Kajian konsep civil society (masyarakat
madani) di Indonesia banyak mengalami proses perubahan – perubahan, kritik, dan
juga dekontruksi. Dalam melihat persoalan itu, perlu dilihat dalam dua tataran,
yakni, pertama, tataran
institusional – sosiologis, dan kedua,
tataran ideal menyangkut visi.
Pada tataran institusional,
bagaimanapun harus diakui bahwa akar – akar civil
society (masyarakat madani)
di Indonesia sudah ada, sekalipun sangat sederhana, seperti lembaga – lembaga intermediary antara
negara dan masyarakat, baik yang bersifat tradisional maupun modern, termasuk
yang dimiliki oleh organisasi dan gerakan Islam sejak zaman dahulu hingga
sekarang. Oleh karenanya, pada tataran ini, yang diupayakan adalah bagaimana
mengembangkan lembaga itu menjadi semakin rasional, sehingga melakukan kontak,
komunikasi, atau networking dengan kelompok – kelompok di luar gerakan –
gerakan Islam. Lembaga – lembaga seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah,
dan lain – lain secara institusional dan sosiologis merupakan akar – akar dari civil society (masyarakat
madani) secara kelembagaan itu. [1] Lebih menarik lagi dalam tataran
institusional ini, ternyata ormas – ormas Islam tersebut telah mencoba
melakukan gerakan Islam yang mampu menyerap enlightement
(pencerahan) berupa sikap rasionalitas, sekularisasi, dan nilai –
nilai demokrasi yang sangat humanitarian. Di mana pencerahan tersebut — dalam
wacana keIndonesiaan — bukan berarti tidak transendental (berdasar adat dan agama),
karena yang jelas civil
society (masyarakat madani) di Indonesia berbeda dengan di
Barat.[2]
Sementara itu pada tataran
visi, kita agak mengalami kesulitan, sebab sebuah visi dari civil society
(masyarakat madani) menuntut adanya kemampuan untuk menyerap nilai – nilai dari
luar yang mungkin untuk sementara masih dianggap di luar Islam seperti warisan
– warisan enlightenment
(pencerahan) : rasionalitas, sekularisasi, dan nilai – nilai demokrasi yang
sangat humanitarian, ini pun – sebenarnya – sudah banyak dilakukan oleh pemikir
– pemikir Islam, terutama dalam konteks modern seperti K.H. Abdurrahman Wahid
(Gus Dur). Upaya mencari persamaan antara produk enlightement (pencerahan) dengan khazanah
Islam di tampak berjalan, walaupun tidak semuanya tidak semuanya sudah
melahirkan kesepakatan – kesepakatan. Yang kita cari bukan perbedaan, sebab hal
itu hanyalah masalah pendekatan saja.
Dan konsep civil society (masyarakat
madani) kian relevan di Indonesia sebab kita menghadapi struktur yang hampir
sama yang terjadi di negara – negara totaliter di mana negara begitu berkuasa
dengan kuat, sampai mengurus hal – hal yang sangat pribadi. Oleh karena itu,
dalam tataran visi mengenai civil
society (masyarakat madani), kita tidaklah kemudian mencari
alternatif yang Islami, atau harus Islami. Cara – cara tersebut justru tidak
produktif. Upaya menggantikan visi civil
society dengan masyarakat seperti yang ada pada jama Nabi jelas
menghalangi kemungkinan – kemungkinan kita melakukan pencangkokan enlightement. Dengan
kata lain, tekanannya adalah pada kemampuan kita melakukan pencangkokan tanpa
harus menghilangkan identitas masing – masing fihak. Dan ini, dalam pandangan
orang yang melihat sisi Islam saja, tentu kurang memuaskan, sehingga kita perlu
melakukan kajian yang lebih luas dalam masalah civil society (masyarakat madani).[3]
Memang harus diakui, selama
ini dalam kerangka pemikiran intelektual Muslim Indonesia terjadi perbedaan di
antara mereka, seperti contoh, M. Dawan Rahardjo lebih sepakat jika civil society mengalami
“Islamisasi”, dalam sudut pandang sama Nurcholish Madjid lebih melihat pada
aspek agama Islam sebagai dominant
ideology, sedangkan Gus Dur melihat Islam harus dipandang secara
komplementer.
Dari sekian kesulitan
melakukan identifikasi masyarakat madani (civil
society) dalam tataran visi,
menarik untuk merunut pendapat Nurcholish Madjid bahwa masyarakat
madani (civil society)
identik dengan beberapa hal yaitu: Pluralisme, toleransi, demokrasi dan
terciptanya modern state.[4] Dengan analisis sebagai
berikut :
Pluralisme
Berkenaan dengan masalah
pluralisme – suatu unsur yang sangat asasi dalam masyarakat madani sebagaimana
diletakkan dasar – dasarnya oleh Nabi, kita dapatkan dalam wacana masyarakat
sipil (Indonesia) masih menunjukkan pemahaman yang dangkal dan kurang sejati.
Istilah “pluralisme” sudah menjadi barang harian dalam wacana umum nasional.
Namun dalam masyarakat ada tanda – tanda bahwa orang memahami pluralisme hanya
sepintas lalu, tanpa makna yang lebih mendalam, tidak berakar dalam ajaran
kebenaran.
Paham kemajemukan
masyarakat atau pluralisme tidak cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima
kenyataan masyarakat yang majemuk, tapi harus disertai dengan sikap yang tulus
untuk menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai bernilai positif, sebagai
rahmat Tuhan kepada manusia, karena akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui
interaksi yang dinamis lewat pertukaran silang budaya yang beraneka ragam.
Pluralisme juga tidak boleh
dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative
good) yang hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan
fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan
dalam ikatan – ikatan keadaban.” Bahkan Pluralisme adalah suatu keharusan bagi
keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan
pengimbangan yang dihasilkannya.[5]
Hal senada diungkapkan A.
Najib Burhani, yang mengatakan bahwa gagasan civil
society (masyarakat madani) hanya bisa tumbuh subur dalam
masyarakat yang mengakui pluralitas. Gagasan civil
society (masyarakat madani) yang
memiliki prasyarat utama adanya pluralisme itu dapat dilihat pada beberapa
gagasan dan tema yang sebenarnya kuno namun klasik. Misalnya apa yang
diperkenalkan Emile Durkheim dengan solidaritas organis, Ferdinand Tonis dengan
bentuk – bentuk ikatan paguyuban (gemeinschaft)
dan patembayan (gesellschaft)
untuk munculnya
wilayah yang bersifat privat dan bersifat publik. Jadi, dalam perwujudan
masyarakat madani atau civil
society adalah pluralisme lembaga – lembaga masyarakat sebagai
penyeimbang institusi negara sangat dituntut. Piagam Madinah menjadi
tonggak pertama kali diperkenalkannya umat manusia pada pluralisme, kebebasan,
terutama dibidang agama dan ekonomi, serta tanggungjawab sosial dan politik,
khususnya pertahanan.[6]
Kosep keragaman (Pluralisme) yang
merupakan ciri civil
society (masyarakat madani),
Di mana tumbuhnya berbagai organisasi masyarakat akan mendukung terwujudnya civil society (masyarakat
madani), apabila organisasi masyarakat itu memiliki tanggungjawab untuk
memperbaiki kualitas perilaku warganya tanpa menghilangkan identitas individu
yang bersifat plural.[7]
Dalam konteks yang lebih
luas, pluralisme dipahami sebagai sesuatu yang normatif, karena kemajemukan
sebagai suatu perbedaan adalah shahih, sehingga mau tidak mau motif yang kita
kembangkan bukan untuk menghilangkan perbedaan yang ada, tetapi bagaimana
menjadikan perbedaan – perbedaan yang ada dalam segala hal seperti ideologi,
kepercayaan, agama, suku, ras, warna kulit dan kepentingan diarahkan pada
konsep mutualisme simbiosisme (saling mengisi atau saling membutuhkan). Jika
situasi kondusif tersebut tercipta, pluralisme akan menjadi artefak yang indah
dalam masyarakat, masyarakat akan menikmati situasi perbedaan sebagai “rahmat”
dan “rahmat” yang tercipta dengan sendirinya akan membawa masyarakat pada
kecerdasan dalam mengembangkan peradaban.
Toleransi
Jika toleransi menghasilkan
adat dan tata cara pergaulan yang “enak” antara berbagai kelompok yang berbeda
– beda, maka itu harus dipahami sebagai hikmah atau manfaat dari suatu ajaran
yang benar. Hikmah atau manfaat itu adalah sekunder nilainya sedangkan yang
primer adalah ajaran itu sendiri. Maka sebagai primer, toleransi harus kita
laksanakan dan wujudkan dalam masyarakat, sekalipun untuk kelompok tertentu —
bisa jadi untuk diri kita sendiri — pelaksanaan toleransi secara konsekuen itu
akan menghasilkan sesuatu yang baik.[8]
Toleransi sebagai salah
satu asas masyarakat madani adalah lebih prinsipil daripada toleransi seperti
yang pernah tumbuh di masyarakat Eropa. Dalam sejarah, paham toleransi di Eropa
antara lain di mulai oleh “Undang – undang Toleransi 1689” (The Tolerantion Act of 1689)
di Inggris, Tetapi toleransi di Inggris itu hanya berlaku dan diterapkan
terhadap berbagai pecahan intern Gereja Anglikan saja, sementara paham Katolik
dan Unitarianisme tetap dipandang tidak legal. Dan abad 18, toleransi
dikembangkan sebagai akibat ketidakpedulian orang terhadap agama, bukan karena
keyakinan kepada nilai toleransi itu sendiri. Apalagi saat revolusi Prancis,
kebencian kepada agama (semangat laicisme
dan anti –
clecalisme) sedemikian berkobar – kobar. Maka yang muncul tidak
saja sikap tidak peduli kepada agama, tetapi kebencian yang meluap – luap. [9]
Jika di Barat terjadi
demikian, maka ketika kita kembalikan dalam konteks Indonesia, maka sikap
toleransi menjadi sesuatu yang wajib. Karena dengan kondisi masyarakat yang
sangat plural, baik adat istiadat, suku, agama dan ras, tidak bisa tidak sikap
toleransi harus selalu dikedepankan. Konflik – klonfik SARA, yang pernah terjadi
di Situbondo, Tasikmalaya, Ambon, Poso, Sambas dan lain sebagainya, sebagai
bukti bahwa ketika kita ingin menciptakan masyarakat yang beradab, sikap
toleran harus harus selalu dikedepankan.
Bahkan dalam sejarahnya
Rasulullah Muhammad SAW ketika memimpin Madinah, nilai – nilai toleransi
dijadikan salah satu “asas” negara Madinah. Pluralitas yang ada di Madinah
waktu itu dengan adanya pemeluk agama Yahudi dan Nasrani tentunya menjadikan
nilai toleransi sebagai ajaran yang secara mutlak harus dilakukan, karena
bagaimanapun juga Rasulullah tentunya ingin menunjukkan bahwa Islam sebagai
agama rahmatan lil alamin
dengan tidak memberangus kelompok minoritas, bahkan sebagai jaminan Rasulullah
menjadikan nilai toleransi sebagai “konstitusi” yang termaktub dalam piagam
Madinah.
Demokrasi
Bicara tentang demokrasi,
biasanya orang berbicara tentang interaksi antara negara dan civil society
(masyarakat madani). Asumsinya adalah, jika civil
society (masyarakat madani) vis a vis negara relatif kuat maka
demokrasi akan berlangsung, sebaliknya, jika negara kuat dan civil society lemah
(masyarakat madani), maka demokrasi tidak berjalan dengan baik. Dengan demikian
demokratisasi dipahami sebagai proses pemberdayaan civil society (masyarakat madani).
Selain itu, konsep
masyarakat madani (civil
society) yang
berkaitan dengan kekuatan sosial yang demokratis, progresif dan terbuka. Maka
untuk pembentukan masyarakat madani (civil
society), perlu menjamin terjadinya proses demokratisasi,
yang diselenggarakan melalui sistem perundang – undangan dan kelembagaan yang
sesuai, serta peletakan landasan etik dan pengaturan hukum dari pola perilaku
pemegang kekuasaan.[10]
Berkenaan dengan fenomena
tersebut, banyak orang berkeyakinan bahwa demokratisasi dalam upaya membangun civil society
(masyarakat madani) yang kokoh itu secara simplitis harus diikuti juga dengan
proses demiliterization
society (demiliterisasi masyarakat), yaitu mengembalikan lembaga
militer pada posisinya, tugas dan fungsi pokoknya.[11]
Dari uraian di atas dapat
diambil asumsi bahwa demokrasi dalam pembentukan masyarakat madani (civil society) adalah
adanya penguatan dari dari masyarakat sipil terhadap kekuasaan, yang berarti
masyarakat sipil diberi kebebasan dalam bersikap, berkehendak dan
berserikat/berkumpul atau dalam dataran teknis tercermin lewat organisasi baik
organisasi kemasyarakatan (ormas) atau politik, di mana lembaga – lembaga
tersebut dilindungi lewat undang – undang.
Selain itu, peranan militer
dalam konteks negara demokrasi harus diminimalisir. Kekuatan militer adalah
kekuatan pertahanan yang mempunyai kekhususan dalam porsi dan posisi mereka,
sehingga akan sangat berbahaya jika masuk dalam kehidupan sipil secara praktis
terutama dalam lembaga – lembaga politik. Beberapa kasus seperti yang terjadi
di Pakistan ketika Jenderal Perves Musharraf menumbangkan kekuatan sipil, atau
yang pernah terjadi di Indonesia, militer dengan “modal” dwi fungsinya
menjadikan lembaga – lembaga sipil dan posisi sipil sebagai bagian dari
penancapan hegemoni militer terhadap sipil, sehingga yang terjadi kemudian
militer menjadi kelompok masyarakat yang mempunyai kelas tersendiri di atas
masyarakat sipil, sehingga apresiasi masyarakat selalu didominasi kekuatan militer,
jika terjadi demikian maka penguatan demokrasi menjadi tidak sehat, karena
segala sesuatunya harus mendapat “restu” dari militer.
Semangat Madani dan Modern State
Semangat madani dan modern
state bukanlah sebagai “proses” pembentukan masyarakat madani (civil society) tetapi
lebih sebagai “hasil”, dengan uraian sebagai berikut :
Sebagaimana kita ketahui
bahwa inti dari konsep masyarakat madani (civil
society) adalah terbentuknya lembaga – lembaga atau organisasi di
luar negara, yang mempunyai otonomi relatif, dan memerankan fungsi kontrol
terhadap penyelenggaraan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.[12] Yang
berarti masyarakat madani (civil
society) memberikan adanya public
space (ruang publik) agar kekuatan besar berupa negara tidak
bertindak macam – macam dan semenang – wenang. Tetapi, yang jelas,
harus ada tradisi terlebih dahulu yang dibentuk dari sana.[13] Atau dalam
bahasanya Nurcholish Madjid, semangat penghargaan kekuasaan terhadap warga
negaranya (berupa ; hak – hak asasi, martabat kemanusiaa, hak hidup dan
lainnya) adalah bentuk negara modern dalam masyarakat madani.[14]
Selain itu, kehidupan
negara atau bangsa yang modern ditandai oleh adanya relasi, praktek, dan
pembagian kekuasaan yang bersifat rasional. Hal ini jelas berbeda dengan alam
pikiran tradisional yang menganggap kekuasaan bersifat pribadi. Untuk waktu
lama banyak sekali negara – negara berkembang atau yang belum merdeka
menerapkan pengertian seperti ini. Dalam pengertian ini ada kerancuan apa yang
menjadi wilayah publik dan pribadi. Di samping itu, dalam kerangka kehidupan
politik tradisional, kekuasaan tidak disertai dengan mekanisme pertanggung-
jawaban yang semestinya.[15]
Dari sinilah peran – peran
lembaga – lembaga atau organisasi di luar kekuasaan menjadi strategis, karena
mempunyai “hak” melakukan kontrol dan berpartisipasi langsung maupun tidak
langsung dalam penyelenggaran kehidupan bermasyarakat atau bernegara. Secara
khusus M. Dawam Rahardjo lebih sepakat jika konsep tersebut juga diperjuangkan
lewat lembaga swadaya masyarakat atau bahkan partai politik agar keberadaanya
dalam berbagai bentuk dan perwujudan dari masyarakat madani (civil society) bukan
saja mendapat pengakuan yang sah, tetapi juga mampu mengimbangi negara.[16] Dan
pada unit sosial partial rakyat akan menemukan kemampuan bersuara kolektif dan
kemungkinan defferensi, hubungan interpersonal langsung. Asosiasi – asosiasi
antara adalah penting, baik dari bahaya identitas yang berbeda oleh normalisasi
massa maupun demokrasi yang menghadapi oligarki.[17]
Perlu di garis bawahi bahwa
partisipasi publik dalam tataran ini secara perspektif normatif instrumen yang
paling praktis digunakan adalah dengan menganut dan melaksanakan asas
konstitualisme. Apalagi secara langsung bisa menjadikan penguatan masyarakat
madani (civil society). Masalahnya,
tentu saja, tak semudah itu mengharapkan pihak penguasa mau melaksanakannya.
Dalam masalah ini kita tidak bisa mengharapkan inisiatif datang dari negara
atau menunggu simpati penguasa dan aparatur negara. Penguasa totaliter dimanapun
tak mengendaki menguatnya masyarakat madani (civil
society). Karenanya, para anggota masyarakat sendirilah yang harus
memperjuangkannya, dapat dengan melakukan gerakan sosial (mobilisasi unsur –
unsur strategis masyarakat seperti kaum buruh, tani mahasiswa dan kelas
menengah pada umumnya; melakukan demonstrasi dengan mengangkat isu yang
berdimensi publik) maupun melalui gerakan kultural (diskusi, aksi, informasi,
kegiatan penyadaran dan seterusnya).[18]
Sebagai suatu “norma”
tampaknya apa yang ditawarkan di atas menginginkan kita untuk menjadikan
lembaga – lembaga masyarakat baik lembaga swadaya masyarakat maupun organisasi
politik sebagai “saluran resmi” dalam pengembangan supremasi sipil sebagai inti
dari demokrasi tersebut. Cuma persoalannya kekuasaan yang biasanya mempunyai
kecenderungan untuk otoriter dan korup tidak mudah untuk memberikan kesempatan
dan penghargaan pada masyarakat berupa jaminan hidup dan hak asasi, untuk
itulah perlu adanya kontrol yang gigih dari masyarakat, meminjam istilahnya
Miriam Budihardjo partisipasi dan kontrol yang dikembangkan masyarakat tidak
hanya partisipasi konvensional (Pemilu), tetapi juga bisa disalurkan lewat cara
non konvensional (diskusi, aksi / demonstrasi). Proses – proses tersebut yang
jelas dalam kerangka menjadikan kekuasaan tidak “melecehkan” aspirasi
masyarakat dan itulah demokrasi yang sebenar – benarnya sebagai prasyarat
terbentuknya negara modern.
Setelah kita melakukan
identifikasi konsep masyarakat madani (civil
society), maka tampak dengan jelas bahwa masyarakat madani (civil society) adalah
suatu masyarakat demokratis dan menghargai hak – hak dan tanggungjawab manusia.
Tanggungjawab tersebut menjadikan toleransi, pluralisme dan demokrasi sebagai
kunci paling utama dalam pembentukan masyarakat idaman (masyarakat madani).
Melihat keadaan masyarakat
dan bangsa Indonesia maka ada beberapa prinsip yang khas yang perlu kita
perhatikan di dalam membangun masyarakat madani (civil society) di Indonesia. Ciri – ciri
khas tersebut ialah : [19]
- Kenyataan
adanya keragamaan budaya Indonesia yang merupakan dasar pengembangan
identitas bangsa Indonesia dan kebudayaan nasional.
- Pentingnya
adanya saling pengertian antara sesama anggota masyarakat. Seperti yang
dikemukakan oleh filosof Isaiah Berlin, yang diperlukan di dalam
masyarakat bukanlah sekedar mencari kesamaan dan kesepakatan yang tidak
mudah untuk dicapai. Justru yang penting di dalam masyarakat yang
ber-bhineka ialah adanya saling pengertian. Konflik – konflik nilai
merupakan dinamika dari suatu kehidupan bersama di dalam masyarakat
madani. Konflik – konflik nilai tidak selalu berarti hancurnya suatu
kehidupan bersama. Dalam masyarakat demokratis, konflik akan memperkaya
horison pandangan dari setiap anggota.
- Berkaitan
dengan kedua ciri khas tadi ialah toleransi yang tinggi. Dengan demikian
masyarakat madani Indonesia bukanlah masyarakat yang terbentuk atau
dibentuk melalui proses indoktrinasi tetapi pengetahuan akan ke-bhinekaan
dan penghayatan terhadap adanya ke-bhinekaan tersebut sebagai unsur
penting dalam pembangunan nasional.
- Akhirnya
untuk melaksanakan nilai – nilai khas tersebut diperlukan wadah kehidupan
bersama yang diwarnai oleh adanya kepastian hukum. Tanpa kepastian hukum
sifat – sifat toleransi dan saling pengertian antara sesama anggota
masyarakat pasti tidak dapat diwujudkan.
Secara sederhana bisa kita
ambil kesimpulan dari empat ciri khas di atas bahwa bangsa ini (Indonesia)
secara sunatullah telah memiliki kemajemukan yang justru merupakan ciri khas
tersendiri, yang perlu dilakukan adalah adanya saling pengertian di antara anggota
masyarakat yang memiliki perbedaan tersebut. Sikap saling pengertian itu
berwujud toleransi sebagai sebuah keniscayaan akan doktrin kebhinekaan yang
kita miliki, tetapi semuanya dilaksanakan atas dasar adanya kepastian hukum,
sehingga toleransi bukan barang semu yang melangit tetapi jelas bagi
kemungkinan – kemungkinan yang akan terjadi.
Sebagai epilog ; Civil
society, masyarakat madani atau istilah apapun yang dimunculkan, yang
jelas keinginan untuk menciptakan masyarakat yang beradab, yang menjadikan nilai
– nilai pluralisme, toleransi, demokrasi untuk mewujudkan sebuah negara modern,
adalah persoalan yang lebih substantif daripada harus terjebak pada perdebatan
– perdebatan konsepsional. Karena bagaimanapun juga ketika kita memilah dan
mereduksi berbagai peristilahan dalam kerangka pemikiran yang partikulalistik
(sebagian), yang terjadi kemudian kita justru kehilangan “ruh” dari nilai –
nilai yang ada pada istilah tersebut, baik civil society atau masyarakat
madani.
Selain itu, akan lebih arif
jika masyarakat madani atau civil
society pengembangan konsep dan aplikasinya dalam konteks
keIndonesiaan tidak meninggalkan aspek transendental (adat istiadat dan agama),
karena bagaimanapun juga, spesifikasi masyarakat Indonesia mempunyai nilai
lebih atau kurang dibandingkan dengan objek civil
society di manapun juga. Dan semuanya kiranya untuk
menjadikan bangsa ini lebih baik pada masa yang akan datang. Amin.
[1] Muhammad AS. Hikam,
“Nahdlatul Ulama, Civil Society dan Proyek Pencerahan”, dalam Ahmad Baso, Civil Society Versus Masyarakat
Madani Arkeologi Pemikiran “Civil Society” Dalam Islam di Indonesia, Pustaka
Hidayah, Bandung,
Cet. ke – 1, 1999, hlm. 9 – 10.
[2] Ibid., hlm. 11.
[3] Ibid.
[4] Nurcholish Madjid, Op.Cit., hlm. 23 – 30.
[5] Ibid., hlm. 23.
[6] Ahmad Najib Burhani, Op.Cit., hlm. 21.
[7] Djohar, Loc.Cit.
[8] Nurcholish Madjid, Op.Cit., hlm. 24.
[9] Ibid., hlm. 25.
[10] M. Taufik Abdullah,
“Di Sekitar Hasrat Ke Arah Masyarakat Madani”,
dalam Membangun
Masyarakat Madani Menuju Indonesia Baru Milenium Ketiga, Pasca
Sarjana UMM dan Aditya Media, Cet. ke – 1, Yogyakarta, 1999, hlm. 71.
[11] Muhajir Effendy, Op.Cit., hlm. 3 – 4.
[12] Bahtiar Effendy,
“Wawasan Al – Qur’an Tentang Masyarakat Madani”, dalam PARAMADINA, Vol. I, No. 2, Jakarta,
1999, hlm. 83 – 84.
[13] Muhammad AS Hikam, Op.Cit., hlm. 14.
[14] Nurcholish Madjid, Op.Cit., hlm. 29.
[15] Bahtiar Effendy, Loc.Cit.
[16] Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani di Indonesia ……..
Op.Cit., hlm. 17.
[17] Craig Colhoun,
“Nasionalisme dan Civil Society, Demokrasi, Keanekaragaman dan Penentuan Nasib
Diri Sendiri”, dalam
Wacana Masyarakat Sipil, WACANA
No. 1, Yogyakarta, 1999, hlm. 112.
[18] Adnan Buyung Nasution,
Op. Cit., hlm.
8.
[19] H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia,
PT Remaja Rosdakarya, Cet. ke – 1, Bandung, 1999, hlm. 160.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar