Penulis buku : As-Sayyid Mahmud Syukri Al-Alusi; judul buku: Al Qur’an dan Ilmu Astronomi, Judul asli: Mā Dalla ‘Alaihi al Qur’ān: Min mā Ya’ḍadū al-hai’ah al-Jadīdah al-Qawīmah al-Burhān; ditahqiq oleh:Muhammad Zuhair Asy Syawisy; Penerbit: Al-Maktab al-Islami-Beirut/Amman/Damaskus; Cetakan kedua: 1418 H/1977 M; Penerjemah: Kamran As’ad Irsyadi; Editor: Mukhlis B Mukti dan Sri Yuliastuti, S.EI; Desain Cover: Haka Desain, Cetakan Pertama: Septemper 2004; Penerbit: Pustaka Azzam Jakarta, Jumlah halaman: 300; Ukuran buku:20,5 x 13 cm.
Secara singkat
buku ini menjelaskan tentang ayat-ayat yang mengungkapkan masalah yang
berkaitan dengan kosmologi atau astronomi. Penulis mencoba menghimpun ayat-ayat
tersebut secara berurutan yang terdapat dalam berbagai surah dalam al Qur’an.
Kemudian satu per satu ayat itu dibahas dengan mengutip pendapat-pendapat ulama
salaf sejak zaman sahabat sampai tabi’in dan pendapat-pendapat para ahli
astronomi sejak zaman Phytagoras yang lahir sekitar tahun 600 SM (hlm. 26)
sampai pada penemuan ahli astronomi mutakhir. Namun al Qur’an bukanlah kitab tentang
ilmu-ilmu kosmologi, sehingga harus merujuk setiap teori kepadanya, serta
memeriksakan setiap penemuan padanya. Al Qur’an hanya memberi isyarat beberapa
hakikat hukum alam dan sekaligus untuk mendorong manusia melakukan pengamatan
dan perenungan.
Sistematika
penulisan dalam buku ini tidak dibagi kepada bab-bab, tetapi dibagi kepada 39
pokok pembahasan. Tiga pokok pembahasan terdiri dari: pengantar, Biografi
Penulis, dan Mukaddimah. 35 pokok pembahasan terdiri dari 35 surah secara
berurut yang membahas ayat-ayat astronomi atau kosmologi, dan satu pokok
pembahasan, tentang ayat-ayat kosmos di berbagai surah. Setiap pokok pembahasan
ada yang uraiannya panjang dan ada yang pendek sekali, yang terdiri dari dua
atau tiga halaman saja. Dan setiap pokok bahasan, kadang-kadang tidak tuntas
sehingga pembahasannya dilanjutkan pada pokok bahasan yang lain, dan
kadang-kadang berulang-ulang. Apa yang sudah diuraikan pada suatu pokok
bahasan, diulang lagi pada pokok bahasan yang lain.
Adapun 35 surah
yang menjadi pokok pembahasan yang terdapat ayat-ayat kosmos di dalam buku ini
adalah surah: Al Baqarah, ĀLi ‘Imrān, al-An’ām,
al-A’rāf, al-Barā’ah 9at-taubah), Yūnus, Hūd, ar-ra’d, Ibrāhīm, al-Ḥijr,
an-Naḥl, al-Isrā’,
al-Kahfi, Maryam, Ṭāhā,
al-Anbiyā’, al-Ḥajj, al-Mu’minūn, an-Nūr, al-Furqān, asy-Syu’arā’, an-Naml,
al-‘Ankabūt, ar-Rūm, Luqmān, as-Sajdah, Saba’, Fāṭir, Yāsin, aṣ-Ṣāffat, asy-Syūrā,
ad-Dukhān, Qāf, al-Qamar, dan aṭ-Ṭalāq. Sungguhpun demikian, bukan
berarti pada surah-surah yang lain tidak terdapat ayat-ayat tentang kosmos.
Ternyata pengarang banyak juga mengutip ayat-ayat yang senada dari surah-surah
lain, seperti surah:az-Zumar, al-Mu’min, Fuṣṣilat, aż-Żāriyāt, al-Mursalāt,
al-Wāqi’ah, al-Mulk, al-Ḥāqqah,
al-Muzzammil, al-Qiyāmah, an-Naba’, an-Nāzi’āt, dan asy-Syams. Sehingga apabila
seluruh surah yang mengandung ayat-ayat kosmos atau astronomi dihimpun, maka
menurut penulis buku ini jumlahnya menjadi 48 buah.
Penulis mencoba
memisahkan dalam pembahasannya antara pendapat para mufasir dengan pendapat
ahli astronomi dari Barat. Setiap mengungkap pendapat para ahli astronomi
Barat, penulis menyebutnya dengan “mereka”. Bila penulis menragukan hasil
penemuan mereka, penulis mengembalikan kepada pendapat ulama-ulama salaf.
Tetapi sejauh temuan itu menurut penulis masih sesuai dengan kehendak ayat, dia
dapat menerimanya. Sebaliknya bila penulis masih meragukannya, dia kembali
kepada pendapat-pendapat ulama-ulama salaf.
Selanjutnya,
dalam menyebutkan nama-nama tahun hamper selalu dengan tahun Hijriyah, dan
hitungan jarak hamper seluruhnya dengan hitungan farsakh; sekali-sekali
disebutkan juga dengan kilometer dan sekali-sekali dengan mil. Sebagai contoh,
ketika penulis membahas surah al-An’ām/Q.S.6:97, yang artinya: “Dan dialah yang menjadikan bintang-bintang
bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di
laut……..”.
Penulis mencoba
menjelaskan apa yang disebut dengan bintang dan macam-macam bintang. Penulis
juga mengangkat berbagai temuan para ahli astronomi tentang penemuan mereka.
Misalnya: “Bintang yang bergerak
(mengelilingi matahari) menurut mereka (ahli perbintangan penganut teori baru)
adalah Merkurisu, Venus, Bumi, Mars. Wasanah (ditemukan oleh salah seorang
pakar kalangan mereka yang bernama “Alypus” kira-kira pada tahun 1223 H),
Neptunus (ditemukan oleh seorang pakar dari kalangan mereka yang bernama
“Hardanaq” kira-kira pada tahun 1220 H), Syrus (ditemukan oleh ilmuwan kalangan
mereka pula yang bernama “Bizazhi” pada tahun 1227 H), Yupiter, Saturnus,
Uranus (ditemukan oleh astronom kalangan ini juga yang bernama “Hershell”
kira-kira pada tahun 1197 H)” (hlm.83).
Dalam bagian
lain penulis mengatakan: “Jika pada
mulanya mereka mengklaim bahwa matahari tidak mengelilingi planet lain,
melainkan hanya bergerak mengelilingi dirinya, maka penemuan terbaru mereka
menyatakan bahwa ia juga bergerak mengelilingi sebuah planet dari sekian
planet-planet Kartika (Tsurayya), dan mereka pun berasumsi bahwa planet ini pun
masih berotasi mengelilingi planet lain yang lebi jauh, begitu seterusnya
hingga tak terhingga dan hanya Allah saja yang tahu” (hlm. 84) “Mereka terus
mengembangkan apa yang mereka bangun, dan nyaris tidak ada yang luput dari
mereka, kecuali hal yang tidak diharuskan oleh larangan agama” (hlm. 85).
Kemudian
pendapat-pendapat mengenai hal-hal yang menurut penulis telah menyimpang dari
agama, beliau meng-counter-nya dengan pendapat para ulama salaf. Penulis
mengungkapkan demikian:”Mempelajari ilmu
perbintangan, posisi (manzilah), kondisi (bintang), dan hal-hal sejenis yang
menjadi sarana pencapaian kemaslahatan agama, maka hukumnya tidak apa-apa.
Sedangkan yang dilarang dari disiplin ilmu nujum (perbintangan) adalah ramalan
tentang peristiwa di masa depan yang mereka klaim diperoleh dari pengamatan
terhadap gerak laju bintang-bintang mengingat kebersamaan dan keberpisahan
(Iqtirā’an wa iftirāq). Masalah ini adalah wacana khusus yang hanya dimiliki
oleh Allah semata dan tidak diketahui oleh seorang pun selain-Nya. Barang siapa
yang mengaku mengetahuinya, maka ia mardūd ‘alaih (tertolak)” (hlm.86).
padahal para ahli perbintangan (astronomi) zaman sekarang sudah dapat
mengetahui berbagai peristiwa yang akan terjadi pada masa yang akan datang,
seperti akan terjadinya gerhana, hujan, dan berbagai keadaan cuaca yang akan
terjadi pada suatu tempat tertentu.
Ketika para ahli
astronomi mengatakan bahwa bulan tidak memiliki cahaya sendiri, tetapi cahaya
yang dimilikinya berasal dari matahari atau (kadang-kadang) dari bumi, tapi
pengarang buku ini berpendapat lain seperti apa yang diungkapkannya berikut
ini, “kita tidak bisa memvonis begitu saja bahwa cahaya bulan berasal dari
matahari, sebab boleh-boleh saja yang separohnya berasal dari dirinya sendiri
dan sisanya gelap…”(hlm.. 97).
Para ahli
astronomi mengatakan bahwa gerhana bulan terjadi ketika posisi bulan berlawanan
dengan bumi dan terhalangi oleh matahari, sehingga bulan masuk ke dalam baying
bumi dan menghilang. “Namun ini juga tidak bisa memberikan kepastian, sebab
bisa jadi perbedaan bentuk tersebut diakibatkan oleh sebab lain yang tidak
diketahui. Misalnya, ada satu planet yang menggumpal di bawah bulan sehingga
menghalangi dan terjadi gerhana matahari….”
Penulis juga
menjelaskan tentang ayat 5 dan 6 surah Yūnus, yang artinya: “ Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan
bulan bercahaya dan ditetapkan –Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat)bagi
perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan
(waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya ) bagi orang-orang yang mengetahui .
Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada yang diciptakan Allah
dilangit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa”. Dalam
pokok pembahasan ini, penulis menguraikan tentang matahari dan bulan, tentang
sinar dan cahaya dan jaga dijelaskan juga tentang beberapa planet lain seperti
Saturnus, Jupite, Mars, Venus, dan seterusnya, dengan sifat dan tata letakaya
secara singkat. Hal yang sama juga telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya .
Dalam pokok
bahasan ini juga diuraikan hal-hal lain yang berkaitan dengan pandangan agama :
tentang penepatan awal bulan : apakah dengan melihat hilal atau dengan hisap.
Tampaknya penulis lebih condong dalam penepatan awal bulan untuk
pelaksanaanibadah seperti puasa, haji, dan hukum-hukum lainya, yaitu dengan
melihat kepada hilal, tidak dengan perhitungan hisab, dianggap sebagai pendapat
“orang-orang yang belum matang dalam agama
(hlm. 114-115). Pendapat penulis
diperkuatnya dengan kebiasaan- kebiasaan umat-umat terdahulu yang menentukan
awal bulan dan bilangan hari dengan berpatokankepada hilal. Sedangkan
pendapat-pendapat dan temuan para ahli astronomi mutakhir, bila penulis
meragukannya, sering dibantah oleh
penulis dengan menukil pendapat ulama-ulama salaf. Apa yang dibawa oleh
syariat adalah hal yang paling sempurna, sebab ia menghitung waktu bulan dengan
sesuatu yang alamiah, jelas dan terjangkau oleh pandangan mata, sehingga tidak
akan sampai menyesatkan orang dari agamanya (hal. 124).
Sekali pun
demikian bukan berarti penulis menolak sama sekali pendapat ahli-ahli
astronomi, tapi sangat selektif dan hati-hati sekali, sebagai cerminan dari
kekhawatiran, kalua-kalau agama sampai dirusak oleh ornang-orang semacam itu,
sebagaimana telah terjadi pada agama-agama terdahulu.
Ketika penulis
membahas surah ar-Ra’d /Q.S.13:2, yang artinya:”Allah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana)yang kamu lihat,
kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy,
Dia menundukkan matahari dan bulan: masing-masing beredar menurut waktu yang
telah ditentukan. Dia mengatur urusan (makhluk-Nya), dan menjelaskan
tanda-tanda (kebesaran-Nya), agar kamu yakin akan pertemuan dengan Tuhanmu
“. Langit yang dilukiskan oleh ayat sebagai sesuatu yang tiggi tanpa tiang,
boleh jadi bahwa ia benar-benar langit (benda). Pendapat para filsuf yang
mengatakan bahwa warna biru itu adalah “penutup udara kebumian yang di dalamnya
memancar sinar-sinar biru” , dan
pendapat yang mengatakan bahwa “langit sebagai sesuatu benda angkasa tidak bisa
dilihat” (hlm. 141). Pendapat seperti itui dibantah oleh penulsi dengan
mengutip pandangan ulama salaf, seperti pendapat ar-Razi, Ibnul Qayyim dan
ulama salaf lainnya, yang pada intinya mengatakan bahwa warna biru itu bukan
merupakan batas pandang mata, tetapi mungkin saja bahwa warna biru itu
betul-betul warna riil dari warna langit (hlm. 143).
Bahkan di dalam
buku ini penulis-seklipun ia membantahnya-mengutip pendapat yang sangat tidak
logis, berdasarkan suatu atsar yang berasal dari Ibnu Abbas, yang mengatakan
bahwa warna biru itu muncul dari pantulan cahaya gunung Qaf. Dalam riwayat Ibnu
Abbas dikatakan bahwa”Dibalik bumi kita ada lautan yang menyamudera, kemudian
ada gunung yang disebut dengan Qaf, lalu bumi, lantas laut, dan selanjutnya
gunung. Begitu seterusnya hingga masing-masing dihitung tujuh” (hlm.145).
Dalam
menafsirkan “ masing-masing beredar
hingga waktu yang ditentukan”, penulis mengutip pendapat para ahli
astronomi yang sudah kita kenal, bahwa matahari dan bulan berjalan dalam
lintasan dan derajat dalam jangka waktu tertentu. Matahari membutuhkan waktu setahun untuk
menenpuh orbitnya dan bulan membutuhkan waktu satu tahun . Namun penulis juga
mengutip pendapat ahli tafsir yang mengatakan bahwa matahari dan bulan berjalan
hingga batas waktu yang telah ditetapkan dan akan berhenti bila saatnya
habis, yaitu ketika langit sudah
digulung dan bintang-nintang berjatuhan .
Dalam buku ini, banyak pendapat yang tidak logis
dan ketinggalan (of to date) yang
masih dikutip oleh penulis, walaupun akhirya dikomentarinya juga . Misalnya,
seperti kabar yang mengatakan bahwa sungai di atas bumi ini berjumlah 169
sungai, empat di antaranya berasal dari surga, yaitu Sijan, Eufrat, dan Nil.
Dalam khabar yang lain dikatakan bahwa yang dua Mukmin dan yang dua lagi kafir.
Dua sungai yang Mukmin itu ialah Nil dan Eufrat, sedangkan yang kafir adalah
Dijlah (Tigris) dan Jihun (hlm.155).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar