Masalah
terjadinya pengetahuan adalah masalah yang amat penting dalam epistemologi,
sebab jawaban terhadap terjadinya pengetahuan maka seseorang akan berwarna
pandangan atau paham filsafatnya. Jawaban yang paling sederhana tentang
terjadinya pengetahuan ini apakah berfilsafat apriori atau aposteriori.
Pengetahuan apriori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui
pengalaman, baik pengalaman indera maupun pengalaman batin. Adapun pengetahuan
aposteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Dengan
demikian, pengetahuan ini bertumpu pada kenyataan objektif[1].
Menurut Josep
Hospers dalam bukunya An Introduction to Philosophical Analysis
mengemukakan ada enam alat untuk memperoleh pengetahuan, yaitu:
1. Pengalaman Indera (sense experience).
2. Nalar (reason).
3. Otoritas (authority).
4. Intuisi (intuition).
5. Wahyu (revelation).
6. Keyakinan (faith) [2].
Dalam pembahasan
ini, akan dikemukakan suatu aliran filsafat yang disebut dengan Empirisme,
yaitu suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam
memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal, serta seorang tokohnya
yang bernama John Locke dan teori
pengetahuannya.
Empirisme
Kata ini berasal
dari kata Yunani empeirikos yang berasal dari kata empeiria,
artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui
pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang
dimaksud ialah pengalaman indrawi. Manusia tahu es dingin karena ia menyentuhnya,
gula manis karena ia mencicipinya[3].
Seorang
empirisis biasanya berpendapat bahwa kita dapat memperoleh pengetahuan melalui
pengalaman. Sifat yang menonjol dari jawaban ini dapat dilihat bila kita
memperhatikan pertanyaan seperti, “Bagaimana orang mengetahui es membeku?”,
jawaban kita tentu berbunyi, “karena saya melihatnya demikian”, atau “karena
seorang ilmuan melihatnya demikian”. Dengan begitu, dapat dibedakan dua macam
unsur: pertama, unsur yang mengetahui dan kedua, unsur yang
diketahui. Orang yang mengetahui merupakan subyek yang memperoleh pengetahuan
dan dikenal dengan perkataan yang menunjukkan seseorang atau suatu kemampuan.
Unsur ketiga
yang dapat kita bedakan dalam jawaban terhadap pertanyaan “Bagaimana orang
mengetahui kalau es itu membeku?” ialah keadaan kita bersangkutan dengan
melihat atau mendengar atau suatu pengalaman inderawi yang lain. “Bagaimana
kita mengetahui api itu panas?”, dengan menyentuh barang sesuatu atau
memperoleh pengalaman yang kita sebut panas. “Bagaimana kita mengetahui apakah
panas itu?”, jawabannya: kita mengetahuinya dengan alat-alat inderawi peraba.
Selanjutnya,
pertanyaan: “Bagaimanakah anda mengetahui atau memperoleh pengetahuan?” dijawab
dengan menunjukkan pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai. “Pengetahuan
diperoleh dengan perantaraan indera”, kata penganut empirisme[4].
John Locke
(1632-1704), bapak aliran ini pada zaman modern mengemukakan teori tabula
rasa yang secara bahasa berarti meja lilin. Maksudnya ialah bahwa manusia
itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengetahuannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan
indera yang masuk itu sederhana, lama kelamaan ruwet, lalu tersusunlah
pengetahuan berarti. Berarti, bagaimana pun kompleks (ruwet)-nya pengetahuan
manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang
tidak dapat diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi,
pengalaman indera itulah sumber pengetahuan yang benar. Karena itulah metode
penelitian yang menjadi tumpuan aliran ini adalah metode eksperimen[5].
Ada dua ciri
pokok empirisme, yaitu mengenai teori tentang makna dan teori tentang
pengetahuan.
Teori makna pada
aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan,
yaitu asal-usul idea atau konsep. Pada abad pertengahan teori ini diringkas
dalam rumus Nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu
(tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman).
Sebenarnya pernyataan ini merupakan tesis Locke yang terdapat dalam bukunya, An
Essay Concerning Human Understanding, yang dikeluarkannya tatkala ia
menentang ajaran idea bawaan (innate idea) pada orang-orang rasionalis.
Jiwa (mind) itu, tatkala orang dilahirkan, keadaannya kosong, laksana
kertas putih atau tabula rasa, yang belum ada tulisan di atasnya, dan setiap
idea yang diperolehnya mestilah datang melalui pengalaman; yang dimaksud dengan
pengalaman di sini ialah pengalaman inderawi. Atau pengetahuan itu datang dari
observasi yang kita lakukan terhadap jiwa (mind) kita sendiri dengan
alat yang oleh Locke disebut inner sense (pengindera dalam) [6].
Pada abad ke-20
kaum empiris cenderung menggunakan teori makna mereka pada penentuan apakah
suatu konsep diterapkan dengan benar atau tidak, bukan pada asal-usul
pengetahuan. Salah satu contoh penggunaan empirisme secara pragmatis ini ialah
pada Charles Sanders Peirce dalam kalimat “Tentukanlah apa pengaruh konsep itu
pada praktek yang dapat dipahami kemudian konsep tentang pengaruh itu, itulah
konsep tentang objek tersebut”.
Filsafat
empirisme tentang teori makna amat berdekatan dengan aliran positivisme logis (logical
positivism) dan filsafat Ludwig Wittgenstein. Akan tetapi, teori makna dan
empirisme selalu harus dipahami lewat penafsiran pengalaman. Oleh karena itu,
bagi orang empiris jiwa dapat dipahami sebagai gelombang pengalaman kesadaran,
materi sebagai pola (pattern) jumlah yang dapat diindera, dan hubungan
kausalitas sebagai urutan peristiwa yang sama.
Teori kedua,
yaitu teori pengetahuan, dapat diringkaskan sebagai berikut: Menurut orang
rasionalis ada beberapa kebenaran umum, seperti “setiap kejadian tentu
mempunyai sebab”, dasar-dasar matematika, dan beberapa prinsip dasar etika, dan
kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah
kebenaran a priori yang diperoleh lewat intuisi rasional. Empirisme
menolak pendapat itu. Tidak ada kemampuan intuisi rasional itu. Semua kebenaran
yang disebut tadi adalah kebenaran yang diperoleh lewat observasi jadi ia
kebenaran a posteriori[7].
JOHN LOCKE (1632-1704) DAN TEORI
PENGETAHUANNYA
A. RIWAYAT HIDUP JOHN LOCKE
Locke dilahirkan di Wrington di kota Somerset. Orang tuanya
adalah penganut Puritan. Ayahnya adalah seorang tuan tanah kecil dan pengacara
yang berperang di parlemen pada waktu perang sipil. Locke belajar di Oxford di
mana ia memperoleh gelar BA dan M.A. Ia kemudian belajar ilmu kedokteran dan
pada tahun 1667 menjadi sekretaris dan dokter pribadi Earl Shaftesbury pertama,
yang memimpin partai Whig. Selama menduduki jabatan sebagai Lord Chancellor,
Locke menduduki beberapa jabatan publik penting yang memberinya pengalaman dan
penglihatan langsung pada realitas dan jalannya politik. Gangguan kesehatannya
membuatnya pindah ke Prancis selama empat tahun, dan waktu luangnya memberinya kesempatan
untuk mengembangkan pandangan-pandangan filsafatnya sendiri[8].
B. TEORI PENGETAHUAN
JOHN LOCKE
Pengertian
Pengetahuan
Hubungan antara pengetahuan dengan berfikir adalah pasti dan tak dapat
dipisahkan. Kita mengetahui karena kita berfikir. Berfikir adalah kerja akal
yang merupakan wadah dari idea-idea. Lock mendefinisikan pengetahuan sebagai
pemahaman terhadap adanya kesesuaian,
atau perbedaan antara idea-idea. Jadi, apabila didapati pemahaman
seperti ini, berarti ada pengetahuan, jika tidak, maka tidak ada pengetahuan[9].
Pengetahuan
Itu Aposteriori
Buku Locke, An Essay Cocerning Human Understanding (1689), ditulis
berdasarkan suatu premis, yaitu semua pengetahuan datang dari pengalaman. Ini
berarti tidak ada yang dapat dijadikan idea atau konsep tentang sesuatu yang
berada di belakang pengalaman, tidak ada idea yang diturunkan seperti yang
diajarkan oleh Plato. Dengan kata lain, Locke menolak adanya innate idea;
termasuk apa yang diajarkan oleh Descartes, Clear and distinc idea. Adequate
idea dari Spinoza, truth of reason dari Leibniz, semuanya
ditolaknya. Yang innate (bawaan) itu tidak ada. Inilah argumennya:
- Dari jalan masuknya pengetahuan kita mengetahui bahwa innate itu tidak ada. Memang agak umum orang beranggapan bahwa innate itu ada. Ia itu seperti distempelkan pada jiwa manusia, dan jiwa membawanya ke dunia ini. Sebenarnya kenyataan telah cukup menjelaskan kepada kita bagaimana pengetahuan itu datang, yakni melalui daya-daya yang alamiah tanpa bantuan kesan-kesan bawaan, dan kita sampai pada keyakinan tanpa suatu pengertian asli.
- Persetujuan umum adalah argumen yang kuat. Tidak ada sesuatu yang dapat disetujui oleh umum tentang adanya innate idea itu sebagai suatu daya inhern. Argumen ini ditarik dari persetujuan umum. Bagaimana kita akan mengatakan innate idea itu ada padahal umum tidak mengakui adanya.
- Persetujuan umum membuktikan tidak adanya innate idea.
- Apa innate idea itu sebenarnya tidaklah mungkin diakui dan sekaligus juga tidak diakui adanya. Bukti-bukti yang mengatakan ada innate idea justru saya jadikan alasan untuk mengatakan ia tidak ada.
- Tidak juga dicetakkan (distempelkan) pada jiwa sebab pada anak idiot, idea yang innate itu tidak ada. Padahal anak normal dan anak idiot sama-sama berfikir.
Argumen ini secara lurus menolak adanya innate idea, sekalipun ada, itu
tidak dapat dibuktikan adanya. Lebih jauh ia berkata:
Marilah kita andaikan jiwa itu laksana kertas kosong (tabularasa), tidak
berisi apa-apa, juga tidak ada idea di dalamnya. Bagaimana ia berisi sesuatu?
Untuk menjawab pertanyaan ini saya hanya mengatakan: dari pengalaman; di
dalamnya seluruh pengetahuan didapat dan dari sana seluruh pengetahuan berasal.
Hanya premis inilah yang dipertahankan dan digunakan oleh Locke. Dengan ini
pula ia menyerang innate idea dengan cara induksi[10].
Implikasi
Teori Tabularasa John Locke Terhadap konsep Innate Idea
Teori Tabularasa tidak memberikan ruang bagi paham yang berpendapat bahwa
seseorang dilahirkan dengan darah seniman, darah pengusaha, darah pekerja atau
darah-darah lainnya, dan menggambarkan bahwa manusia sudah ditakdirkan untuk
menjalani profesi tertentu sejak lahir. Menurut teori ini, alasan mengapa anak
seorang pengusaha cenderung menjadi pengusaha dan anak seorang buruh cenderung
menjadi buruh, atau anak seorang seniman cenderung menjadi seorang seniman
merupakan akibat dari pendidikan di lingkungan yang setiap hari dialami. Anak
seorang pengusaha yang setiap hari berinteraksi dengan orang tuanya yang juga
seorang pengusaha, setiap hari mendengar perkataan orang tuanya mengenai usahanya,
akan belajar memahami konsep yang dipahami orang tuanya mengenai harta, cara
memperolehnya, dan mempunyai perilaku yang mirip dengan orang tuanya. Jadi,
jika seorang bayi seorang pengusaha tertukar dengan bayi seorang seniman,
kemungkinan besar bayi seorang pengusaha yang diasuh oleh seorang seniman akan
menjadi seniman dan bayi seniman yang diasuh oleh pengusaha akan menjadi
pengusaha. Teori ini memberi motivasi pada kita bahwa kita dapat menjadi apapun
sesuai dengan pilihan kita jika kita mau belajar. Lingkungan memang
mempengaruhi jenis pengetahuan yang kita peroleh, tetapi ketika kita sadar
bahwa kita memiliki kemampuan untuk memilih, kita juga memiliki kemampuan untuk
belajar merealisasikan pilihan kita[11].
Hubungan Antara
Subjek dan Objek
Menurut
Locke, ketika kita melihat suatu obyek, kita menangkap beberapa kualitas dari
obyek tersebut. Ia kemudian menggolongkan kualitas tersebut kedalam dua
kategori. Yang pertama adalah kualitas primer, yakni kualitas yang
dimiliki obyek itu sendiri, termasuk ukurannya, beratnya, dan massanya. Bagi
Locke, kualitas primer ini akan tetap siapapun yang mengukurnya. Yang kedua
adalah kualitas sekunder, yakni kualitas dari suatu obyek yang sangat
tergantung pada cara peneliti melihat objek tersebut sehingga dapat terus
berubah sesuai dengan kondisi. Misalnya, bau, warna dan suara, sangat
tergantung dari pekanya indera kita. Jika kualitas penerangan berubah,
kemungkinan besar warna juga akan berubah. Dengan demikian ilmu pengetahuan
lebih memfokoskan analisisnya pada kualitas primer, karena kualitas primer
lebih terukuar dan lebih obyektif daripada kualitas sekunder[12].
Cara lain
untuk mengkategorikan kualitas primer dan kualitas sekunder adalah dengan
menyebut kualitas objektif pada kategori kualitas primer dan kualitas subjektif
pada kategori kualitas sekunder. Kualitas objektif adalah kualitas yang melekat
pada objek, sedangkan kualitas sekunder adalah kualitas hasil persepsi pikiran
kita.
Ada
persoalan rumit (conundrum) yang muncul saat menggunakan konsep pengetahuan John
Locke untuk menjawab pertanyaan Apakah pohon yang runtuh di tengah hutan
tanpa ada orang yang dapat mendengarkan suaranya akan menimbulkan suara?
Sebagai konsekuensinya, teori Locke akan menjelaskan bahwa runtuhnya pohon
tidak menimbulkan suara, hanya membuat getaran pada udara dan benda-benda di
sekitarnya. Hal ini karena suara adalah kualitas subjektif dan benda yang
bergetar adalah kualitas objektif[13].
Dengan
demikian, pandangan John Locke mengarah pada esensialisme ilmiah, yaitu
bahwa tanpa pikiran yang mampu mempersepsikan sebuah kualitas subjektif,
kualitas itu tidak ada.
Ragam Pengalaman
Manusia
Locke
menyatakan ada dua macam pengalaman manusia, yakni pengalaman lahiriah (sense
atau eksternal sensation) dan pengalaman batiniah (internal sense
atau reflection). Pengalaman lahiriah adalah pengalaman yang menangkap
aktivitas indrawi yaitu segala aktivitas material yang berhubungan dengan panca
indra manusia. Kemudian pengalaman batiniah terjadi ketika manusia memiliki
kesadaran terhadap aktivitasnya sendiri dengan cara 'mengingat', 'menghendaki',
'meyakini', dan sebagainya. Kedua bentuk pengalaman manusia inilah yang akan
membentuk pengetahuan melalui proses selanjutnya[14].
Proses
Manusia Mendapatkan Pengetahuan
Dari
perpaduan dua bentuk pengalaman manusia, pengalaman lahiriah dan pengalaman
batiniah, diperoleh apa yang Locke sebut 'pandangan-pandangan sederhana' (simple
ideas) yang berfungsi sebagai data-data empiris. Ada empat jenis pandangan
sederhana:
- Pandangan yang hanya diterima oleh satu indra manusia saja. Misalnya, warna diterima oleh mata, dan bunyi diterima oleh telinga.
- Pandangan yang diterima oleh beberapa indra, misalnya saja ruang dan gerak.
- Pandangan yang dihasilkan oleh refleksi kesadaran manusia, misalnya ingatan.
- Pandangan yang menyertai saat-saat terjadinya proses penerimaan dan refleksi. Misalnya, rasa tertarik, rasa heran, dan waktu.
Di dalam proses terbentuknya pandangan-pandangan sederhana ini, rasio atau pikiran manusia bersifat pasif atau belum berfungsi. Setelah pandangan-pandangan sederhana ini tersedia, baru rasio atau pikiran bekerja membentuk 'pandangan-pandangan kompleks' (complex ideas). Rasio bekerja membentuk pandangan kompleks dengan cara membandingkan, mengabstraksi, dan menghubung-hubungkan pandangan-pandangan sederhana tersebut. Ada tiga jenis pandangan kompleks yang terbentuk:
- Substansi atau sesuatu yang berdiri sendiri, misalnya pengetahuan tentang manusia atau tumbuhan.
- Modi (cara mengada suatu hal) atau pandangan kompleks yang keberadaannya bergantung kepada substansi. Misalnya, siang adalah modus dari hari.
- Hubungan sebab-akibat (kausalitas). Misalnya saja, pandangan kausalitas dalam pernyataan: "air mendidih karena dipanaskan hingga suhu 100° Celcius"[15].
Macam-macam
Pengetahuan Menurut John Locke
Berdasarkan
esei-esei yang ditulis Locke, dapat disimpulkan terdapat empat macam
pengetahuan:
1.
Intuitive
knowledge
2.
Demonstrative
knowledge
3.
Sensible
knowledge
4.
Faithful
knowledge
Intuitive knowledge adalah pengetahuan yang didapatkan rasio
dari pemahamannya terhadap kesesuaian
atau ketidaksesuaian antara idea-idea secara langsung tanpa dipengaruhi oleh
unsur-unsur lainnya. Seperti putih adalah bukan hitam, lingkaran adalah bukan
segitiga, tiga lebih besar daripada dua, dan lain-lain.
Perlu
dicatat, bahwa intuisi yang dimaksud Locke adalah kekuatan yang ada pada rasio
yang dapat mengetahui hubungan antara idea-idea yang kita dapatkan melalui
sensasi atau perenungan. Meskipun sensasi adalah kekuatan rasio akan tetapi objeknya bersifat konkrit, dengan
demikian, intuisi menurut Locke tidak bertentangan dengan filsafat empirisme[16].
Demonstrative knowledge adalah pengetahuan yang didapatkan rasio
dari pemahamannya terhadap kesesuaian
atau ketidaksesuaian antara idea-idea secara tidak langsung, tetapi dengan
perantara idea-idea lain. Ini berarti tidak mengeluarkan suatu hukum terhadap
suatu permasalahan sebelum dapat membuktikannya. Hal ini mengharuskan analisis rasio
untuk sampai pada suatu hukum, seperti argumentasi matematis, dan pembuktian
atas eksistensi Tuhan[17].
Sensible knowledge adalah pengetahuan terhadap adanya
alam di luar kita. Dengan demikian ia bersandar pada penginderaan. Menurut
Locke meski pengetahuan ini tidak sampai pada tingkat keyakinan dan pembuktian,
namun lebih meyakinkan daripada pengetahuan hipotesis, karena pengetahuan
semacam ini membantu kita menetapkan adanya alam luar. Sebagai buktinya, rasio
dapat membedakan antara tidur dan jaga.
Locke
mengatakan bahwa kita dapat meyakini adanya alam di luar kita yang sesuai
dengan persepsi-persepsi kita. Memang akal tidak dapat mengetahui sesuatu yang
konkret secara langsung, tapi melalui persepsi-persepsi kita tentang sesuatu
itu. Dari situlah pengetahuan kita terbentuk sejauh mana ada kesesuaian antara
persepsi-persepsi rasio dengan perkara-perkara luar[18].
Faithful knowledge adalah pengetahuan yang diperoleh
manusia melalui kepercayaan agama. Pengetahuan ini tidak dapat dibuktikan
karena di luar batas kemampuan rasio dan indera kita, namun kita meyakininya
dengan kuat karena merupakan rahasia keimanan (mysteri of faith).
Pengetahuan
semacam ini didapatkan dari agama dan kitab suci yang diturunkan Tuhan. Locke
menerima dengan bulat pengetahuan ini karena ketidakmampuannya untuk
membuktikannya, sebab akal tidak sanggup mencapai hakikat keyakinan-keyakinan
agama, di antaranya adalah esensi Tuhan itu sendiri[19].
Batas Pengetahuan
Sejauh mana
batas pengetahuan manusia? Locke memberikan batasan-batasan sebagai berikut:
·
Pengetahuan
kita tidak mungkin melampaui idea-idea kita.
·
Pengetahuan
kita tidak bisa melampaui pemahaman kita tentang adanya kesesuaian atau
ketidaksesuaian antara idea-idea yang terbentuk melalui intuisi, argumentasi,
dan persepsi.
·
Kita tidak
mungkin mencapai pengetahuan intuitif yang mencakup seluruh idea-idea kita,
atau segala yang ingin kita ketahui. Karena kita tidak dapat mengetahui semua
hubungan antara idea-idea itu baik dengan menyusun ataupun
membanding-bandingkannya.
·
Demonstrative
knowledge juga tidak mungkin mencakup semua idea-idea kita. Karena kita tidak
selamanya menemukan idea penengah yang menghubungkan dua idea dalam
argumentasi. Dalam kondisi ini kita tidak dapat menghasilkan pengetahuan
ataupun argumentasi.
·
Sensible
knowledge tidak melampaui lebih jauh dari adanya perkara yang serupa di hadapan
kita dalam kenyataannya, maka ia lebih sempit dari dua macam pengetahuan
sebelumnya.
Dari
uraian-uraian di atas jelaslah bagi kita bahwa teori pengetahuan Locke sangat
mendominasi pemikiran kefilsafatannya. Sebagaimana para filusuf abad ke-17, 18,
dan 19 lainnya, ia juga sibuk meneliti asal pengetahuan manusia, sifat dasar
pengetahuan, sumber pengetahuan, tingkat keyakinan dan batas-batasnya. Ia
memberikan batasan atas dasar-dasar keyakinan, pendapat, kesesuaian, perbedaan,
dan tingkatan masing-masing. Locke adalah orang pertama yang menerapkan metode
empiris di abad moderen dan metode ilmiah dalam filsafat.
Pembatasannya
terhadap empat macam pengetahuan, yaitu pengetahuan intuitif yang mengantarkan
kepada pengetahuan terhadap wujud dzati, sensible knowledge yang membawa kepada
pengetahuan terhadap wujud sesuatu yang parsial, pengetahuan agama yang
menyampaikan kepada pengetahuan terhadap eksistensi Tuhan, metode ini adalah
kebalikan dari metode yang berlaku sebelumnya.
Teori
pengetahuan Locke juga sampai pada pengakuan akan keterbatasan akal manusia
mengetahui segala sesuatu yang ada di sekelilingnya seputar kenyataan-kenyataan
alam material dan nonmaterial. Bahkan ia sendiri tidak dapat mengetahui
sesuatupun tentang idea-ideanya sendiri dan hubungan-hubungan yang ada di
antaranya. Dengan demikian, Locke membuka jalan bagi penelitian terhadap batas-batas
pengetahuan manusia menurut Barkeley, Hume, dan Emmanuel Kant.[20]
[1] Abbas Hamami M, Epistemologi Bagian I Teori Pengetahuan
(Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1982), hlm.11
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak
Thales Sampai Capra (Bandung: Rosda, 2008), hlm.24
[16] Ibrahim Musthofa Ibrahim, al-Falsafah al-Haditsah min Decartes ila Humm
(Iskandariyyah, Daar al-Wafa, 2001), hlm.278