Tampilkan postingan dengan label fiqih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fiqih. Tampilkan semua postingan

Kamis, 19 Juni 2014

Ancaman bagi Orang-Orang yang Enggan Membayar Zakat


Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, “Rasulullah saw bersabda:
قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ اَتَاهُ اللهُ مَالاً فَلَمْ يُؤَدِّزَكَاتَهُ, مُثِّلَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا اَقْرَاعَ لَهُ زَبِيْبَتَانِ, يُطَوَّقُهُ يوَْمَ الْقِيَامَةِ, ثُمَّ يَأْ خُذُ بِلَهْزَ مَتَيْهِ يَعْنِيْ بِشِدْقَيْهِ-ثُمَّ يَقُوْلُ: اَنَامَالُكَ, أَنَا كَنْزُكَ
"Siapa yang dikaruniai oleh Allah kekayaan tetapi tidak mengeluarkan zakatnya maka pada hari kiamat nanti ia akan didatangi oleh seekor ular jantan gundul, yang sangat berbisa dan sangat menakutkan dengan dua bintik diatas kedua matanya, lalu melilit dan mematuk lehernya sambil berteriak, saya adalah kekayaanmu, saya adalah kekayaanmu yang kau timbun-timbun dulu.

Imam Muslim meriwayatkan pula bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda :
مَامِنْ صَاحِبِ ذَهَبِ وَلاَ فِضَّةٍ لاَيُؤَدِّيْ حَقَّهَا اِلاَّ جُعِلَتْ لَهُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ صَفَائِحُ,أُحْمِيَ عَنَيْهَا فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبْهَتُهُ وَظَهْرُهُ, فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ, حَتىَّ يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ فَيُرَى سَبِيْلُهُ, اِمَّااِلَى اْلجَنَّةِ وَاِمَّااِلَى النَّارِ, وَمَا مِنْ صَاحِبِ بَقَرٍ وَلاَ غَنَمٍ لاَيُؤَدِّيْ حَقَّهَااِلاَّ أُتِيَ بِهَايَوْمَ الْقِيَامَةِ تَطَؤُهُ بِأَظْلاَفِهَا,وَتَنْطَحُهُ بِقُرُوْنِهَا, كُلَّمَا مَضَى عَلَيْهِ اُخْرَاهَا رُدَّتْ عَلَيْهِ أُوْلاَهَا, حَتَّى يَحْكُمَ اللهُ بَيْنَ عِبَادِهِ فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّوْنَ, ثُمَّ يُرَى سَبِيْلُهُ اِمَّا اِلَى اْلجَنَّةِ وَاِمَّااِلَىالنَّارِ.
“Pemilik emas atau perak yang tidak menunaikan kewajibannya, maka emas atau perak itu nanti pada hari kiamat dijadikan seterikaan, lalu dipanaskan dengan api neraka, kemudian di gosokan ke rusuk, ke muka, dan punggungnya selama lima puluh tahun, sampai selesai perhitungannya dengan orang-orang lain. Untuk melihat apakah ia masuk surga ataukah neraka. Dan pemilik lembu atau kambing yang tidak melaksanakan kewajibannya, maka nanti pada hari kiamat binatang-binatang itu akan menginjak-injaknya dan menandukinya, setelah selesai seekor datang lagi berbuat hal yang sama sampai selesai perhitungannya dengan orang-orang lain, selama lima puluh tahun menurut perhitungan tahun kalian, untuk melihat mereka apakah masuk surga apakah neraka.”

Dalam sebuah hadist lain juga dinyatakan :
مَا مَنَعَ قَوْمُ الزَّكَاةَ اِلاَّابْتَلاَ هُمُ اللهُ بِالسِّنِيْنَ.
“Golongan orang-orang yang tidak mengeluarkan zakat akan ditimpa kelaparan dan kemarau panjang.”
Dari keterangan hadist-hadist diatas dapat diketahui bahwa zakat dalam islam sangat diperhatikan, bahkan Allah mengancam dengan sangat keras bagi mereka yang tidak mau mengeluarkan zakat baik di dunia maupun di akhirat, karena kekayaan yang kita miliki ada hak-hak untuk mereka (orang yang berhak menerima zakat ) yang wajib kita perhatikan.

Membelanjakan Harta sebelum Dizakati adalah Haram

Seorang muslim yang terbujuk oleh nafsu dan cinta dunia lalu tidak membayar zakat, maka ia diganjar dengan hukuman pembebasan separuh kekayaannya. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadist:
وَمَنْ مَنَعَهَافَاِنَّااَخِذُوْهَاوَشَطْرَمَالِهُ, عَزْمَةً مِنْ عَزَ مَاتِ رَبِّنَا, لاَيَحِلُّ لاِ لِ مُحَمَّدٍ مِنْهَا شَيْءُ.
"Tetapi orang yang tidak membayarnya maka kita akan mengutip zakat itu bersama separuh kekayaannya. Ini merupakan ketentuan tegas dari Tuhan dan keluarga Muhammad tidak boleh mengambil sedikitpun."
Bahkan seorang muslim yang enggan mengeluarkan zakat karena tidak mengakui kewajibannya, maka ia telah berlaku kafir. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar :
أُمِرْتُ أَنْ اُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّاللهُ, وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَيُقِيْمُوْاالصَّلاَةَ, وَيُؤْتُوْاالزَّكَاةَ, فَاِنْ فَعَلُوْ ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَ هُمْ وَاَمْوَالَهُمْ اِلاَّّ بِحَقِّ اْلاِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ.
“Rasulullah bersabda : “Saya diinstruksikan untuk memerangi mereka, kecuali bila mereka sudah mengikrarkan syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulnya. Mendirikan sholat, dan membayar zakat. Bila mereka melakukan hal itu, maka darah mereka sudah mendapat perlindungan dari saya, kecuali oleh karena hak-hak Islam lain yang dalam hal ini perhitungannya diserahkan kepada Allah.”
Sedangkan bagi seoarang muslim yang enggan mengeluarkan zakat karena bakhil, dengan tetap mengakui hukum wajibnya, maka ia berdosa. Dalam hal ini boleh dilakukan pemaksaan terhadapnya dengan memberikan hukuman ta'zir. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadist:
"Bahwa Abu Bakar RA. pernah berkata: "Seandainya mereka menghalangiku dari anak kambing, niscaya aku akan memerangi mereka karena hal itu." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan An-Nasa'i)

ANALISIS

Berdasarkan keterangan dari nas-nas di atas dapat diketahui bahwa hukum membelanjakan harta yang belum dizakati adalah haram, maka siapapun yang diberi kelonggaran harta oleh Allah hendaknya cepat-cepat menunaikan zakatnya setelah sampai nisabnya. Jangan sampai menunda-nunda apalagi enggan membayarnya.
Nas diatas begitu jelas menerangkan bagi mereka yang enggan menunaikan zakat akan diancam oleh Allah berupa siksaan di dunia dan di akirat. Siksaan di dunia bukan saja diterima bagi si penanggung zakat, melainkan juga akan menimpa seluruh masyarakat umum, berupa kelaparan dimana-mana atau kemarau yang panjang.
Di negara kita belum terbentuk sebuah lembaga negara yang khusus menangani masalah zakat, karena terbentur dengan falsafah negara kita. Tetapi sekarang banyak lembaga-lembaga amil zakat yang menawarkan jasa untuk membantu menghitung dan menyalurkan zakat anda.
Untuk itu bagi siapapun yang memiliki harta yang banyak bisa menghubungi badan-badan zakat tersebut supaya dihitung, dikelompokkan harta mana saja yang wajib kena zakat dan disalurkan kepada siapa saja yang berhak menerimanya. Jika seseorang sudah paham tentang aturan-aturan zakat hendaknya langsung ditunaikan sendiri dan dibagikan kepada yang berhak menerimanya. Setelah itu dia baru bebas membelanjakan hartanya karena sudah terlepas dari kewajiban agama.

Bagaimana Hukum Nikah Muslim dengan non-Muslim

Hukum Nikah Muslim dengan non-Muslim mungkin sudah menjadi perdebatan sejak lama. Namun, agar tidak tenggelam ditelan google.com maka kami sodorkan analisis tentang hukum nikah antara muslim dan nonmuslim.
Dalam Undang-undang Perkawinan yang terdapat dalam kompilasi hukum Islam yang menjadi salah satu prinsip dari suatu perkawinan ialah keabsahan, yang artinya bahwa perkawinan tersebut dianggap sah secara hukum (negara) apabila dilaksanakan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Pengertian kata “masing-masing” dalam hal ini menurut Sudirman tertuju kepada agama-agama yang dipeluk di Indonesia, bukannya mengacu pada masing-masing pengantin. Dari perspektif hukum Indonesia ini sudah barang tentu bahwa pernikahan beda agama itu dilarang dalam kerangka hukum Islam Indonesia.

Namun akhir-akhir ini, timbul banyak pendapat baru yang secara legal membolehkan pernikahan beda agama dengan argumen larangan kawin beda agama dalam berbagai kitab tafsir dan fiqh dihasilkan oleh ideologi politik yang memandang manusia dalam batas-batas agama dimana terlihat jelas bahwa pelarangan ini untuk menjaga stabilitas, keutuhan dan terpeliharanya dar al-Islam (teritori Islam). Dan salah satu yang membuat terobosan lain dalam hal pembolehan pernikahan beda agama ialah yang dilakukan oleh Pusat Studi Islam Paramadina, lembaga yang didirikan Nurcholis Madjid 30 Oktober 1986 silam ini dalam Klub Kajian Agama (KKA) ke-200, yang digelar pada 17 Oktober 2003 lalu berani mengeluarkan penafsiran baru atas pernikahan beda agama.
Oleh karena melihat fakta yang seperti ini, kita dapat berpendapat bahwa sudah lama perkawinan antar agama menjadi perdebatan. Dan meskipun pengakuan legal formal pembolehan hal ini belum tersurat, prakteknya warga yang melakukan perkawinan beda agama terus bertambah, lantas bagaimana sebenarnya pandangan hukum dari perspektif fiqh (baca: hukum Islam). Dalam makalah ini akan dijelaskan global permasalahan dengan tidak bermaksud untuk menjustifikasi mana yang benar maupun mana yang salah.

A. Perkawinan Beda Agama (Perspektif Fiqh)

Dalam hukum Islam, baik dari kandungan al-Qur’an maupun hadits banyak menyebutkan masalah ini, dan secara tekstual terdapat tiga ayat mengenai perkawinan muslim dengan non-muslim. Pertama, seperti dalam al-Qur’an surat al-Baqarah : 221 yang melarang dengan jelas menikahi wanita-wanita musyrik dan laki-laki musyrik sebelum mereka itu beriman. Allah berfirman :

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (QS. al-Baqarah: 221)
Asbab al-nuzul dari surat ini ialah ketika salah seorang sahabat yang bernama Ibnu Mursyid al-Ghanawi akan mengawini seorang wanita musyrik dengan memohon izin terlebih dahulu kepada Rasulullah sampai dua kali, setelah kedua kali Rasulullah berdoa dan turunlah ayat ini.
Dari ayat ini, secara zahir jelas-jelas melarang wanita maupun laki-laki muslim untuk menikah dengan calon pasangannya yang musyrik. Musyrik yang dalam hal ini bisa kita kaitkan dengan seseorang yang melakukan perbuatan syirik (menyekutukan Allah) salah satu dosa paling besar, mereka semua itu haram untuk dinikahi oleh semua umat Islam (laki-laki maupun perempuan). Kedua, dalam surat al-Mumtahanah: 10 yang berisi larangan perkawinan wanita muslim dengan laki-laki kafir. Teks ayat tersebut :

Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka”.
Walaupun teks ayat tersebut menyebutkan wanita beriman sebelumnya telah berkumpul dengan suaminya yang kafir dan tetapi kemudian berpaling darinya, lalu hijrah ke dalam kaum muslim. Tetapi secara tersirat jelas juga bahwa wanita-wanita yang beriman (kuat imannya) itu haram untuk dinikahi oleh laki-laki kafir musyrik, yang menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya “orang kafir” yang dimaksud dalam ayat ini ialah kafir Makkah. Dan kalimat sepenggal dari potongan ayat di atas menguatkan lagi wanita beriman yang keimanannya telah kuat haram dinikahi oleh laki-laki kafir.
Ketiga, terdapat dalam surat al-Maidah : 5, yang kandungan ayatnya berisi ketentuan tentang diperbolehkan menikahi wanita-wanita ahli kitab, ayat tersebut berbunyi:

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu
Dari ayat ini memang jelas bahwa laki-laki muslim boleh menikahi perempuan ahli kitab. Dan setelah turunnya ayat ini, banyak sebagian sahabat yang menikahi wanita-wanita ahli kitab, seperti Usman bin Affan kawin dengan Nailah binti Quraqashah al-Kalbiyah yang Nasrani, Thalhah bin Ubaidillah dengan perempuan Yahudi di Damaskus, Huzaifah kawin dengan perempuan Yahudi di Madyan, bahkan Rasulullah saw pun pernah menikahi perempuan ahli kitab yaitu Nabi Maria Qibtiyah, perempuan Kristen Mesir dan Sophia yang Yahudi.
Namun masalah pernikahan ahli kitab ini terdapat masalah pokok, ialah yang pertama siapakah yang dimaksud ahli kitab kalau dikaitkan dengan konteks sekarang? Sebelumnya terlebih dahulu kita lihat definisi ulama mengenai ahli kitab ini. Imam Abu Hanifah dan mayoritas ulama fiqh, seperti dikutip Zainun (dosen UIN Syarif Hidayatullah), berpendapat bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang nabi atau salah satu kitab suci yang pernah diturunkan oleh Allah, maka ia termasuk ahlul kitab. Rasyid Ridha bahkan menegaskan bahwa Majusi, Sabian, Hindu (Brahmanisme), Budha, Konghucu, Shinto dan agama-agama lain dapat dikategorikan sebagai ahli kitab. Namun kiranya pendapat dari Haji Abdullah ini kami rasa lebih mewakili, beliau berpendapat, apa yang dimaksud dengan ahli kitab ini ialah seorang yang dapat membuktikan bahwa agamanya mempunyai kitab yang diturunkan pada seorang Rasul dari keluarga Ibrahim dan agama itu ialah Islam, Yahudi, Nasrani serta suhuf-suhuf kepada Nabi/Rasul tertentu. Maka yang dimaksud ahli kitab ialah mereka yang menganut keyakinan: 1) Iman dan percaya kepada Allah SWT, 2) Iman dan percaya kepada salah satu kitab sebelum al-Qur’an diturunkan (sebelum Muhammad saw), 3) Iman dan percaya kepada rasul-rasul Allah SWT.
Jadi kita dapat sedikit menarik kesimpulan bahwa ahli kitab itu orang-orang yang menerima dan mempercayai kitab yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya sebelum Nabi Muhammad saw (al-Qur’an) itu ada. Sehingga ini sesuai dengan konsep pernikahan yang dilakukan sahabat yang pernah nikah dengan wanita ahli kitab, karena memang di zaman itu ahli kitab itu masih benar-benar ahli kitab yang hidup sebelum (dekat) al-Qur’an diturunkan. Sedangkan orang-orang (Yahudi, Nasrani) sekarang tidaklah dapat disebut sebagai ahli kitab. Mahmud Yunus mengatakan bahwa sekarang ini tidak ada lagi ahli kitab (kalaupun ada, itupun dalam jumlah yang sangat sedikit sekali). Terlebih sekarang kitab mereka perjanjian lama dan perjanjian baru sudah banyak terkontaminasi atau dalam bahasa lainnya sudah banyak campur tangan manusia.
Terakhir dapat kita katakan perkawinan beda agama dalam kajian hukum Islam dilarang dengan ketentuan yaitu pelarangan secara tegas untuk wanita dan laki-laki muslim yang haram untuk menikahi orang kafir. Kedua, mengungkapkan pelarangan wanita muslim untuk dinikahkan dengan laki-laki non-muslim, ketiga ialah dibolehkannya laki-laki muslim menikahi wanita yang benar-benar ahli kitab.

B. Perkawinan Beda Agama (Perspektif UU Perkawinan dan KHI)

Dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) diakui adanya perbedaan hukum perkawinan dari agama-agama yang berbeda. Akibatnya di Indonesia ada pluralitas hukum perkawinan yang berbeda satu dengan lainnya dan telah mendudukkan hukum berbagai agama di bidang perkawinan. Dalam hal ini UU Perkawinan menggunakan istilah “Perkawinan Campuran” yang telah sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 (kebebasan beragama) yang mengakui adanya pluralitas agama dan pluralitas hukum perkawinan, maka perkawinan campuran dalam negara ini disebabkan oleh bertemunya dua atau lebih sistem hukum perkawinan yang berlainan sesuai dengan perbedaan agama atau perbedaan kewarganegaraan.
UU No. 1 tahun 1974 mengatur perkawinan campuran secara tersendiri dan menganggap perkawinan itu sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya, yang sesuai dengan pasal 60 ayat (1) sesuai dengan tata cara hukum agama suaminya.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 40 yang diberlakukan berdasarkan instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 disebutkan bahwa “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seseorang pria dan wanita karena wanita tersebut tidak beragama Islam”. Larangan perkawinan antara agama sebagaimana hal ini didasarkan kepada mashlahah dengan tujuan untuk memelihara agama, jiwa, harta, kehormatan, serta keturunan. Para ulama Indonesia sepakat untuk melarang perkawinan beda agama karena kemudharatannya lebih besar daripada manfaat yang ditimbulkannya.
Perkawinan beda agama telah menyebabkan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu banyak yang menganut hukum agama ibunya daripada agama bapaknya. Selain dari itu, dari perkawinan antar agama dapat meresahkan karena hubungan silaturrahim antar keluarga menjadi putus. Oleh karena kemudharatannya lebih besar yang ditimbulkan dari perkawinan antar-agama cukup besar daripada manfaatnya, maka sudah selayaknya ketentuan tersebut dalam pasal 40 KHI Indonesia tetap dipertahankan.
Dilarang melakukan perkawinan antara seorang pria atau wanita Islam dengan wanita atau laki-laki tidak beragama Islam ijma ulama Indonesia tentang masalah ini harus tetap dipertahankan dan harus ditingkatkan dalam peraturan perundang-undangan dimasa yang akan datang.

ANALISIS

Konsep nikah beda agama di dalam negara Indonesia tidak diperbolehkan (karena perspektif bahwa beda agama yang dimaksudkan adalah nikah antara orang Islam dengan orang Nasrani).
Dilihat dari mafsadat-maslahat-nya, seorang laki-laki muslim yang menikah dengan perempuan yang bukan dari kalangan muslim akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan kewajiban dan tanggungjawab, yaitu mendidik anak-anaknya secara Islam, karena kesempatan bergaul anak-anak lebih banyak dengan ibunya. Kesulitan itu akan diperparah lagi apabila istrinya (ibu anak-anak) masih fanatik terhadap agamanya.
Sedangkan dilihat dari segi sosial, perkawinan beda agama seringkali dijadikan media oleh orang-orang bukan muslim untuk melakukan pemurtadan.

KESIMPULAN

Dari pemaparan singkat ini, sedikitnya kita dapat mengetahui bahwa perkawinan beda agama terutama dari pandangan hukum Islam (fiqh) adalah dilarang walaupun dengan berbagai penafsiran-penafsiran yang lebih liberal ada yang membolehkan perkawinan beda agama, baik itu laki-laki muslim kepada wanita musyrik ataupun sebaliknya. Dalam perspektif hukum Islam sedikitnya ada tiga ketentuan pernikahan beda agama itu, pertama pelarangan kepada semua kaum muslimin baik laki-laki atau perempuan untuk tidak menikahi calon pasangannya sebelum mereka sama-sama beriman. Kedua, berisi larangan menikahkan wanita-wanita muslim kepada laki-laki yang tidak seiman atau kafir, terakhir ialah membolehkan menikahi perempuan ahli kitab.
Sedangkan UU Perkawinan yang karena mengandung pluralitas hukum sesuai dengan undang-undang dasar membolehkan perkawinan beda agama yang dalam UU Perkawinan disebut “perkawinan campuran” dengan ketentuan pernikahan dilakukan sesuai dengan adat/tata kebiasaan hukum agama suaminya. Selanjutnya secara tegas KHI pasal 40 dengan tegas menolak pernikahan beda agama dalam segala bentuknya, dengan alasan untuk memelihara apa yang biasa disebut maqasyid al-syari’ah.

DAFTAR PUSTAKA
Ichtiyanto, Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI, 2003.
Kartohadprojo, Sudirman, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Jakarta: Pustaka Rakyat, 1959.
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
Muhammad, Muhammad Uwaidah Syaikh Kamil, al-jami’ fil Fiqhi an-Nisa’, BeirutLebanon: Daarul Kutub al-Ilmiyah, terjemah Indonesia (Pentj. M. Abdul Ghafar, E.M), Fiqh Wanita, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998.
Siddik, Mr. Haji Abdullah, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: 1983.
Subadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, Yogyakarta: LKiS.

Rabu, 01 Januari 2014

Pelajaran 3: Salat Berjamaah

Ketentuan Salat Berjamaah

" Salat berjamaah lebih afdal dan pahalanya lebih banyak daripada salat sendirian (munfarid)"
Salat berjamaah adalah salat bersama-sama.
Salat berjamaah dipimpin seorang imam.
Salat berjamaah paling sedikit dilakukan dua orang.

Hukum salat berjamaah adalah sunah muakad.
Arti sunah muakad adalah sangat dianjurkan.

Salat yang disunahkan berjamaah adalah:

  1. salat fardu
  2. salat idulfitri
  3. salat iduladha
  4. salat tarawih
  5. salat jenazah
  6. salat istisqa
  7. salat gerhana matahari
  8. salat gerhana bulan
  9. salat witir pada bulan ramadhan
dalam sehari semalam berapa kali kamu mengikuti salat berjamaah?
Coba bertanyalah pada dirimu sendiri.

Sabtu, 20 Juli 2013

Hukum Aqiqah


Aqiqah (biasa disebut Akikah) adalah suatu kegiatan penyembelihan / menyembelih hewan ternak sebagai tanda rasa syukur kepada Allah SWT karena mendapatkan anak laki-laki maupun perempuan (habis lahiran). Hukum pelaksanaan acara aqiqah adalah sunah / sunat bagi orang tua atau wali anak bayi yang baru lahir tersebut. Akikah dilakukan pada hari ke-tujuh setelah kelahiran anak. Apabila belum mampu di hari ketujuh, di hari setelahnya juga tidak apa-apa.
Jumlah hewan ternak untuk akikah berjumlah dua ekor kambing untuk anak laki-laki / pria dan satu ekor kambing untuk anak perempuan / wanita. Apabila hanya mampu menyembelih satu ekor kambing untuk anak laki-laki tidak apa-apa yang penting ikhlas dan untuk mendapatkan ridho dari Allah SWT. Hewan yang dijadikan akikah adalah sama dengan hewan untuk kurban dalam hal persyaratannya.
aqiqah memiliki tujuan untuk meningkatkan jiwa sosial dan tolong-menolong sesama tetangga di lingkungan sekitar, menanamkan jiwa keagamaaan pada anak, sebagai tanda syukur kita kepada Allah SWT atas segala nikmat dan rejeki yang diberikan kepada kita selama ini.


At-Tajrid li-Naf'il Abid - Al Bujairami

قوله:، وحصول السنة بشاة) أي: فلا تحصل بغير ذلك من غير النعم والظاهر أنه يجزئ كل من البقرة، والناقة عن سبعة كما في الأضحية شرح م ر
"perkataan mushannif "dan bisa memperoleh kesunnahan dengan kambing" yakni maka tidak hasil (tidak memperoleh pahala kesunnahan, penj) dengan selain yang demikian seperti selain binatang ternak, sedangkan dhahirnya sesungguhnya dapat di terima (mencukupi) setiap yang berupa sapi dan onta untuk 7 (orang) sebagaimana pernjelasan Imam Ramli tentang korban "

**Mim Ra' = Imam Ramli, kalau khilaf ruju' .


berakikah dengan sapi, kerbau atau unta juga boleh, aturannya sama seperti halnya qurban. jadi satu sapi bisa dijadikan akikah untuk satu orang atau maks 7 orang. AlBujairomi.

وعن ابن عباس يكفي اراقة الدام ولو من دجاج او أوز وكان الشيخ محمد
الفضالي يأمر الفقير بتقليده ويقاس على الأضحية العقيقة فيجوز لمن لم يقدر على ثمن الشاة ان يعق ولده بالديكة على مذهب ابن عباس كما قاله الشيخ محمد الفضالي اهـ .
(توشيخ ابن قاسم 270 )

Selasa, 12 Februari 2013

Perbedaan Zakat dan Pajak


Perbedaan Zakat dan Pajak, Dalam agama Islam kita kenal dengan zakat yaitu salah satu dari rukun Islam yang lima. Pada hakikatnya zakat adalah tertentu bagian yang ada pada harta seseorang yang beragama Islam yang wajib dikeluarkan atas perintah Allah SWT untuk kepentingan orang lain menurut kadar yang telah ditentukan. Zakat dikeluarkan dengan tujuan untuk membersihkan harta si pemiliknya kemudian sebagai rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan.
Kemudian dalam peraturan negara kita ada kewajiban seperti zakat yang disebut dengan pajak. Pajak merupakan kewajiban material bagi warga negaranya untuk dibayar menurut ukuran yang telah ditentukan mengenai kekayaan dan pribadi seseorang dan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.
Kedua hal tersebut tidak bisa kita pisahkan. Kita tidak bisa melaksanakan salah satu dari kedua hal tersebut, artinya dua-duanya harus kita penuhi. Apabila kedua hal tersebut telah kita patuhi sesuai ketentuan, baru kita bisa disebut umat beragama Islam yang taat pada ajaran Islam dan sekaligus warga negara yang bertanggung jawab dan layak kepada pancasila.
Sekarang dari mana kedua permasalahan tersebut wajib untuk dilaksanakan, kemudian apa dasar-dasar yang mewajibkan kedua hal tersebut, serta tujuan kewajiban pembayaran zakat dan pajak. Untuk itu dalam pembahasan makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang pajak dan zakat.

A. Asal-usul Timbulnya Kewajiban Ganda Terhadap Harta
Pada waktu Nabi Muhammad SAW masih hidup, kewajiban yang berkaitan dengan kepemilikan harta yang harus dipikul oleh umat Islam hanya satu yaitu zakat yang ditetapkan berdasarkan wahyu Allah SWT. Sebagai imbangan terhadap zakat yang diwajibkan kepada umat Islam, kepada umat agama lain (non-muslim) yang berada di bawah perlindungan Islam dikenakan (telah disebutkan dalam QS. At-Taubah ayat 29);
Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah : 29
Dan setelah itu tidak ada yang dikenakan double duties (kewajiban ganda) lagi.
Pada zaman imam madzhab (mujtahidin) timbul perbedaan pendapat tentang tanah yang terkena pajak, karena pemiliknya non-muslim pada waktu negerinya ditaklukkan pasukan Islam. Kemudian ia masuk Islam atau tanahnya dibeli orang muslim. Timbullah masalah apakah tanah yang terkena pajak itu juga terkena zakat, karena sekarang pemiliknya adalah muslim?
Menurut Jumhur, tanah tersebut wajib dizakati (di samping kena pajak) berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 26):
Artinya: “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, Maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?." dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik,” (QS. Al-Baqarah : 26).
Kemudian juga berdasarkan hadits Nabi SAW yang menunjukkan bahwa semua tanah yang mendapatkan air hujan (tanpa biaya atau mekanik) terkena zakat 10 % baik tanah yang terkena pajak maupun tidak.
Selain dalil naqli berupa ayat dan hadits tersebut di atas, jumhur juga menggunakan dalil aqli antara lain bahwa ketetapan zakat atas hasil bumi itu berdasarkan nash Al-Qur’an dan sunnah, maka karena itu ketetapan zakat tidak bisa terhalang oleh ketetapan pajak yang hanya berdasarkan ijtihad.
Menurut Abu Hanifah, tanah yang telah dikenakan pajak, tidak terkena zakat sekalipun pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dibeli oleh orang muslim. Tetapi sekalipun dari segi pengkajian ilmu hadits, hadits Ibnu Mas’ud yang dijadikan Abu Hanifah itu dipandang daif (lemah). Sebab apabila tanah milik seseorang yang terkena pajak, karena ia non-Islam kemudian masuk Islam atas kemauan dan kesadarannya sendiri, atau tanah milik orang tersebut dibeli orang lain yang muslim itu dikenakan double duties (pajak dan zakat), sedangkan pemilik tanah-tanah yang lain yang beragama Islam hanya dikenakan wajib pajak tanpa pajak. Oleh karena itu tampaknya lebih adil apabila bagi si pemilik tanah yang terkena pajak itu masuk Islam dan juga bagi seorang muslim yang membeli tanah yang terkena pajak itu diberi kesempatan untuk memilih di antara dua alternatif sebagai berikut:
1. Cukup membayar zakatnya saja sebanyak 5 – 10 % dari hasil tanahnya, sebab kewajiban pajak telah gugur, karena pemiliknya beragama Islam. Sebab illat hukumnya yang menyebabkan adanya kewajiban membayar zakat adalah pemilik non-muslim (sebagai imbangan kewajiban membayar zakat bagi pemilik tanah yang muslim). Hal ini sesuai dengan kaidah hukum:
الحكم يدور مع اعلة وجودا وعدما
Hukum itu berputar atas illat ada/tidaknya hokum-hukum”.
Artinya jika illatnya ada, hokum ada dan jika illatnya tidak ada (situasi dan kondisi berubah) maka maksudnya pun tidak ada.
2. Cukup membayar pajak saja karena meneruskan status hukum tanah sebelumnya. Hal ini sesuai dengan dalil istishab dan kaidah hukum yang berbunyi:
الاصل بقاء ما كان على ما كان
“Pada dasarnya meneruskan apa yang ada menurut keadaanya yang semula.”
Jadi, karena itu secara historisnya mempunyai status hukum sebagai tanah yang terkena pajak (al-ardh al-kharajiah), maka pemiliknya yang kemudian pun tinggal meneruskan status hukumnya yang lama.

B. Perbedaan Dasar Zakat dan Pajak
Adapun perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar antara zakat dan pajak adalah sebagai berikut:
a. Beda dasar hukum. Dasar hukum zakat adalah Al-Qur’an dan sunnah, sedangkan dasar hukum pajak adalah peraturan perundang-undangan seperti Undang-undang Pajak dan sebagainya.
b. Beda status hukumnya. Zakat adalah suatu kewajiban terhadap agama, sedangkan pajak adalah suatu kewajiban terhadap negaranya.
c. Beda obyek/sasarannya. Wajib zakat adalah khusus bagi penduduk yang beragama Islam, sedangkan wajib pajak adalah bagi semua penduduk tanpa pandang agamanya.
d. Beda kriterianya. Criteria pendapatan dan kekayaan yang terkena zakat dan pajak, prosentasinya dan jatuh temponya tidaklah sama. Misalnya presentasi penghasilan dan dizakati adalah antara 2,5 %-20 % tergantung pada jenis usaha/pekerjaan/profesinya, yang sudah ditentukan kadarnya oleh agama dan tidak bisa berubah-ubah, sedangkan prosentase penghasilan yang terkena pajak di Indonesia dewasa ini sekitar 15%-25%. Dan sudah tentu kriteria wajib pajak juga besarnya tariff pajak bisa berubah-ubah.
e. Beda pos-pos penggunaannya. Zakat hanya boleh digunakan untuk delapan pos/ashnaf yang sudah ditentukan dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60, sedangkan pajak digunakan untuk pos-pos yang sangat luas.
f. Beda hikmahnya. Hikmah zakat terutama untuk membersihkan/menyucikan jiwa dan harta benda wajib zakat, untuk meratakan pendapatan di kalangan masyarakat (agar tidak hanya dinikmati oleh si kaya saja, dan untuk meningkatkan kesejahteraan social, sedangkan hikmah pajak adalah untuk membiayai pembangunan nasional guna mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila yang diridha Allah SWT.
Kini lahirnya Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan zakat dapat ditafsirkan sebagai kemajuan kualitatif dari pelaksanaan zakat. Undang-undang yang sarat dengan prinsip profesionalisme manajemen ini, di samping memberikan kekuatan legitimasi terhadap pranata keagamaan, sekaligus merupakan wujud kepedulian pemerintah dalam menyempurnakan sistem pengelolaan zakat. Walaupun demikian, undang-undang ini menimbulkan masalah baru bagi umat Islam, khususnya bagi kaum aghniya bahwa mereka memikul beban kewajiban berdimensi ganda. Sebagai seorang muslim berkewajiban mengeluarkan zakat dan sebagai warga Negara berkewajiban mengeluarkan pajak. Pasal 14 ayat 3 dalam undang-undang tersebut menyatakan: “Zakat yang telah dibayarkan kepada Badan Amil Zakat atau lembaga Amil Zakat dikurangi dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan seusia dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Makna pengurangan zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak tersebut dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, membayar zakat dan pajak. Masalah ini terpecahkan dengan diterbitkannya Undang-undang No. 17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan. Pasal 4 ayat 1 berbunyi (yang tidak termasuk objek pajak): “bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh Badan Amil Zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak”.


C. Dasar Kewajiban Zakat dan Pajak
Kewajiban zakat bersumber pada wahyu Allah SWT dan menurut penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah SAW.
QS. Al-Baqarah ayat 83:

Artinya: “dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.”
Oleh karena itu zakat adalah kewajiban dan merupakan salah satu rukun dari rukun Islam. Walaupun di dalamnya terdapat unsur kewajiban materi, kedudukannya adalah sebagai ibadah yang setaraf dengan ibadah-ibadah lainnya. Kewajiban ini khusus diberikan kepada orang Islam. Kedudukannya sebagai ibadah itu menjadi motivasi yang kuat terhadap umat Islam di dalam pelaksanaannya.
Kewajiban pajak bersumber pada peraturan perundang-undangan yang ditetapkan pemerintah melalui badan yang berwenang untuk itu, suatu kewajiban pribadi atau badan yang berlaku bagi setiap warga Negara. Bagi umat Islam kedua kewajiban itu adalah sama, meskipun dari segi motivasi pelaksanaannya, zakat lebih kuat meskipun tanpa sanksi, karena hubungannya antara hamba dengan Allah. Pada pajak hanya terdapat hubungan antara hamba dengan penguasa negara yang mewajibkan pajak tersebut.

D. Tujuan, Kewajiban Zakat dan pajak
Kewajiban zakat mengandung tujuan yang bersifat moral spiritual. Seorang muslim merasa menjalankan kewajiban agama yang harus dipikulnya sekaligus menyadari bahwa harta yang dimilikinya adalah harta Allah SWT. Dalam mensyukuri nikmat Allah itu, seorang muslim harus mengeluarkan sebagian dari harta yang dimilikinya untuk tujuan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Tujuan moral terlihat dari segi anggapan bahwa sesame hamba Allah yang bersaudara harus memiliki kepedulian, saling tolong-menolong dan kasih saying di antara sesamanya. Zakat dikeluarkan dalam rangka mewujudkan kesatuan dan persatuan serta melaksanakan demokrasi ekonomi, dengan menghindarkan diri dari terjadinya penumpukan aset dan pemusatan ekonomi pada seseorang, sekelompok orang atau perusahaan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan pemerataan.
Pada pajak terlihat tujuan yang lebih bersifat material, yaitu sebanyak mungkin memasukkan materi ke dalam kas negara untuk membiayai kebutuhan negara. Dalam hal ini terkandung suatu pemikiran bahwa warga Negara yang mendapat keuntungan dan perlindungan dalam Negara harus mengimbanginya dengan membantu negara.

Analisis
Kewajiban membayar zakat telah diketahui sejak dulu. Sebenarnya pajak sudah ada pada zaman Nabi yaitu diperuntukkan bagi orang-orang non-muslim yang memiliki tanah di daerah islam. Pada zaman Nabi antara zakat dan pajak tidak harus dibayar semua. Karena zakat hanya diperuntukkan untuk orang-orang muslim, sedangkan pajak diperuntukkan orang-orang non-muslim seperti yang disebutkan tadi. Namun mengapa sekarang di negara kita keduanya harus dibayar. Hal itu terjadi karena ada beberapa permasalahan-permasalahan untuk zakat sendiri. Kita sebagai seorang muslim tidak mungkin kita meninggalkan zakat, karena zakat sendiri termasuk rukun islam. Apabila kita tidak melaksanakan zakat berarti kita belum melaksanakan rukun-rukun islam secara lengkap. Kalau begitu keislaman kita diragukan.
Untuk itu kita sebagai muslim yang menaati semua ajaran-ajaran harus melaksanakan yang lebih ditetapkan, sedang pajak merupakan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan fasilitas negara. Membantu pemerintah untuk membiayai pembangunan nasional, demi terwujudnya baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Kita sebagai warga negara yang baik, apakah kita tidak ingin melihat negara kita sendiri makmur dengan tidak membayar pajak. Maka dari kita harus membantu pemerintah dalam pembangunan nasional dengan tertib dengan membayar zakat. Dari uraian di atas hanya beberapa alasan untuk membayar zakat dan pajak. Untuk itu apabila kita ingin menjadi seorang muslim yang baik sekaligus warga negara yang baik hendaknya memenuhi zakat dan pajak.


Kesimpulan
1. Adanya beberapa perbedaan yang mendasar antara zakat dan pajak dilihat dari segi dasar hukumnya. Dasar hukum zakat sendiri dari al-Qur’an dan hadits. Sedangkan pajak berasal dari perundang-undangan yang dibuatkan oleh pemerintah.
2. Dasar hukum zakat al-Qur’an dan sunnah yang telah disebutkan dalam QS. Al-baqarah ayat 83. Sedangkan pajak didasarkan perundang-undangan yang telah disepakati bersama.
3. tujuan dari zakat sendiri mempunyai dua sifat yaitu spiritual dan moral. Selain untuk menyucikan hati dan harta kita, serta bersyukur kepada Allah SWT. Sedangkan pajak sifatnya material, yaitu sebanyak mungkin memberikan kepada negara. Agar semua fasilitas di negara ini menjadi lebih lengkap, sehingga kita dapat menggunakannya.

DAFTAR PUSTAKA
Ali Muhammad Daud, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1998).
Zuhdi, Masyfuk, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1994).
____________, Pengantar Hukum Syari’ah, (Jakarta: CV. Haji Mas Agung, 1987).
____________, Masail Diniyah Ijtima’iyyah, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1994).

Solusi Memakai Mukena Potong Tengah dalam Shalat

Mengenakan mukena potong tengah adalah sudah menjadi tradisi kebanyakan wanita masa kini, padahal bagian dadanya bisa terlihat dari bawah ketika ia mengangkat tangan. 


Tidak cukup karena terlihatnya bagian badan, dalam kasus tersebut termasuk kelihatan dari samping namun menurut sebagian ulama Malikiyah menutup aurat mughalladzah (penis dan dubur bagi laki-laki dan mulai dari perut sampai betis bagi perempuan) hukumnya sunnah dan pendapat ini boleh diikuti / digunakan menurut Imam Al Khothobi.
Solusinya mengenakan pakaian lain yang menutup aurat sebelum memakai mukena (rangkepan : Jawa) sehingga anggota badan tidak terlihat ketika mukena tersingkap.  

Referensi/Ta’bir   :  Majmu’ Syarah Muhadzdzab juz III hal. 167.
                              Hasyiyah Addasuqi juz I hal. 212 dan 214.
                              Al Khursyi juz I hal. 246 dan 247.
                              Hasyiyah Addasuqi juz I hal. 20.
                              Al Bahjah fi Syarhi Tuhfatul Hukkam juz I hal. 21-22.

فى المجموع 3/167 مانصه : (فرع) فى مذاهب العلماء فى ستر العورة فى الصلاة قد ذكرنا أنه شرط عندنا الى أن قال وقال بعض أصحاب مالك ستر العورة واجب وليس بشرط فإن صلى مكشوفها صحت صلاته سواء تعمد أو سهى وقال أكثر المالكية السترة شرط مع الذكر والقدرة عليها فإن عجز أو نسى الستر صحت صلاته وهذا هو الصحيح عندهم.
وفى حاشية الدسوقى 1/212 –214 مانصه : هل ستر عورته أى المصلى بكشف وإن كان الستر به حاصلا بإعارة بلاطلب أو طلب بشراء شرط ان ذكر وقدر للصلاة الى أن قال خلاف والقول بالسنية أو الندب ضعيف لم يدخل فى كلامه والخلاف فى المغلظة وهي من رجل السوأتان وهم من المقدم الذكر والأنثيان ومن المؤخر ما بين اليتيه فيعد مكشوف الأليتين والانة كلا أو بعضا بوقت الى أن قال واعادت الحرة والصلاة لكشف صدرها وكشف أطرافها من علق ورأس وذراع وظهر قدم كلا أو بعضا ومثل الصدر ما حاذاه من الظهر فيما يظهر بوقت لأنه من العورة المخففة وتعيد فيما عدا ذلك أبدا. (قوله بوقت) المراد به الإصفرار فى الظهرين والى الفجر فى العشائين.
وفى الخرشي 1/246-247 مانصه : ولايصح أن يراد به القول بالسنية أو الندب لأنه لم يشهر وينبنى عليهما لو صلى مكشوف العورة فعلى الشرطية يعيد أبدا وعلى نفيها يعيد فى الوقت أى مع العصيان (تنبيه) الخلاف المذكور فى العورة المغلظة وقوله بعد وهي من رجل وأمة ما بين سرة وركبة فى العورة الشاملة والمخففة ثم ان العورة المغلظة من الرجل هي السوأتان الى أن قال وأما الحرة فسيأتي انها تعيد فى الوقت فى كشف صدرها أو بعضه أو أطرافها أو بعضها أو فى مجموع ذلك فى الوقت وأنها تعيد فى كشف ما هو فوق المنحر فى الوقت كما يفيده قوله ككبيرة إن ترك القناع وانها تعيد فيما عدا ذلك أبدا إلى أن قال لما كانت عورة الحرة تنقسم كانقسام عورة الرجل الىمغلظة كالبطن والظهر ومخففة وهو ما أشار اليها مع حكمها بقوله وأعادت لصدرها وأطرافها بوقت يعني أن الحرة إذا صلت بادية الصدر فقط أو الأطراف فقط أو هما فإنها تعيد تلك الصلاة فى الوقت. ( قوله بوقت ) هو فى الظهرين للإصفرار وفى العشائين الليل كله والصبح للطلوع.
وفى حاشية الدسوقى 1/20 مانصه : وأما القول الشاذ والمرجوح أي الضعيف فلايفتى بهما وهو كذلك فلايجوز الإفتاء بواحد منهما ولاالحكم به ولايجوز العمل به فى خاصة النفس بل يقدم العمل بقول الغير عليه لأن القول الغير قوي فى مذهبه كذا قال الأشياخ وذكر الخطاب عن إبن عمر جواز العمل بالشاذ فى خاصة النفس وانه يقدم على العمل بمذهب الغير لأنه قول فى المذهب والأول هو إختيار المصريين والثاني إختيار المغاربة.
وفى البهجة 1/21-22 مانصه : والصحيح الأول ومقابل المشهور شاذ ومقابل الأشهر مشهور دونه فى الشهرة إلى أن قال ومراده بالشاذ مقابل المشهور أو الراجح