I. Pendahuluan
Berbicara soal magis, agama dan ilmu pengetahuan pasti tidak pernah meninggalkan bahasan mengenai sejarah. Asal usul pengetahuan manusia pada awalnya didasarkan pada keyakinan-keyakinan manusia mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya. Keterbatasan pola pikir manusia pada zaman dahulu memunculkan suatu konsep pengetahuan mengenai magic atau suatu kekuatan yang memunculkan keajaiban atau sesuatu yang berbau mistik atau tahayul.
Manusia pada zaman itu menalar sesuatu di luar dirinya, contohnya perubahan iklim, cuaca selalu disangkutpautkan dengan keajaiban-keajaiban yang berbau mistis.
II. Pembahasan
a. Magic
Magis sering dikatakan erat hubungannya dengan sihir. Tetapi, menurut Honig, kata tersebut semula berarti imam, sehingga aneh sekali bila magis berhubungan dengan sihir sebab sihir termasuk perbuatan yang sangat tidak baik. Namun magis justru berarti ilmu sihir. Sebenarnya menurut kepercayaan masyarakat primitif pengertian magis lebih luas daripada sihir, karena yang dikatakan magis menurut kepercayaan mereka adalah suatu cara berfikir dan suatu cara hidup yang mempunyai arti lebih tinggi daripada apa yang diperbuat oleh seorang ahli sihir. Orang yang percaya dan menjalankan magis mendasarkan idenya pada dua hal, yaitu:
1. Bahwa dunia ini penuh dengan daya-daya gaib, yang disebut daya-daya alam oleh orang modern.
2. Bahwa daya-daya gaib tersebut dapat digunakan, tetapi penggunaannya tidak dengan akal pikiran melainkan dengan cara yang irrasional.
Dalam masyarakat primitif, kedudukan magis sangat penting. Boleh dikatakan semua upacara keagamaan, sikap hidup orang-orang primitif, terutama sikap rohani mereka, adalah bersifat magis karena magis merupakan segala perbuatan atau abstensi dari segala perbuatan mereka untuk mencapai suatu maksud tertentu melalui kekuatan-kekuatan yang ada di alam gaib, sebagaimana telah disebutkan.[1]
Seorang antropolog yang bernama Evans-Pritchard tentang Azande (1937) merupakan upaya paling awal yang mendeskripsikan keyakinan dan ritus-ritus yang berkaitan dengan magis dan ilmu gaib dalam masyarakat non-Eropa, dengan tanpa prasangka serta sensasionalisme yang tidak semestinya. Pendekatannya dikemukakan secara jelas dalam pengantar bukunya yang menunjukkan bagaimana keyakinan-keyakinan mistik dan ritus membentuk suatu “system ideasional”, dan bagaimana system ini diekspresikan dalam aksi sosial. Dia menganggap tidak ada gunanya mendeskripsikan aspek-aspek lain dari kehidupan sosial Azande. Oleh karena itu penekanannya bersifat intelektual, memfokuskan bagaimana ilmu gaib berkaitan dengan nasib buruk sebagai suatu bentuk penjelasan distereotipkan. Mengapa dia menekankan ilmu gaib dan ilmu sihir? Apakah dia hanya ingin membahas sisi esoteric dan irasional kebudayaan masyarakat pre-literature ? Ada dua jawaban atas pertanyaan ini.
1. Evans-Pritchard menunjukkan bahwa pemikiran masyarakat Azande pada dasarnya adalah rasional. Pemikiran serta aksi mereka didasarkan pada pengetahuanempiris yang cermat. Bahkan perbedaan antara apa yang dia sebut pemikiran “empiris” dan pemikiran “mistis” merupakan tema kunci yang merasuk ke seluruh studinya, dan dia menunjukkan berdampingannya kedua pola pemikiran tersebut dikalangan masyarakat Azande. Meskipun berbeda dengan kita, Azande tidak memiliki konsepsi tentang “tatanan alam”, namun demikian mereka memahami suatu perbedaan antara bekerjanya alam di satu sisi, dan bekerjanya magis, hantu, dan ilmu sihir disisi yang lain.
2. Ada hal penting bahwa agama atau keyakinan terhadap supranatural masyarakat Azande, berbeda dengan masyarakat tetangganya Nuer dan Dinka, sebagian besar dirasuki gagasan tentang abinza dan magis. Hal ini disebutkan oleh Seligman dalam pengantarnya ketika dia mencatat langkanya magis di kalangan Dinka dan Shilluk. Evans-Pritchard menekankan bahwa ilmu gaib adalah faktor yang ada dimana-mana dan lazim dalam kehidupan sosial Azande, masyarakat memperbincangkannya sebagai bagian dari pembicaraan sehari-hari.
Azande adalah masyarakat Sudan yang dalam era pra-kolonial diorganisir ke dalam sejumlah kerajaan yang terpisah-pisah, masing-masing diatur oleh anggota klan aristokratik.keyakinan terhadap spirit-pencipta tertinggi Mbori dan hantu nenek moyang (atoro) adalah hal penting bagi Azande, khususnya dalam konteks domestic. Tetapi keyakinan yang menonjol dalam kebudayaan Azande adalah keyakinan dalam pengobatan (magis) dan ilmu gaib. Secara khusus, ilmu gaib memainkan peran hampir disetiap aktifitas kehidupan sosial.
Hubungan yang kompleks antara common-sense (empiris) dan pemikiran mistis, sebagaimana diakui oleh Evans-Pritchard, adalah persoalan yang menghiasi hampir setiap halaman buku. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dia mendekati magis dan ilmu sihir dari sudut pandang intelektual dan mempertanyakan mengapa masyarakat Azande tidak memahami “ketidak-bergunaan magis mereka”. Dia mengemukakan beberapa alasan yang Pertama, Ilmu sihir dan magis membentuk suatu system yang secara intelektual koheren. Tujuan utama magis lebih untuk memerangi kekuatan magis lain daripada merubah dunia obyektif; oleh karena itu aksinya melampaui pengalaman, ia tidak bisa dengan mudah dipertentangkan dengan pengalaman. Kedua, skeptisme itu diakui dan ditanamkan dan Azande sering meneliti bahwa obat itu tidak berhasil dengan sukses. Tetapi skeptisisme ini hanya mencakup obat-obat dan ahli magis tertentu, dan sebaliknya system magis semakin dikukuhkan. Ketiga, kegagalan ritus dijelaskan dengan banyaknya gagasan mistik; sihir, counter-magis, atau pelanggaran terhadap tabu. Keempat, magis hanya digunakan untuk menghasilkan peristiwa yang dimungkinkan terjadi dalam berbagai kesempatan, dan jarang sekali diminta untuk menghasilkan suatu akibat hanya dengan tindakan magis itu sendiri; magis selalu dibarengi dengan aksi empiris. Seseorang membuat bir dengan metode yang telah terbukti, dan menggunakan obat (magis) hanya untuk mempercepat proses pemasakan. Dia tidak akan bermimpi membuat bir hanya dengan “obat” (magis).[2]
b. Agama
Dalam sosiologi agama, masalah bagaimana dan apa definisi agama berperan besar dalam perkembangan disiplin ini secara keseluruhan. Secara umum, perdebatan tentang definisi agama bisa dilihat dari berbagai sisi dasar konseptual. Misalnya, ada perbedaan mendasar antara perspektif reduksionis dengan non-reduksionis. Perspektif yang pertama cenderung melihat agama sebagai epifenomena, sebuah refleksi atau ekspresi dari sisi yang lebih dasariah dan permanen yang ada dalam perilaku individual dan masyarakat manusia. Penulis-penulis semacam Pareto, Lenin, Freud dan Engels memandang agama sebagai produk atau refleksi mental dari kepentingan ekonomi, kepentingan biologis atau pengalaman ketertindasan kelas.
Implikasi pandangan reduksionis ini adalah kesimpulan yang mengatakan keyakinan-keyakinan religius sama sekali keliru, karena yang diacu adalah kriteria-kriteria saintifik atau positifistik. Oleh karena itu memegang keyakinan religius adalah tindakan irrasional, karena yang dirujuk adalah kriteria logis pemikiran. Implikasi terakhir reduksionisme kaum positifistik adalah bahwa agama dilihat sebagai aktifitas kognitif nalar individual yang satu dan lain sebab telah salah kiprah memahami hakikat kehidupan empiris dan sosial (Goode, 1951).
Salah satu definisi klasik agama yang muncul pada abad 19 adalah “definisi minimum”-nya E.B. Tylor. Dia mengatakan agama sebagai “kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat spiritual”. Agama lahir dari upaya para “filosof primitive” untuk mengerti dan memahami pengalaman-pengalaman mental mereka. Kita dapat lihat tipe definisi ini sangat individualistik, kognitif dan rasionalis, karena tidak khusus diarahkan pada praktek atau symbol-simbol religius dalam kaitannya dengan organisasi sosial, dan definisi semacam ini menerima kriteria sains-sains Barat sebagai kebenaran yang tak bisa diganggu gugat dan satu-satunya landasan rasionalitas.
Maka sejarah sosiologi agama bisa dipandang sebagai gerak teoritis yang melepaskan diri dari reduksionisme positif menuju telaah yang lebih apresiatif terhadap arti penting ritual religius dalam organisasi sosial dan menuju pada satu kesadaran bahwa ternyata sains positifistik bukanlah alat ukur yang tepat untuk menentukan rasionalitas agama. Dalam antropologi, perubahan perspektif ini sering dikaitkan dengan pembuktian yang mengatakan bahwa “masyarakat primitive pun” juga telah membedakan dengan jelas mana yang magis dan mana yang teknologis; magis hanya berperan dalam situasi ketidakpastian dan bahaya (Malinowki, 1948).[3]
Evans-Pritchard mempublikasikan buku trilogy tentang Nuer, yaitu suatu kelompok masyarakat penggembala biri-biri semi-nomadik yang hidup di rawa dan padang rumput di Negara Sudan. Dia kemudian menyatakan bahwa dalam seluruh masyarakat pemikiran keagamaan menimbulkan pengaruh terhadap aturan sosial. Dalam masyarakat Nuer, pengaruh ini terdapat di seluruh level realitas sosial. Sebagai pencipta, roh adalah pelindung seluruh masyarakat; hal itu tergambar dalam roh udara (seperti deng), dia adalah pelindung garis keturunan dan keluarga; tergambar dalam roh alam dan fethis, dia adalah pelindung individu-individu tertentu.
Evans-Pritchard menekankan bahwa agama Nuer pada dasarnya adalah agama duniawi, “sebuah agama dari kehidupan yang padat (abundant life) dan hari-hari yang sesak (fullness of days)” dan bahwa Nuer tidak ingin mengetahui dan juga tidak peduli dengan apa yang terjadi terhadap diri mereka setelah mereka mati. Ini nampak akan menguatkan pernyataan Weber tentang sifat agama kesukuan. Dia juga menunjukkan bahwa suku Nuer memiliki sedikit perhatian terhadap hantu atau roh orang yang telah meninggal, dan sangat berlawanan dengan Azande, mereka sedikit sekali menggunakan obat. Ramalan dan herbalisme dipraktekkan, tetapi menurut Evans-Pritchard bagi masyarakat Nuer semua itu bukan sesuatu yang penting. Menurutnya, mereka menganggap obat sebagai sesuatu yang asing dan aneh. Orientasi pemikiran Nuer selalu “terarah kepada roh”. “Dosa, dengan penderitaan sebagai akibatnya”.[4]
c. Ilmu Pengetahuan
Sampai saat ini, sejarah tentang ilmu merupakan sebuah kisah kesuksesan. Kemenangan-kemenangan ilmu melambangkan suatu proses kumulatif peningkatan pengetahuan dan rangkaian kemenangan terhadap kebodohan dan tahayul dan dari ilmulah kemudian mengalir arus penemuan-penemuan yang berguna untuk kemajuan hidup manusia. Kesadaran yang terjadi dewasa ini tentang adanya masalah-masalah moral yang serius di dalam ilmu mengenai kekerasan-kekerasan eksternal dan paksaan-paksaan pada pengembangannya dan mengenai bahaya-bahaya dalam perubahan teknologis yang tak terkendali menantang para sejarawan untuk melakukan penilaian kembali secara kritis terhadap keyakinan awal sederhana ini.
Di abad ke-19 terdapat adanya pembedaan-pembedaan kekaburan antara ilmu, industri dan filsafat. Para sejarawan menemukan bahwa studi di alam dilaksanakan dalam suatu kerangka asumsi-asumsi tentang dunia yang kini ditolak sebagai kerangka yang bersifat magis dan tahayul.
Pendapat mengenai ilmu di abad tengah simpang siur. Para sejarawan terdahulu memandang ilmu dijaman itu, belum terbebaskan dari beban dogmatis dan tahayul. Sementara sejarawan lainnya mencoba menunjukkan bahwa banyak fakta dan prinsip pokok ilmu modern ditemukan pada waktu itu. Orang terpelajar dijaman dulu tidak semuanya mencoba melaksanakan penelitian ilmiah. Filsafat alamiah dan fakta-fakta khusus dipelajari terutama dalam hubungannya dalam agama juga untuk menjelaskan teks-teks al kitab yang penuh kiasan.
Di antara ilmu dan agama pernah dibungkam secara aneh. Contohnya, teori Darwin tentang seleksi alamnya. Dan orang akan ragu untuk berbicara lebih jauh. Seperti yang begitu banyak dilakukan nenek moyang kita tentang apa-apa yang ragu diantara ilmu dan agama. Sebagai hal yang tak terhindarkan. Memang benarlah bahwa segelintir penulis pendukung masih merasa kesulitan untuk memutuskan isu-isu seperti apakah eksistensi kehidupan pada dunia lain akan memerlukan penetapan kembali adanya kejatuhan dalam dosa dan penebusan yang diajarkan agama.
Satu-satunya cabang ilmu yang masih mampu mendorong perdebatan teologis dengan penuh semangat, sampai sekarang adalah ilmu-ilmu humaniora ketimbang ilmu-ilmu alamiah. Implikasi-implikasi psikologi Freudian terhadap doktrin rahmat dan kegunaan obat-obat bius yang menimbulkan khayalan untuk menghasilkan pengalaman-pengalaman kuasi-mistik adalah topic-topik diskusi yang hangat dimasa kini bukan lagi evolusi, astrofisika dan geologi histories.[5]
III. Kesimpulan
Dari paparan makalah diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya definisi dari agama itu sangat banyak sekali dan berbeda-beda pendapat, berarti semuanya itu kembali kepada diri kita masing-masing. Setiap individu pasti mempunyai pendapat yang berbeda-beda, tergantung dari pengalaman religius yang pernah dilakukan. Apalagi kehidupan di dunia ini terdapat suatu kekuatan yang selalu menyelimuti kita dan semua kekuatan itu bersifat empiris&mistis. Dan agama tentu saja yang bisa meyakinkan kita tentang hal-hal yang gaib. Ilmu pengetahuan selalu mencari dan ingin membuktikan bahwa hal-hal yang bersifat mistis dan tahayul itu tidak benar. Para sejarawan terdahulu memandang ilmu dijaman itu, belum terbebaskan dari beban dogmatis dan tahayul. Tetapi, itulah kehidupan yang ada di dunia ini, semuanya kembali kepada kita saja. So, percayalah terhadap apa yang kita yakini keberadaannya. Apalagi kita mempunyai agama, ya to??
DAFTAR PUSTAKA
Ali, H.A Mukti, Agama-agama di Dunia, Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press. 2000.
Morris, Brian, Antropologi Agama, Yogyakarta : Haikhi Grafika. 2007.
Ravertz, Jerome R, Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2004.
Turner, Bryan S., Agama&Teori Sosial, Yogyakarta : Ijang Grafika. Cet II. 2006.
[1]H.A Mukti Ali, Agama-agama di Dunia, IAIN Sunan Kalijaga Press. Yogyakarta . 2000. hlm. 48-51
[2] Brian Morris, Antropologi Agama, Haikhi Grafika. Yogyakarta . 2007. hlm. 241
[3] Bryan S. Turner, Agama&Teori Sosial, Ijang Grafika. Yogyakarta . Cet II. 2 006. hal, 415 – 416
[4] Brian Morris, hlm. 244-246
[5] Jerome R Ravertz, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar. Yogyakarta . 2004. hlm.18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar