Secara epistemologis, ada dua instrumen yang bertalian erat dengan pengetahuan sufistik, yaitu akal dan intuisi (wujdan). Akal berdasar prinsip filosofis al-Ghazali adalah fitrah instinkif dan cahaya orisinil yang menjadi sarana manusia dalam memahami realita. Sementara intuisi (wujdan) adalah rasa batin sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan, akal memperoleh, pengetahuan yang dicirikan oleh kesadaran akan sebab dan musabab (akibat) suatu keputusan yang tidak terbatas pada kepekaan indera tertentu dan tidak tertuju pada objek tertentu pula.
Pengetahuan intuitif sesungguhnya tetap termuat dalam intelektualisme manusia pada umumnya, tetapi agak dilawankan dengan rasio sejauh hal itu menekankan sistematika dan kekuatan metodis. Bila dilihat dari dasar biotiknya secara global, baik akal ataupun intuisi dialokasikan dalam kedua belah otak manusia. Belahan otak sebelah kanan memiliki kecenderungan dan kepekaan rasa, aktivitas spontan dan feeling merupakan sumber dari intuisi tersebut. Sedangkan belahan otak sebelah kiri memiliki kecenderungan dan kepekaan logis, matematis dan kegiatan-kegiatan sebagai basis rasio atau akal meski pembagiannya itu tidak secara spesial, sebab masing-masing selalu dalam kondisi interaktif.
Untuk mengetahui hubungan akal dengan intuisi yang pada hakekatnya selalu dalam kondisi interaktif, terlebih dahulu dilihat jenis-jenis pengetahuan yang dapat ditangkap oleh manusia. Menurut al-Ghazali ada 4 tingkatan eksistensi (wujud), yaitu:
1. Wujud metafisik, terangkum dalam al-lauh al-mahfudh
2. Wujud empirik dalam dunia konkrit
3. Wujud khayali (imajinatif)
4. Wujud rasional.
Menurut Anton Baker, hubungan antara akal dan intuisi bukan merupakan sesuatu yang musykil, karena perbedaan antara keduanya dalam menangkap pengetahuan hanya dari segi metodik dan sistematik.
Dalam memperjelas hubungan akal dan intuisi, al-Ghazali menjelaskan atau membuat perumpamaan orang yang memperoleh pengetahuan dengan akal (al-aql) diibaratkan dengan al-thifl dan orang yang memperoleh pengetahuan dengan intuisi (wali) diibaratkan sebagai al-mumayyiz. Perumpamaan ini mengisyaratkan adanya tingkatan antar keduanya. Jika hal ini dihubungkan dengan teori jiwa rasional manusia sesudah mampu menangkap pengetahuan-pengetahuan apriori, yang pada gilirannya memperlihatkan dua kemampuan yaitu kemampuan memproduksi pengetahuan lewat pemahaman (olah) pikir dan lewat pemahaman (olah) rasa.
Pemahaman (olah) pikir yang disebut juga dengan al-qiyas adalah menggunakan sarana al-mufakirah yang bertempat di otak, sedangkan yang diperoleh melalui pemahaman olah rasa (wujdan) adalah menggunakan sarana/daya al-iradat yang berpusat di hati. Jadi, otak berhubungan dengan akal, sedangkan hati berhubungan dengan intuisi.
Bergson membagi intuisi menjadi dua macam, yaitu :
1. Intuisi yang bersifat infra intelektual
2. Intuisi yang bersifat supra intelektual
Jika keduanya dapat melakukan interaksi secara intens, maka akan memberi kemungkinan pada intuisi infra intelektual meningkat setelah didominasi oleh supra intelektual. Ada tiga hal yang menjadi bukti diterimanya kebenaran intuitif, yaitu :
1. Moralitas subyek
2. Akal sehat
3. Keahlian subyek secara tepat.
Kaitan Tasawuf dengan Akal
Akal mempunyai 2 fungsi yang dibutuhkan oleh tasawuf, yaitu :
1. Akal sebagai prasarana bagi jalan tasawuf yang mempunyai 3 fungsi
2. akal sebagai sarana dan alat evaluasi yang berfungsi untuk melakukan pengujian dan penilaian kritis terhadap pengalaman-pengalaman sufistik serta perluasannya.
Proses Kerja Akal dan Intuisi
Untuk mengetahui mekanisme atau proses kerja akal dan intuisi dalam menangkap pengetahuan segi penalarannya dapat menggunakan hasil-hasil kajian para psikolog modern tentang “pemikiran kreatif” yang disebut ilham dan iluminasi. Menurutnya, jenis ilham dalam pemikiran kreatif sesungguhnya timbul dari akal seseorang ketika ia melakukan aktifitas.
sumber: makalah-ibnu.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar