salah satu ajaran Etika Hindu: “Arimbawa”
maksudnya punya pertimbangan kemanusiaan, punya rasa kasihan, ingin menolong,
dapat memaafkan, sehingga dalam memperlakukan atau menindak orang lain mengukur
pada diri sendiri. Sebelum bertindak tanya dulu kepada diri sendiri “Bagaimana
seandainya aku diperlakukan atau ditindak demikian?” Bila menimbulkan rasa tak
enak, menyakitkan, maka sebaiknya orang tidak diperlakukan demikian: bila
menyenangkan atau membahagiakan (dalam arti positif) sebaiknya dilakukan.
c) Karena yakin dengan Hukum Karma
Phala (buah perbuatan) bahwa, setiap perbuatan pasti akan membawa akibat,
maka orang menjaga sikap dan perilakunya agar selamat (anggraksa cara
rahayu) termasuk menjaga pikiran.
“Yadiastun riangen-angen maphala
juga ika” Artinya,
walaupun baru hanya dalam pikiran akan membawa akibat itu. “Siapakari tan
temung ayu masadana sarwa ayu, nyata katemwaning ala masadhana sarwa ala” Artinya,
siapa yang tak akan memperoleh kebaikan bila sudah didasari dengan perbuatan
baik? Pastilah hal-hal yang buruk akan dituai bila didasari dengan perbuatan
buruk. Keyakinan pada KarmaPhala jelas menjadi dasar dan sekaligus kontrol
dalam berpikir, berkata, dan berbuat. Demikianlah keyakinan pada Hukum Karma
Phala menumbuhkan Etika Hindu.
Konsep ini sama dengan hukum sebab akibat (causal
law). Selain bernilai etika moralis, juga mempunyai nilai filosofis yang
mendalam. Konsep ini juga merupakan penuntun bagi setiap orang yang mempercayai
hukum alam dan hukum yang dibuat oleh manusia sendiri. Bila seseorang menanam
jagung, pasti akan memetik buah jagung pada saatnya. Bila seseorang berbuat
baik, pasti ada saatnya yang tepat dia akan memetik hasil perbuatannya
tersebut. Oleh karena itu, dalam agama Hindu terdapat konsep Tri Kaya
Parisudha (tiga hal yang menyangkut kesucian / kebenaran), yakni: ‘berpikir
yang suci dan benar, berkata yang suci dan benar, dan berperilaku yang suci dan
benar’.[3]
Adanya Hukum Karma Phala menuntun kebanyakan
pemeluk agama Hindu untuk berbuat yang tidak merugikan orang lain termasuk
pemeluk agama lain karena ada rasa kurang berani menerima akibat yang buruk
bagi pelaku.
d) Berdasarkan keyakinan pada Punarbhawa/samsara
(reinkarnasi). Pemeluk agama Hindu sangat meyakini bahwa ada
kehidupan setelah kematian. Setelah beberapa lama di alam “sana”, mungkin di
surga atau neraka, atau sebentar di surga dan selebihnya di neraka, maka dia
akan lahir sesuai karmanya. Sisa perbuatan pada masa kehidupan yang lalu, akan
dinikmati sebagian pada kelahiran berikutnya yang dikenal dengan istilah wasana
karma. Bila orang berperilaku buruk
dalam hidupnya akan lahir menjadi makhluk yang lebih rendah, mungkin menjadi
manusia cacat bahkan mungkin menjadi binatang tergantung derajat keburukan
perilakunya, sebaiknya bila dalam hidupnya didominasi oleh perbuatan-perbuatan
baik, maka kelak ia akan lahir pada tingkat makhluk yang lebih mulia seperti
menjadi manusia yang lebih rupawan, pintar, murah rezeki, memperoleh jalan
hidup yang lebih baik, lebih berwibawa, dsb, maka mesti menjaga tingkah lakunya
agar dapat menjelma dalam tingkat yang lebih tinggi derajatnya, lebih baik
dalam segala hal, minimal tidak jatuh menjadi makhluk yang lebih rendah atau
lebih sengsara.
e) Yoga. Karena yakin dengan adanya sorga
yaitu alam tempat arwah yang sangat menyenangkan, alam tempat meinkmati suka
cita bagi arwah yang pada waktu hidupnya banyak berbuat baik. Apalagi yakin
dengan adanya moksa yang lebih tinggi lagi daripada surga yaitu menyatunya
Atma dengan Brahman (Tuhan) bagi yang berhasil melepaskan diri dari belenggu
papa dengan berbuat baik (Subhakarma) menikmati “Sat cit ananda”
atau “Suka tan pawali dukha”, artinya suka yang tak akan pernah kembali
menemukan duka, dengan kata lain mencapai kebahagiaan abadi. Seseorang akan
dapa lepas dari lingkaran karma dan samsara apabila sanggup
membuat hidupnya betul-betul suci. Dan
itulah yang disebut moksha.[4] Pada saat itulah seseorang akan
dapat menyatukan diri (siddha) dengan Brahma. Etika atau sila semakin
menjauhkan orang dari neraka dan menghantarkan untuk semakin dekat dengan sorga
dan moksa. Keyakinan ini mendorong orang untuk beretika, lebih semangat
untuk menegakkan sila dalam hidupnya.
Dalam usaha mencapai moksa ini, kitab
Bhagawat Gita telah menjelaskan bahwa jalan yang harus ditempuh ialah dengan
melaksanakan yoga.
Yoga dalam pengertiannya yang sederhana
adalah usaha mendisiplinkan diri, tata cara meditasi, cara mengendalikan atau
cara mengawasi. Dimaksudkan dengan mengendalikan maupun mengawasi dan menguasai
kegiatan ingatan dan kegiatan indra serta melakukan tekanan terhadapnya.
Yoga terdiri atas dua tingkatan.
Tingkatan pertama bersifat perbuatan lahir. Dan tingkatan kedua bersifat
perbuatan batin. Kedua tingkatan itu adalah sebagai berikut:[5]
Kriya Yoga
1) Yama-yoga, menahan diri untuk
membunuh, berdusta, curang, khianat, dengki, iri, ria, tamak dan segala jenis
perbuatan yang dipandang dosa. Pelaksananya pada tingkatan ini merupakan
anggota biasa di dalam masyarakat.
2) Niyama-yoga, melatih dan
membiasakan diri melakukan segala perbuatan yang bersifat kebaikan dan
kebajikan. Pelaksananya pada tingkatan ini merupakan anggota biasa di dalam
masyarakat.
3) Asana-yoga, memilih dan menentukan
sikap tubuh tertentu bagi meditasi. Pada tingkatan ini seseorang telah memilih
tempat tertentu bagi meditasi tersebut.
4) Pranayama-yoga, menahan nafas
dalam sikap tubuh tertentu pada saat meditasi. Sifatnya bertahap sampai
kemudian mampu menahan nafas dalam jangka waktu yang panjang.
5) Pracahara-yoga, meniadakan
pengaruh indra atas pengaruh apapun yang berada di sekitar diri sampai semuanya
dipandang tidak ada sama sekali.
Raja-yoga
1) Dharana-yoga, pemusatan pikiran
atas satu titik sassaran, yaitu Brahman, tanpa tergetar oleh apapun.
2) Dhyana-yoga, renungan rohani yang
terus menerus terhadap titik konsentrasi, yaitu Brahman, tanpa ada ingatan
lainnya.
3) Samadhi, mencapai titik ekstasi
hingga pada saat itu bersatulah Atman dengan Brahman, yang di dalam agama
Brahman/Hindu dirumuskan dengan “Dia adalah Aku, Aku adalah Dia”.
Demikianlah
tahap-tahap yang harus dilewati di dalam yoga. Namun tidak semua orang bisa
mencapai tingkat raja-yoga, karena tahap-tahap di dalam kriya-yoga saja
sudah demikian berat untuk bisa diselesaikan dengan baik dan sempurna.
Dikatakan bahwa hanya orang-orang tertentu yang dapat mencapai tahapan raja-yoga.
Gerakan Reformasi dalam Agama
Hindu
Gerakan
pembaharuan di dalam Agama Brahma/Hindu bermula pada abad keenam sebelum masehi
dan berkelanjutan sampai abad kedua puluh. Tiga tokoh pembaharu diantaranya
kemudian melahirkan agama tersendiri. Pertama Siddharta Gautama (560-480 SM)
dan ajarannya melahirkan Agama Buddha, kedua, Mahavira (599-527 SM) dan
ajarannya melahirkan Agama Jaina. Dan ketiga, Guru Nanak (1469-1538 SM) dan
ajarannya melahirkan Agama Sikh.
Kesimpulan
Agama Hindu sangat menjunjung tinggi sila
(etika). Kitab Wrehaspati Tattwa meletakkan sila nomor satu pada ajaran dharma
bukanlah suatu kebetulan. Melainkan mempunyai arti strategis bahwa di antara
tujuh bagian dharma (sila, yajna, tapa, dana, prawrejya, diksas, dan yoga) sila
adalah yang pertama dan utama. Tanpa sila yang lain tak akan ada artinya dan
tak akan berhasil. Hidup ini pun tak ada artinya bila tidak diemban dengan
sila. Tak ada artinya kaya, sakti, jabatan tinggi, rupawan, dsb bila tanpa
sila. Perilaku yang bertentangan dengan sila disebut asusila atau dursila akan
menghilangkan nama baik bahkan jatuh menjadi nica (orang rendahan). Orang yang
demikian hakekatnya mati walaupun masih bernapas dan kuat lincah. Lalu apa
artinya kekayaan, jabatan tinggi, kesaktian, dll bila tanpa sila. “Sila
ktikang predhana ring dadi wwang”, yang artinya kemulyaan orang terletak
pada silanya.
Bila sila (etika) baik, walaupun ia berasal
dari kalangan masyarakat bawah miskin, kurang pintar, masih muda, dia adalah
orang mulia yang patut dihormati. Sebaliknya walaupun ia dari bangsawan tinggi
kaya pintar, jabatan tinggi, sakti berumur, tapi asusila/dursila sesungguhnya
dia orang rendahan dan tak patut dihormati.
Pada jaman Krtha Yuga, manusia sangat mulia
dan yang diutamakan pada jaman ini adalah tapa disebutkan “Tapah param
kertha yuge”, artinya tapa adalah yang paling utama pada jaman Krtha Yuga;
siapa yang lebih mampu melakukan tapa (mengendalikan diri) dia yang dianggap
paling mulia dan paling dihormati.
Memang
hasil tapa-brata itu sangat tinggi nilainya; hampir semua tokoh-tokoh Hindu
seperti para Maha Rsi di jaman yang lampau lahir dari Tapa Brata,
maksudnya menjadi besar dan sangat mulia karena hasil tapanya. Namun Bh. Brgu
tetap meletakkan sila sebagai yang terbaik. Artinya : “Sarwasya tapasomulam
acaram jagrhuh param” Dari semua hasil Tapa Brata dan lain sebagainya,
tetap perbuatan baik (sila) adalah yang terbaik.
Umat Hindu mempunyai lima keyakinan dasar
yang menjadi sisi kekuatan moral Agama Hindu, yang disebut Pancasraddha. Kelima keyakinan
tersebut, yakni: Widdhi sraddha sebagai
dasar etika Hindu yaitu yakin akan adanya Tuhan; yakin dengan Atma (Roh)
adalah dewa yang memberikan kekuatan hidup pada setiap mahkluk; Karma Phala
(buah perbuatan) bahwa, setiap perbuatan pasti akan membawa akibat; Punarbhawa/samsara/reinkarnasi
bahwa pemeluk agama Hindu sangat meyakini bahwa ada kehidupan
setelah kematian; moksa yang lebih tinggi lagi daripada surga yaitu
menyatunya Atma dengan Brahman (Tuhan) bagi yang berhasil melepaskan diri dari
belenggu papa dengan berbuat baik (Subhakarma).
Keyakinan-keyakinan yang berujung pada moksa
tersebut membawa umat Hindu pada moral/etika tertinggi dalam ajaran Agama
Hindu.
[2] Bila Atman
meninggalkan badan orangpun mati. Alat-alat tubuh hancur kepada asalnya. Atman
yang menghidupi badan disebut jiwatman. Jiwatman dapat dipengaruhi oleh karma
hasil perbuatannya di dunia ini. Menurut ajaran Agama Hindu, jiwatman orang
yang meninggal dapat naik ke sorga atau jatuh ke neraka. Orang-orang yang
berbuat buruk akan jatuh ke neraka. Di neraka, jiwatman mendapatkan siksaan.
Namun orang-orang suci yang tak terikat lagi pada ikatan dunia akan sampai ke alam
nirvana, alam kelepasan. I Wayan Watra, op.cit, hlm. 155
[3] I Wayan Jendra
“Brahman, Avatar, Dewa dan Sumbangan Agama Hindu dalam Pembangunan Mental
Spiritual Bangsa”. Dalam Wiwin Siti Aminah, dkk, op.cit., hlm. 121
[4] Istilah moksha
berarti bebas dari semua keterbatasan, perbudakan dan ketidaksempurnaan. Moksha
adalah suatu keadaan penyatuan dengan Tuhan yang merupakan hak setiap manusia.
Sifat sejati jiwa manusia adalah bebas dan
Illahi. Bagi manusia, kebebasan muncul dari pengetahuan tentang diri sejatinya.
Swami Prabhavananda (Kepala Pusat Vedanta, Hollywood, U.S.A, Agama Veda dan
Filsafat, (Surabaya: Penerbit Paramita, 2006), hlm. 79
[5] Joesoef
Sou’yb, op.cit, hlm. 55-56. Lihat juga Mudjahid Abdul Manaf, op.cit,
hlm. 19-20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar