Berbicara
tentang apakah Rasul saw berijtihad atau tidak sangat berkaitan dengan
pembahasan tentang hukum perkataan, perbuatan, dan taqrir (ketetapan) Rasul
saw; sebab jika kita katakan bahwa semua
urusan Rasul saw didasarkan oleh wahyu, dan beliau adalah maksum dalam
menjalankannya maka sunnah Rasul saw adalah hujjah dan menjadi sumber hukum
syariat. Dan sudah jelas bahwa sumber hukum syariat harus terpelihara dari
kesalahan dan kesamaran, sehingga memungkinkan untuk dijadikan dasar hukum.
Bahwa apa
yang bersumber dari Rasul saw baik perkataan, perbuatan, ataupun ketetapan
adalah hujjah sudah sangat jelas, tidak perlu diperdebatkan lagi. Sebab jika
tidak demikian, tentu ajaran-ajaran Islam menjadi tidak jelas, syariat tidak efektif,
dan hukum tidak dapat digali secara maksimal, karena hukum-hukum Al-Qur’an
umumnya tidak disebutkan secara
terperinci, hanya menjelaskan pokok-pokok syariat, Bahkan boleh jadi tak
satupun kita dapati suatu hukum dalam Al-Qur’an yang dijelaskan dengan sangat
mendetail.
Jika
demikian, mesti dikatakan bahwa sunnah Rasul saw adalah hujjah dan syariat
harus terpelihara dari kesalahan dan kekeliruan, agar dapat menjadi rujukan
hukum syariat, dan disandarkan kepada Allah swt.
Akan tetapi
jika kita mengatakan ada ijtihad Rasul saw dan meyakini sifatnya yang dzonny
(tidak pasti kebenarannya), maka sunnah itu belum tentu dapat dijadikan dalil
hukum, sekalipun Al-Qur’an menjelaskan bahwa beliau adalah teladan di semua
urusan kehidupan.
DR. Muhammad
Hasan Hito dalam kitabnya: al-Wajiz fi Ushuli at-tasyri’ al-Islami
mengatakan:” Sunnah adalah apa-apa yang muncul dari Nabi saw berupa perkataan,
perbuatan, atau taqrir (ketetapan). Sebagian ahli ushul melupakan taqrir,
karena pengertiannya adalah “tidak mengingkari” yang dapat dikategorikan bagian
dari fi’il (perbuatan), jadi mereka memasukkan taqrir dalam fi’il. Definisi ini
hanya tertentu bagi ahli ushul. Sunnah yang dimaksud di sini adalah apa-apa
yang muncul dari Rasul saw tanpa melihat pada sifatnya; mutawatir atau ahad.
Sunnah adalah sumber kedua dari sumber-sumber syariat setelah Al-Qur’an secara
ijma’. Orang yang mengingkari pengamalan sunnah dihukum kafir juga menurut
ijma’. Karena mengingkari perintah Allah swt serta berpaling darinya. Allah swt
berfirman:
“Barangsiapa
yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah”. (An-nisa:80)
“Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.(An-nisa: 65)
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah
ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai,
sedang mereka kekal di dalamnya”.(An-nisa: 13)
Dan
masih banyak lagi ayat-ayat tentang ini[1].
Patut
disebutkan di sini, diantara konsekwensi pendapat yang mengatakan Rasul saw
berijtihad adalah tidak adanya kewajiban mengikuti pendapat Nabi saw. Mujtahid
mana saja berhak membuat ijtihad yang menyalahi ijtihad Rasul saw. Bahkan ia
mendapat pahala, salah atau benar. Kesimpulannya, mengatakan Rasul saw
berijtihad akan memunculkan banyak ijtihad yang bertentangan dengan nash-nash.
Definisi Ijtihad
Ijtihad
menurut bahasa diambil dari akar kata “Jahada” yang berarti: mengerahkan
daya upaya, atau menanggung kesulitan. Bentuk wazan ifti’al menunjukkan
pengertian bersungguh-sungguh dalam berbuat. Karena itulah bentuk kata: “iktasaba”
(berusaha keras), lebih kuat artinya dari kata: “kasaba” (berusaha, mencari).
Jadi,
menurut bahasa ijtihad adalah mengerahkan seluruh kemampuan dalam melakukan apa
saja, dan hanya dipakai pada melakukan sesuatu yang berat dan sulit. Dikatakan:
“ijtahada fi hamli hajarirraha” (bersungguh-sungguh mengangkat batu
besar), tidak tepat mengatakan: “ijtahada fi hamli khardal”
(bersungguh-sungguh mengangkat biji sawi)[2].
Sedangkan
menurut istilah para ahli ushul terdapat beberapa definisi yang berbeda:
Asy-syaukani
dalam kitab Irsyad al-fuhul[3] mendefinisikannya sebagai “mengerahkan seluruh kemampuan untuk mencapai
sebuah hukum syariat yang bersifat amali
melalui cara istimbat”. Ini juga definisi yang dikemukakan Imam Az-Zarkasyi di
kitab Al-bahrul Muhith, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Ijtihad[4] karangan Sayyid Muhammad Musa Tuwana.
Sebagian
ahli ushul menggunakan kata “istifragh al-wus’i”(menghabiskan daya
upaya” sebagai ganti kalimat “bazdlul wus’i”. Bahkan Imam Al-Amidi
menambahkan dalam definisinya: Ijtihad adalah menghabiskan seluruh daya upaya
untuk mendapatkan sebuah dzon(dugaan) tentang suatu hukum syariat dengan cara
yang sangat maksimal[5]. Menurut Ibnu Al-Hajib: Ijtihad adalah menghabiskan seluruh daya upaya
untuk menghasilkan hukum syariat yang
berfifat dzonni[6]. Ibnu As-Subki mendefinisikan ijtihad sebagai usaha seorang ahli fiqih
yang sungguh-sungguh untuk menghasilkan sebuah hukum yang dzonni[7]. Ibnul Hammam mengatakan: Ijtihad adalah usaha seorang ahli fiqih
mengerahkan potensinya dalam menghasilkan suatu hukum syariat yang dzonni[8].
Pendapat Para Ahli Ushul
Tentang Ijtihad Rasulullah Saw
Ahli ushul
berbeda pendapat tentang apakah Rasulullah saw boleh berijtihad atau tidak. Ada
beberapa pendapat:
Pertama: Boleh menurut akal
Ini adalah
pendapat mayoritas ahli ushul dari Ahlussunnah, diantaranya Ibnul Hajib,
Al-Amidi, dan seluruh pengikut Imam Hanafi[9]. Begitu juga semua pengikut Imam Hanbali, dan sebagian pengikut Imam
Syafii seperti Al-Baidhowi. Bahkan Al-Asnawi menisbatkan pendapat ini kepada
Asy-Syafii, katanya: Jumhur ulama berpendapat boleh, demikian dinukil oleh Imam
Al-Razi dari Asy-Syafii. Al-Amidi juga menisbatkan pendapat ini ke Asy-Syafii.
Ia mengatakan: As-Syafii di dalam Al-Risalahnya membolehkan hal itu
tanpa memastikan. Dan pendapat ini lah yang diikuti sebagian pengikut
As-Syafii, Qadhi Abdul Jabbar, dan Abul Husain Al-Bashri dari Mu’tazilah.
Ibnu
Taymiyyah di dalam kitab Al-Muswaddah berkata: Boleh Nabi kita menghukum
dengan ijtihadnya dalam perkara selain wahyu. Demikian disebutkan Qadhi Abu
Ya’la, Ibnu Uqail, dan Abul Khottab. Secara implisit Imam Ahmad berpendapat
sama[10].
Kedua: Mutlak tidak boleh
Imam Ibnu
Hazm berpendapat tidak boleh secara mutlak. Beliau mengatakan: Orang yang
menyangka bahwa ijtihad boleh bagi para Nabi di dalam syariat yang bukan wahyu
adalah kekafiran yang besar. Pendapat itu dapat dibantah dengan perintah Allah
swt kepada Nabi-Nya SAW untuk mengatakan: “Aku semata-mata mengikuti apa yang
diwahyukan kepadaku” [11].
As-Syaikani
menisbatkannya kepada golongan Al-Asy’ari[12] sebagaimana dikutip dari Abu mansur Al-Maturidi[13]. Ini juga adalah pendapat mayoritas Mu’tazilah; karena telah disebutkan
bahwa Abul Husain Al-Bashri berpendapat boleh. Ada dikatakan, pengikut-pengikut
Al-Jibai – seperti Abu Ali dan anaknya Abu Hasyim – mempunyai dua pendapat:
Pertama, Mutlak tidak boleh. Dan kedua, boleh dalam hal yang berhubungan dengan
peperangan saja[14].
Mereka yang
berpendapat boleh, berbeda pada dua persoalan: Pertama, dalam hal objek
ijtihad. Kedua, dalam hal terjadinya ijtihad.
Mengenai objek
ijtihad, dalam arti apakah boleh Rasul SAW berijtihad di dalam urusan-urusan
agama dan urusan-urusan dunia? Masalah ini menjadi perdebatan di antara ulama
yang berpendapat boleh. Al-Qarrafi mensinyalir adanya kesepakatan boleh dalam
perkara-perkara pengadilan. Ia mengatakan: Pokok perbedaan pendapat ada dalam
masalah fatwa. Dalam perkara-perkara pengadilan boleh ijtihad menurut ijma’[15]. Al-Asnawi sepakat dengannya dalam hal ini. Beliau mengatakan: Mereka
(yang membolehkan), sepakat terjadinya ijtihad dari Rasul SAW dalam perkara-perkara
pengadilan dan memutuskan persengketaan[16].
DR. Nadiah
Syarif Al-‘Amri menyatakan: Sebenarnya ulama berbeda pendapat tentang bolehnya
para Nabi berijtihad mengenai hukum-hukum syariat, dan fatwa agama[17], boleh jadi orang yang mengatakan ijma’ atas masalah ini belum menemukan
adanya pendapat yang menentang, atau mungkin tidak menganggapnya; karena
jelasnya kebenaran jaiz aqli[18].
Adapun
mengenai adakah terjadi ijtihad Rasul SAW atau tidak, ulama yang berpendapat
boleh terbagi kepada tiga pendapat:
Pertama: Terjadi ijtihad dari Rasul SAW secara mutlak, dalam arti beliau langsung memberikan
jawaban ketika muncul suatu peristiwa tanpa menunggu turunnya wahyu. Ini adalah
pendapat mayoritas Ahlussunnah, diantaranya Imam Malik, As-Syafii, Ahmad, dan
ahli hadits pada umumnya, sebagaimana yang ditegaskan oleh Muhammad Amin,
pengarang kitab Taisir At-Tahrir dan lainnya dari pengikut Imam Abu Hanifah, seperti Al-Bukhari;
pensyarah kitab Ushul Al-Bazdawi, dan Al-Bahari; pengarang kitab Muslam
As-Tsubut[19].
Pendapat kedua:
Ijtihad terjadi setelah Rasul SAW menunggu wahyu, ini adalah madzhab Abu
Hanifah, demikian dijelaskan Al-Kamal bin Al-Hammam, ia berkata: Pendapat yang
dipilih oleh pengikut Imam Abu Hanifah Rasul SAW diperintahkan menunggu wahyu
terlebih dahulu, sampai ketika dikhawatirkan peristiwanya berlalu, beliau pun
berijtihad[20].
Dalam hal
ini Al-Sarkhasi mengatakan: Pendapat yang paling benar menurut kami, Rasul SAW
mengenai perkara yang tidak ada penjelasan wahyunya adalah menunggu sampai
masanya habis, kemudian beliau berijtihad dan menjelaskan hukum berdasarkan ijtihadnya
itu[21].
Al-Bahari
menambahkan: “Menurut pengikut Imam Abu Hanifah, Nabi SAW bertindak dengan
ijtihadnya setelah menunggu wahyu hingga peristiwanya berlalu; karena keyakinan
tidak ditinggalkan selama masih memungkinkan” [22]. Pendapat ini dikuatkan oleh Abdul ‘Ula, ia mengatakan: “ Ini perkara yang
logis dan penting, mengingkarinya merupakan suatu kesombongan, keyakinan tidak
ditinggalkan hanya karena suatu dugaan, kecuali setelah menunggu” [23] .
Pendapat
ketiga: Tawaqquf, tidak memutuskan apa-apa. Ini adalah
pendapat Al-Ghazali. Ia mengatakan: “Ulama berbeda pendapat mengenai apakah
boleh Nabi SAW berijtihad dalam perkara yang tidak ada nashnya. Yang dilihat
adalah mengenai boleh dan terjadinya. Pendapat yang dipilih mengatakan boleh
Rasul SAW bertindak dengan itu. Mengenai terjadinya, sebagian ulama mengiyakan,
sedangkan sebagian yang lain mengingkarinya, kelompok ketiga memilih tawaqquf,
ini lah yang lebih benar, karena secara qathi hal itu tidak dapat ditetapkan[24]. Di dalam kitab Al-Munkhul beliau mengatakan: “Pendapat yang
dipilih adalah boleh Rasul SAW berijtihad, ini boleh menurut akal, adapun
realitasnya, dalam anggapan umum beliau tidak berijtihad dalam
masalah-masalah yang bersifat perinsip,
tetapi di dalam masalah furu’ saja[25].
Mengenai sikaf tawqquf ini, As-Syaukani
berkomentar: “As-Shairofi di dalam syarah kitab Al-Risalah menganggap
bahwa ini adalah pendapat As-Syafii, karena beliau hanya menyampaikan
pendapat-pendapat ulama tanpa memilih salah satunya. Pendapat ini juga yang
dipilih oleh Qadhi Al-Baqillani dan Al-Ghazali” [26].
[2] Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Al-Mustashfa min ‘ilmil Ushul (Madinah
Al-Munawwarah: Jamiah Islamiyah Kulliyyatussyariah), juz: 4, hlm. 4.
[3] Muhammad bin
Ali bin Muhammad As-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila tahqiqil haq min ilmil
Ushul (Riyadh: Daarul Fadhilah, 2000), juz 2, hlm.1025
[7] Tajuddin
Abdul Wahhab bin Ali As-Subki, Jam’ul Jawami’ (Beirut: Daarul Kutub
Al-Ilmiyyah, 2003),Hlm. 118
[9]Ali bin
Muhammad al-Amidi, Al-Ihkam fii Ushulil Ahkam, juz 4 ( Riyadh:
Daarussomayyi, 2003), hlm. 200, Ushul Sarkhasi, juz 2 (Beirut: Daarul Kutub
Al-Ilmiyyah, 1993), hlm. 91
[14] al-amidi,
Al-Ihkam, juz 4, hlm.165
Tidak ada komentar:
Posting Komentar