Atau, bisnis online, Clixsense misalnya. (Lho malah jadi promosi). Karena bekerjalah walau tidak tetap. +ahmad safi'i
Rabu, 19 Desember 2012
Kepastian Menpan dan RB tentang formasi Penerimaan CPNS tahun 2013
Kabarnya, belum ada kepastian dari Menpan dan RB tentang formasi CPNS tahun 2013. jadi, yang pingin mengabdi kepada Negara NKRI, harus bersabar dulu. Tahun 2014 dan 2015, banyak kok PNS yang sudah pensiun. Sabar saja, selagi menunggu penerimaan CPNS, usul punya usul, kalau ternak burung gimana? Atau ternak Kambing? Atau Sapi? musim penghujan kayak gini, sangat mudah memenuhi pakan ternak lho..
Selasa, 18 Desember 2012
Bagi yang pingin tahu cara Kerja Clixsense, silakan baca!
Apa itu PTC???
Berapa Payout Minimum dari Clixsense.com???
PTC merupakan singkatan dari Paid to Click, yang kalau diartikan secara bebas adalah dibayar untuk klik. Dalam bisnis online PTC ini, klik yang kita lakukan adalah klik iklan di member area. Tentunya kita harus mendaftar dulu, dan pendaftaran di semua PTC adalah GRATIS. Pada intinya PTC adalah program bisnis dimana kita akan dibayar hanya untuk klik iklan di member area.
Nah salah satu PTC tersebut adalah Clixsense.com :)
- Clixsense.com
Nah salah satu PTC tersebut adalah Clixsense.com :)
Apa itu Clixsense.com???
Clixsense.com adalah sebuah program affiliasi yang sangat simpel sederhana dan sangat mudah untuk dijalankan, dan yang paling penting untuk mendaftar di clixsense Anda tidak akan dipungut biaya sepeserpun alias GRATIS !
Clixsense.com bisa dijadikan tambahan penghasilan dalam bisnis online Anda sambil kita browsing di internet, dimanapun Anda dan kapanpun program ini bisa dijalankan. dan tentu saja pendapatan yang cukup lumayan untuk Anda. :)
Bagaimana Cara Kerjanya???
Cara kerja PTC Clixsense.com adalah kita akan diberikan dollar untuk setiap iklan yang kita klik. Setiap iklan yang akan di klik dihargai sekitar $0.001 - $0.02 per klik (dengan durasi 3 detik - 30 detik per iklan).
Berapa Payout Minimum dari Clixsense.com???
Payout minimum dari clixsense.com adalah 8$ (untuk member Standar) dan $6 (untuk member Premium). Pembayaran dari clixsense.com melalui Paypal.
Layanan yang bisa didapatkan di Clixsense.com antara lain:
1. Anda bisa klik View Ads untuk mendapatkan dollar setiap iklan yang di klik.
2. Anda bisa memasang iklan Anda di clixsense.com untuk memaksimalkan penjualan Anda di dunia maya
3. Anda bisa main di ClixGrid, dan dapatkan $0,1 - $5 setiap anda tepat membuka iklan dan tepat dengan hadiah tersebut. (setiap hari diberikan 30 kesempatan untuk mengklik kolom grid yang tersedia).
4. Anda bisa mereferensikan Clixsense.com ke teman-tema atau kerabat Anda dan Anda mendapatkan hak referal yang lumayan untuk hitungan bekerja di rumah / di waktu senggang. :)
Silahkan mendaftar di Clixsense.com untuk mendapatkan hak atas layanan tersebut. Daftar Disini :)
Setelah pendaftaran Anda diterima, Anda mempunyai username dan password untuk bisa login di Clixsense.com, selanjutnya Anda bisa mereferensikan Clixsense.com kepada teman-teman Anda/kerabat Anda bahkan kepada netter yang tidak Anda kenal sekalipun. :)
kalau Anda klik salah satu link Clixsense di atas Anda akan melihat kata:
kalau Anda klik salah satu link Clixsense di atas Anda akan melihat kata:
You have been invited to join ClixSense by Dzikrullah Zulkarnain
daftar Harga Blanko Undangan JavaCard
Produk-produk JavaCard tersebar di seluruh kota besar Indonesia. daftar Harga Blanko Undangan JavaCard adalah sebagai berikut:
cara setting remote CHUNSHIN RM-056B+3
Berikut ini adalah cara bagaimana menyetting remote All in One segala tv atau receiver CHUNSHIN RM-056B+3
Langkah Pertama: Tekan "SET" jangan lepas hingga lampu berkedip 1 kali lalu lepaskan.
Langkah Kedua: Coba cek ke Digital Receiver atau Positioner/Hidrolik Anda.
Langkah Ketiga: Jika belum atau kurang cocok, maka ulangi pada Langkah Pertama.
Selamat mencoba...!
Maklum remote ALL in One, gak mesti langsung bisa, harus dicoba-coba...
Langkah Pertama: Tekan "SET" jangan lepas hingga lampu berkedip 1 kali lalu lepaskan.
Langkah Kedua: Coba cek ke Digital Receiver atau Positioner/Hidrolik Anda.
Langkah Ketiga: Jika belum atau kurang cocok, maka ulangi pada Langkah Pertama.
Selamat mencoba...!
Maklum remote ALL in One, gak mesti langsung bisa, harus dicoba-coba...
Minggu, 16 Desember 2012
Toni Boster mendapat respon baik dari Warga
Salam Toni Boster!
secuplik dari update terbaru tentang KONSPIRASI
jangan lupa me-LIKE update terbaru Toni Boster hanya di Grup Facebook Warko Lesehan Mbah Lalar.
secuplik dari update terbaru tentang KONSPIRASI
Sejak awal kedatangannya di seluruh penjuru Dunia, ia memang telah dengan pasti menancapkan Konspirasi Theokrasi Arabnya.
Misalnya ketika ketika Awal kedatanggannya yang telah menjadi sebuah kelompok besar, akhirnya mereka berhasil mendirikan Samudra Pasai dibawah otoritas Kekhalifahan Turki, menysyl kemudian sebuah kelompok di Jawa dengan dedengkot terkenalnya juga berhasil mendirikan kerajaanDemak. Demikian pula yang terjadi diseluruh belahan Dunia.
Belum lagi dalam symbol symbol ritualnya, sangat jelas menggambarkan wujud aslinya, semisal Shalat dan Haji, mereka tidak dibolehkan menggunakan selain Bahasa Arab, diseluruh Dunia, Muhammad ini juga mewajibkan untuk bersujud mengarah ke Kiblat yang di Arab, setahun sekali juga, memanggil pengikutnya untuk menuju ke Tanah Arab bagi yang mampu.
Tidak hanya itu saja, bahkan Muhammad telah mencemari Dunia dengan kebudayaan Arab, semisal Jilbab yang dengan alasan menutup aurat, Berjubah dan bersorban.
Belum puas dengan itu, kitab2 pedoman mereka juga berbahsa arab, hanya segelintir sekte tertentu yang menggunakan berbagai terjemah bahsanya sendiri.
Dalam Konspirasi ini, MUI juga telah terlibat entah dengan sengaja atau tidak, ya itu ketika membuat Film yang berjudul "WALI SANGA" lihat saja para aktor utamanya lebih di dominasi dengan pakaian dan gaya gaya arab.
Salam ToniBosterr
jangan lupa me-LIKE update terbaru Toni Boster hanya di Grup Facebook Warko Lesehan Mbah Lalar.
Senin, 10 Desember 2012
Pemikiran Jalauddin Rumi Sang Pecinta
Berbeda dengan tokoh-tokoh sufi lain semasanya, Rumi telah mengambil bentuk sufisme tersendiri. Artinya, tidak seperti kebanyakan sufi-sufi pendahulu dan semasanya yang lebih cenderung untuk mengungkap masalah metafisik dan maqamat, maka pemikiran sufisme Rumi lebih memiliki nuansa tersendiri yang tertuang dalam bentuk sajak, syair dan prosa.
Namun demikian, dengan tidak mengurangi nilai kemistisannya, syair-syair Rumi ternyata memiliki nilai tersendiri yang berkaitan dengan pengalaman batin Rumi. Sehingga dapat dikatakan, bahwa apabila seseorang ingin memahami pribadi Rumi dan perjalanan spiritualnya dalam menapaki sufi, maka seseorang harus dapat memahamkan syair-syair Rumi. Karena syair-syair tersebut tersurat pemikiran dan ajaran Rumi yang sesungguhnya.
A. Biografi Jalaluddin Rumi
Nama lengkap Jalaluddin Rumi adalah Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Husin al-Khathbi al-Bakri. Beliau dilahirkan di Balkhi (Persia ) pada tahun 604 H (1217 M) dan meninggal pada tahun 672 H (1273 M). Ketika beliau berusia 4 tahun, ayahnya membawa Rumi ke Asia Kecil yang pada waktu itu lebih dikenal dengan Negeri Rum. Itulah sebabnya, maka dia memakai nama “Rumi”, yang diambil dari nama negeri tempat tinggalnya.[1]
Ayahnya, Baha’ Walad adalah seorang dai terkenal, fakih sekaligus sufi yang menempuh jalan rohani sebagaimana Ahmad al-Ghazali, saudara Muhammad al-Ghazali yang dikenal dengan kesufiannya. Sebagai ahli fiqh sekaligus sufi, Baha’ memiliki pengetahuan eksoterik (yang berkaitan dengan hukum Islam) maupun pengetahuan esoterik (yang berkaitan dengan thariqah / tasawuf).
Berkaitan dengan dimensi eksoterik ini, dia mengajarkan kepada setiap Muslim tentang bagaimana caranya menjalankan kewajiban-kewajiban agama, sedangkan dalam dimensi esoterik, dia mengajarkan bagaimana cara menyucikan diri dan meraih kesempurnaan.[2]
Ia juga mempelajari dengan tekun kitab suci al-Qur’an baik pembacaan, penjelasan, ataupun penafsirannya. Penelusuran keilmuannya tidak berhenti sampai disana, Ia juga mempelajari hadist (satu cabang ilmu yang mengkaji ucapan dan perbuatan Rasul Muhammad serta para sahabat). Pengetahuannya yang luas dalam kajian keIslaman ditunjukkan dalam karya-karyanya yang mendalam.
Balkhi, pada tahun-tahun awal abad ke-13 di samping menjadi pusat pembelajaran yang maju juga merupakan pusat perdagangan. Tetapi keadaan politik memaksa terjadinya perubahan besar-besaran seiring dengan terjadinya penyerbuan besar-besaran tentara Mongol dari Asia Dalam. Tepatnya pada tahun 1220 Balkhi diserbu dan dimusnahkan hingga runtuh oleh kaum Mongol. Tapi penghancuran Balkhi oleh tentara Mongol tidak berpengaruh pada Baha’ Walad dan keluarganya. Mereka telah pindah dari Balkhi satu atau dua tahun sebelum penghancuran tersebut. Dalam pengelanaannya keluarga itu melewati Bagdad ke Mekah, kemudian ke Syria dan akhirnya sampai di Anatolia Tengah. Keluarga itu kemudian menetap di Laranda (Karaman, saat ini Turki). Di sana Jalaluddin menikahi Jauhar Khatun, seorang gadis muda berasal dari Samarkand .
Pada tahun 1228, atas undangan Pangeran Ala’uddin Kay-Qubad, Baha’ Walad memboyong keluarganya ke Konya Ibukota Kesultanan Rum Seljuq yang sedang berkembang pesat, dan pada waktu itu masih jauh dari jangkauan tentara Mongol. Di kota itu Baha’ Walad menjadi pengajar sebagaimana yang ia lakukan di Balkhi. Pada Januari 1231, Baha’ Walad yang mendapat julukan “Sultan Kaum Terpelajar”, wafat dan meninggalkan Jalaluddin sebagai penggantinya.[3]
Ketika Rumi mengambil kedudukan ayahnya, dia tampak sudah menguasai disiplin ilmu rohani dan ilmu-ilmu esoterik sufisme. Sejak itulah maka dia seakan-akan sulit menghindarkan diri dari sufisme, bahkan senantiasa terdorong kearahnya. Namun demikian, secara formal dia baru menjalani kehidupan seorang sufi ketika Burhanuddin Tirmidzi, murid kesayangan ayahnya datang ke Konya pada tahun 1232 hingga wafatnya tahun 1240. di bawah bimbingannya Rumi menjalani disiplin-disiplin ilmu kerohanian.
Rumi menjadi berubah ketika Syamsuddin dari Tabriz datang ke Konya pada tahun 1244. Syamsuddin Tabrizi memiliki pengaruh yang begitu besar terhadap pribadi Rumi. Dialah yang menyebabkan Rumi berubah dari seorang ahli hukum menjadi seorang pecinta yang mabuk. Sehingga ada yang mengatakan bahwa tanpa kehadiran Syams, maka tidak akan pernah ada Rumi.
Selama kurang lebih satu atau dua tahun, Syams senantiasa mendampingi Rumi. Sehingga ketika tiba-tiba Syams meninggalkan Konya , maka Rumi menjadi cemas.[4]
Hilangnya Syams dan kerinduan yang timbul di dalam jiwanya pada kekasih spiritual menjadi pemicu pada diri Rumi untuk menggubah dan melagukan hasratnya yang merindu dalam lirik puisi Persia . Akhirnya Rumi mengetahui bahwa Syamsuddin pergi ke Damaskus, lalu ia mengutus putra tertuanya, Sultan Walad untuk membawa Syams kembali ke Konya . Syams akhirnya menempati rumah Rumi dan menikahi gadis muda pelayan rumah. Dia menetap di sana hingga tahun 1248, sebelum akhirnya menghilang sekali lagi dan tidak pernah ditemukan kembali. Tuduhan pembunuhan oleh anak kedua Rumi yang dilontarkan Aflaki, salah seorang penulis awal biografi, saat ini banyak diakui kebenarannya.
Rumi amat terkejut oleh perpisahan kedua ini hingga kemudian dia memutuskan untuk pergi sendiri ke Syria ’ satu atau dua kali, untuk mencari sahabatnya. Pada akhirnya, dia menyadari bahwa Syams tidak akan ditemukan dan dia memutuskan untuk lebih mencari Syams “yang nyata” di dalam dirinya sendiri. Proses pemenuhan perkenalan antara pecinta dan kekasihnya telah terpenuhi, Jalaluddin dan Syamsuddin bukan merupakan dua jiwa yang terpisah. Mereka satu selamanya.
Setelah menjalani kehidupan mengajar dan memenuhi kebutuhan pengikut dan sahabatnya Maulana Jalaluddin Rumi meninggal dunia pada 17 Desember 1273.[5]
B. Karya- karya Jalaluddin Rumi
Rumi tidak “menulis “ buku dengan cara konvensional sebagaimana orang lain melakukannya. Prosa dan puisi Rumi pada saat ini disamping berasal dari karya-karya yang dicatat oleh pengikutnya ketika Rumi menyampaikannya secara lisan dan hasil pendiktean yang kemudian dia periksa lagi seperti dalam Matsnawi dan Diwan, juga karya-karya yang ditulis oleh para pengikutnya dari ingatan mereka atau dari catatan-catatan Rumi sendiri setelah kematiannya. Karya-karya seperti itulah yang terangkum dalam buku Signs of the Unseen (fihi ma fihi).
Karya utama Rumi adalah berjudul Masnavi-i ma’navi, yang dalam edisi Inggris berjudul Masnavi of Intrinsic Meaning. Karya ini terdiri dari enam jilid buku yang berisi 25.000 bait puisi. Karya ini digubah sebagai persembahan untuk memenuhi permintaan orang yang menjadi sumber inspirasi Rumi yang ketiga, Husamuddin Chelebi. Rumi menggunakan berbagai jenis cara pengungkapan sebagai medium ekspresinya. Dalam karyanya terdapat cerita, anekdot, dan lain-lain. Tapi semua isinya menyentuh aspek pembelajaran dan pemikiran spiritual. Adalah suatu yang wajar jika kita mengatakan bahwa ketika karya Rumi digubah, tidak ada kitab di dalam dunia Islam, kecuali al-Qur’an, yang begitu dihormati dan dirujuk oleh kaum Muslim sebagaimana Matsnawi karya Rumi.
Karya utama Rumi yamg lain ialah kumpulan puisi pendeknya yang luar biasa besar, Divan-i Syams-i Tabriz , yang terdiri dari ghazal, kuatrin (sajak empat seuntai) dan lain-lain, dalam bentuk yang tidak konvensional. Ciri khas Rumi yang secara sempurna tergabung dengan alter egonya dapat kita lihat dari baris-baris terakhir ghazalnya, suatu bagian yang dijadikan tempat oleh aturan konvensional di dalam puisi Persia untuk menyisipkan nama samaran sang penyair, sementara Rumi menempatkan nama kekasihnya Syams dari Tabriz.
Untuk melengkapi karya Matsnawi dan Diwan, kami menambahkan 144 surat Maulana Jalaluddin Rumi yang telah dikumpulkan dan dipelihara oleh pengikutnya. Surat-surat itu kebanyakan ditujukan kepada Parwana Mu’inuddin atau pejabat resmi lain dan pejabat-pejabat di Konya . Surat-surat itu ditulis untuk kepentingan mereka yang membutuhkan bantuan.
Dan untuk menambah catatan ceramah Rumi, di dalam Signs of Unseen (fihi ma fihi), kami sertakan kumpulan ceramah yang terpelihara di dalam Majalis-i sab’a-i Maulana (Ceramah dari Tujuh Pembahasan Maulana).
Fihi ma fihi merupakan kumpulan kuliah, wacana, perbincangan, dan komentar Rumi pada pelbagai masalah. Kebanyakan dari tujuh puluh satu bagian yang dimuat di dalam buku ini adalah bagian-bagian yang terlepas. Beberapa lagi berasal dari yang sejenis dengan “pembahasan” (majelis) guru sufi, atau pertemuan tak resmi dengan murid dan pengikutnya, selama itu sang guru menguraikan satu pokok bahasan atau lebih.
Meskipun banyak, atau bahkan semuanya, dari bagian yang barangkali telah ditulis Rumi selama masa kehidupan Rumi, hampir dapat dipastikan bahwa keseluruhan karya ini tidak selesai dibuat hingga Rumi wafat. Bentuk buku itu merupakan kenang-kenangan dari kumpulan wacana-wacana ayahnya, yang umumnya cenderung lebih merupakan pandangan terhadap suatu gagasan (seperti bagian 34 kitab Fihi ma fihi).[6]
Kesatuan Eksistensi Menurut Jalaluddin Rumi
Cara pandang sufi terhadap eksistensi agak berbeda dari kaum teologi (mutakallimun). Bagi kaum sufi, “Eksistensi” (wujud) berarti “kenyataan / kebenaran” (haqiqah) dan tiada yang hakiki kecuali kenyataan / kebenaran tertinggi (ultimate realita, al-Haqq).
Rumi menyajikan pandangannya sendiri dalam kaitannya dengan penafsiran ungkapan terkenal al-Hallaj, “Anal al-Haqq”; (aku adalah kebenaran).
Orang-orang mengira ungkapan anal al-haqq adalah ungkapan kesombongan, padahal mengatakan ana al-Abd, aku hamba Allah, itulah yang sebenarnya merupakan ungkapan kesombongan, Anal Al Haqq adalah ekspresi kerendahan hati yang besar. Manusia yang mengatakan Ana al-abd mengakui dua eksistensi, eksistensinya dan Tuhan, sementara orang yang mengatakan anal Al-Haqq adalah ekspresi kerendahan hati yang besar. Manusia yang mengatakan anal al-‘abd mengakui dua eksistensi. Eksistensinya dan Tuhan, sementara orang yang mengatakan anal al-haqq telah meniadakan dan telah menyerahkan dirinya seraya berkata “Akulah Tuhan”, yakni aku tidak ada, Dia-lah segalanya: tiada sesuatu kecuali Tuhan. Inilah kerendahan hati yang luar biasa besarnya.
Ayat al-qur’an (QS. 75:3) mengungkap lebih jauh tentang konsepsi Rumi mengenai kesatuan eksistensi. “Dia yang pertama dan yang terakhir” berarti bahwa kenyataan / kebenaran tertinggi (al-Haqq) adalah prinsip segala makhluk dan mereka pasti kembali, sementara “Dia yang lahir, Dia yang Batin”, mengisyaratkan imanensi dan transendensi-Nya.
Cinta Universal Menurut Jalaluddin Rumi
Dalam pandangan Rumi, Tuhan adalah pencipta semesta yang menciptakannya dari ketidakmaujudan (‘adam non-existence). Namun demikian, ketidakmaujudan itu bukanlah ketiadaan murni (nothingness). Akan tetapi ketidakmaujudan mengandung kenyataan dan potensial yang aktualisasinya menjadi kemaujudan (eksistensi) bergantung sepenuhnya pada kemuraan Tuhan (barakah).
Tentang bagaimana semesta ini diciptakan, Rumi berkeyakinan bahwa penciptaan adalah manifestasi diri Tuhan (izhar). Untuk mendukung pandangan ini, Rumi layaknya sufi lainnya, mengutip hadits qudsi terkenal yang mengatakan bahwa Tuhan adalah kekayaan tersembunyi; Dia menciptakan dunia ini agar bisa dikenali.
Sekarang mari kita lihat bagaimana semesta dihubungkan oleh Rumi dengan cinta. Seperti telah kita lihat, hal pertama yang diciptakan Tuhan adalah cinta, prioritas cinta ketimbang makhluk yang lain terbukti karena cintalah yang memotivasi Tuhan untuk menciptakan semesta. Dengan begitu, Rumi menganggap cinta sebagai kekuatan kreatif paling dasariah, yang menyusup ke dalam setiap makhluk dan menghidupkan mereka.
Sebagai cermin Tuhan, semesta merefleksikan sifat-sifat-Nya sesuai dengan tingkatan eksistensi yang terdapat di dalamnya. Semakin tinggi tingkatan yang dicapainya, semakin banyak sifat Tuhan yang mereka refleksikan.[7]
Cinta Ilahi (‘Isyq) Menurut Jalaluddin Rumi
Cinta (‘Isyq, mahabbah), menurut Rumi, bukan hanya milik manusia dan makhluk hidup lainnya, tapi juga semesta. Cinta kepada Tuhan telah menciptakan di dalamnya kerinduan untuk kembali dan bersatu.
Kadang-kadang Rumi menggambarkan cinta sebagai “astrolabe rahasia-rahasia Tuhan” yang menjadi petunjuk bagi manusia untuk mencari kekasihnya. Karena itu, cinta membimbing manusia kepada-Nya dan menjaganya dari gangguan orang lain. “Cinta”, kata Rumi, adalah “astrolabe misteri-misteri Tuhan”. Kapanpun cinta, entah dari sisi (duniawi) atau dari sisi (langit)nya, namun pada akhirnya ia membawa kita ke sana .
Dengan pengaruhnya yang luar biasa pada jiwa manusia, cinta juga dapat mempercepat perjalanan manusia menuju Tuhan. Jadi cinta Ilahi dapat menjauhkan manusia dari syirik (penyekutuan Tuhan) dan mengangkat-Nya ke tingkatan yang tertinggi dari tauhid.[8]
Pengetahuan Sejati (al-Ma’rifah)
Konsepsi Rumi tentang pengetahuan sejati (ma’rifah atau gnosis) dimulai oleh fakta bahwa “Tuhan mengajarkan Adam semua nama”. Nama-nama ini merupakan prototype semua pengetahuan sejati dan langsung berasal dari Tuhan. Menurut Rumi “kebijaksanaan Tuhan menciptakan dunia agar segala hal yang ada dalam pengetahuan-Nya tertangkap”. Demikianlah, tiga fundamental manusia untuk memahami seluruh kebenaran sejati yang bersembunyi dibalik pikiran manusia melalui pemahaman dunia fenomena.
Disini ada dua hal yang penting untuk di catat; pertama, ma’rifah sepenuhnya bergantung pada kehendak dan kemurahan Tuhan, dan kedua, ia bukanlah hasil latihan mental. Persepsi indra dan akal penting sebagai sarana yang membimbing kita hanya sampai pada gerbang pengetahuan sejati, dan sisanya bergantung pada rahmat Tuhan (barakah). Atas dasar ini, mereka yang hanya menggunakan persepsi indra atau penalaran diskursif, akan sia-sia mencari kebenaran.[9]
Wahdatul Adyan (kesatuan transendental agama-agama)
Seperti sufi lainnya, Rumi percaya pada kesatuan transcendental agama-agama dan memandang kontroversi diantara pada penganut agama-agama tersebut hanya terjadi karena mereka melihat bentuk luar agama dan bukan pada esensinya. Mereka terlalu terikat pada cara pandang formal dan tradisional yang memandang agama-agama lain terpisah dan akibatnya, tidak mengizinkan adanya visi tentang kesatuan semua agama. Dalam kisah yang terkenal tentang gajah di istana yang gelap, Rumi berusaha menunjukkan betapa orang-orang yang berpikiran sempit gagal menjelaskan hakikat agama-agama. Upaya mereka tidak akan pernah berhasil sebelum mereka memahaminya secara komprehensif.
Karena itu, jelas bahwa sepanjang kita tidak mampu menyaksikan hakikat agama secara komprehensif dan hanya melihatnya dengan sempit pertentangan antara agama-agama tidak akan berakhir. Solusinya hanya akan diperoleh, menurut Rumi apabila kita mampu melihat kesatuan transcendental dari tujuan-tujuannya yang tertinggi.[10]
Rumi sangat terkenal bukan hanya saja di timur, tetapi juga di barat. Beberapa orientalis barat menyebutnya sebagai “penyair sufi paling hebat yang pernah dilahirkan di Persia”. Penyair mistik Islam yang terbesar, dan bahkan penyair mistik paling agung sepanjang masa.
Kita bisa mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa tidak seorangpun penyair mistik dan penyair Islam lain yang dikenal lebih baik daripada Rumi di barat. Di indonesia tidak cukup dikenal, kecuali di lingkaran-lingkaran kecil kaum penyair. Namun demikian dalam dunia intelektual Islam, sayap-sayap bisa kita dengarkan gaung kehebatannya, baik melalui karya-karya maupun puisi-puisinya.
Ditilik dari keluasan wawasan dan ketajaman pandangan intelektualnya dari tema-tema universal yang ia hadirkan dalam setiap bait karyanya atau dari ekspresi ide-idenya dalam bahasa puitis yang dipenuhi simbolisme dan alegori, tidak diragukan lagi jika Rumi adalah seorang jenius dengan pemikiran yang brilliant dan hati yang besar. Melalui pandangannya yang tajam, ia sanggup mengantisipasi sejumlah gagasan yang muncul berabad-abad kemudian. Rumi mengembangkan gagasan yang mendorong manusia untuk bekerja keras dalam mengemban tugas beratnya sebagai wakil Tuhan (khalifah) di bumi. Dengan demikian ia menyanggah pandangan yang keliru bahwa para sufi bersifat fatalistic.[11]
Hal yang penting yang dilupakan pada Rumi adalah bagaimana memahami pribadi Rumi secara utuh. Hal ini terjadi karena sampai dewasa ini orang-orang lebih cenderung melihat pada aspek pemikiran melalui hasil syair-syair Rumi dan tidak melihat pada aspek pribadi Rumi. Dengan kata lain, mengapa ajaran-ajaran yang termuat dalam syair-syair Rumi dapat diterima banyak orang pada massanya. Padahal ini berbeda dengan bentuk sufisme yang berkembang pada massanya. Padahal ini berbeda dengan bentuk sufisme yang berkembang pada saat itu yang lebih menonjolkan aspek maqamat sebagai suatu jalan menuju Ilahi. Sehingga wajar apabila Schimmel berargumen bahwa “basis, pusat dan tujuan pemikiran Rumi adalah Tuhan Yang Esa Tak Terbatas yang esensinya tidak pernah akan dicapai”.[12]
Dari penjelasan dan pemaparan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pada dasarnya Rumi merupakan sosok yang ahli dalam bidang hukum (faqih), di samping menguasai berbagai ilmu lain. Namun karena pengaruh Syams, ia telah mulai menekuni dunia sufi, sehingga ia mengenang gurunya ini dengan membuat syair dalam satu kitan yang berjudul Diwan-i Syams Tabrizi.
2. Berbeda dengan kebanyakan sufi yang lebih mementingkan aspek maqamat dalam menapaki kehidupan sufi, maka Rumi tidak menjadikan maqamat sebagai bentuk jalan untuk menuju Ilahi.
3. Ajaran dan pemikiran Rumi hanya dapat ditelaah melalui bait-bait syairnya, sehingga dengan memahami syair-syairnya, maka akan dapat dipahami ajaran sufisme Rumi yang sebenarnya, baik yang menyangkut aspek ketuhanan, kemanusiaan, alam maupun keterkaitan dari ketiga aspek tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Chittick, William C., Jalan Cinta Sang Sufi, terj. M. Sadat Ismail dan Achmad Nidjam, Adipura, Yogyakarta , 2001.
Hamka, Tasauf : Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta , 1993.
Kartanegara, Mulyadhi, Jalal al-Din Rumi; Guru Sufi dan Penyair Agung, Teraju (PT. Mizan Publika), Jakarta , 2004.
Rumi, Jalaluddin, Yang Mengenal Dirinya, Yang Mengenal Tuhannya, terj. Anwar Holid, Pustaka Hidayah, Bandung , 2002.
Schimmel, Annemerie. Dunia Rumi : Hidup dan Karya Penyair Besar Rumi, terj. Saut Pasaribu, Pustaka Sufi, Yogyakarta , 2002.
[1] Hamka, Tasauf : Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta , 1993, hlm. 19
[2] William C. Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi, terj. M. Sadat Ismail dan Achmad Nidjam, Adipura, Yogyakarta , 2001, hlm.1
[3] Jalaluddin Rumi, Yang Mengenal Dirinya, Yang Mengenal Tuhannya, terj. Anwar Holid, Pustaka Hidayah, Bandung , 2002, hlm.4 -5
[4] William C. Chittik, op.cit., hlm.4 -5
[5] Jalaluddin Rumi, op.cit., hlm.12-13
[6] Ibid., hlm 14-16
[7] Kartanegara, Mulyadhi, Jalal al-Din Rumi; Guru Sufi dan Penyair Agung, Teraju (PT. Mizan Publika), Jakarta , 2004, hlm. 48-57
[8] Ibid., hlm. 77-80.
[9] Ibid., hlm. 70-71
[10] Ibid., hlm. 87-90
[11] Ibid., hlm. xiii
[12] Annemerie Schimmel, Dunia Rumi : Hidup dan Karya Penyair Besar Rumi, terj. Saut Pasaribu, Pustaka Sufi, Yogyakarta , 2002, hlm. 90
Sabtu, 08 Desember 2012
Handbook of Psychology VOLUME 1 HISTORY OF PSYCHOLOGY
HANDBOOK of PSYCHOLOGY VOLUME 1
HISTORY OF PSYCHOLOGY
Donald K. Freedheim
Volume Editor
Irving B. Weiner
Editor-in-Chief
xx+588
file type = *.pdf
size = 5.24 Mb
special price for You = $49.00
Kamis, 22 November 2012
Bagaimana penyelesaian Haqqul Adami
Biasa terjadi ditengah masyarakat ketika ada konflik dengan yang lain mengucapkan kata-kata “Ora bakal tak sapuro” atau “sampai kiamatpun tak akan saya halalkan”. Semisal Zakki bersalah (menyakiti perasaan) Topan, atau pernah mengambil hartanya dengan jalan yang tidak halal dan lain-lain, sampai akhirnya keluarlah ucapan seperti diatas dari mulut Topan. Setelah berjalan beberapa tahun terbukalah mata hati Zakki dan ia ingin bertaubat dengan sungguh-sungguh dengan menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan haqqul adami. Sebagai kesungguhan Zakki dalam taubatnya ia ingin menyerahkan (mengganti) apa yang telah pernah diambilnya dan iapun meminta maaf kepada Topan, tetapi entah karena faktor apa hingga Topan tidak mau menerima bahkan iapun tetap tidak mau memaafkan kesalahan Zakki.
Pertanyaan :
Apa hukum tindakan seorang (topan) yang tidak mau memaafkan kesalahan orang lain (Zakki), juga tidak mau membebaskan haq adaminya ?
Jawab :
Hukumnya makruh. Akan tetapi kalau sampai menimbulkan qath’u al-rahmi maka hukumnya haram.
Ibarot:
أسنى المطالب ج 4 ص 359
قوله تجب التوبة من المعصية ) شمل قوله المعصية الكبائر والصغائر ولكن الصغائر قد تمحى بغير توبة بالصلوات الخمس وصلاة الجمعة والصيام والوضوء وغيرها من الحسنات قال ابن الصلاح وقد تكفر الصلوات والجمع وصيام رمضان بعض الكبائر إذا لم توجد صغيرة ( قوله لا يقدح في التوبة ) إنما صحت التوبة في هذه مع بقاء ظلامة الآدمي لأن الشخص لا يكاد يسمح بتلف نفسه والعفو عنها مندوب إليه وهذا المنع طريق إليه
قوله تجب التوبة من المعصية ) شمل قوله المعصية الكبائر والصغائر ولكن الصغائر قد تمحى بغير توبة بالصلوات الخمس وصلاة الجمعة والصيام والوضوء وغيرها من الحسنات قال ابن الصلاح وقد تكفر الصلوات والجمع وصيام رمضان بعض الكبائر إذا لم توجد صغيرة ( قوله لا يقدح في التوبة ) إنما صحت التوبة في هذه مع بقاء ظلامة الآدمي لأن الشخص لا يكاد يسمح بتلف نفسه والعفو عنها مندوب إليه وهذا المنع طريق إليه
الزواجر عن اقتراف الكبائر ج 2 ص 132-133
( الكبيرة الثالثة بعد الثلاثمائة : قطع الرحم ) قال - تعالى - : { واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام } : أي واتقوا الأرحام أن تقطعوها , وقال - تعالى - : { فهل عسيتم إن توليتم أن تفسدوا في الأرض وتقطعوا أرحامكم أولئك الذين لعنهم الله فأصمهم وأعمى أبصارهم } . وقال - تعالى - : { الذين ينقضون عهد الله من بعد ميثاقه ويقطعون ما أمر الله به أن يوصل ويفسدون في الأرض أولئك هم الخاسرون } . وقال - تعالى - : { الذين ينقضون عهد الله من بعد ميثاقه ويقطعون ما أمر الله به أن يوصل ويفسدون في الأرض أولئك لهم اللعنة ولهم سوء الدار } . وأخرج الشيخان عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : { إن الله - تعالى - خلق الخلق حتى إذا فرغ منهم قامت الرحم فقالت : هذا مقام العائذ بك من القطيعة , قال نعم أما ترضين أن أصل من وصلك وأقطع من قطعك ؟ قالت بلى , قال فذاك لك ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : اقرءوا إن شئتم { فهل عسيتم إن توليتم أن تفسدوا في الأرض وتقطعوا أرحامكم أولئك الذين لعنهم الله فأصمهم وأعمى أبصارهم } } .
الإنصاف للمرداوي ج: 8 ص: 262-263
قال في القاعدة الخامسة والثمانين وليس كذلك ولا يلزم من طلب العفو من الزوج أن يكون هو المالك فإن العفو يصح عما يثبت فيه حق التملك كالشفعة وليس في قولنا إن الذي بيده عقدة النكاح هو الأب ما يستلزم أن الزوج لم يملك نصف الصداق لأنه إنما يعفو عن النصف المختص بابنته انتهى
المحصول ج: 2 ص: 79 – 80
ثم إنا نفسر موافقة الأمر بتفسيرين آخرين أحدهما أن موافقة الأمر عبارة عن الإتيان بما يقتضيه الأمر على الوجه الذي يقتضيه الأمر فإن الأمر لو اقتضاه على سبيل الندب وأنت تأتي به على سبيل الوجوب كان هذا مخالفة للأمر وثانيهما أن موافقة الأمر عبارة عن الاعتراف بكون ذلك الأمر حقا واجب القبول ومخالفته عبارة عن إنكار كونه حقا وجاب القبول سلمنا أن ما ذكرتم يدل على أن مخالفة الأمر عبارة عن ترك مقتضاه لكن ها هنا ما يدل على أنه ليس كذلك فإنه لو كان ترك المأمور به عبارة عن مخالفة الأمرلكان ترك المندوب مخالفة لأمر الله تعالى وذلك باطل لأن وصل الإنسان بأنه مخالف لأمر لله تعالى اسم ذم فلا يجوز إطلاقه على تارك المندوب سلمنا أن تارك المندوب مخالف للأمر فلم قلت إن مخالف الأمر مستحق للعقاب
الأشباه والنظائر ج: 1 ص: 116
القاعدة الثالثة الإيثار مكروه وفي غيرها محبوب قال تعالى ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة قال الشيخ عز الدين لا إيثار في القربات فلا إيثار بماء الطهارة ولا بستر العورة ولا بالصف الأول لأن الغرض بالعبادات التعظيم والإجلال فمن آثر به فقد ترك إجلال الإله وتعظيمه
قواعد الفقه ج: 1 ص: 441- 442
الكراهة ثم شرعا كون الفعل بحيث يكون تركه أولى مع عدم المنع من ذلك الفعل ويسمى مكروها وهو نوعان مكروه كراهة تحريم ومكروه كراهة تنزيه فالأول ثم الشيخين ما كان إلى الحرام أقرب والثاني ما كان إلى الحل أقرب كذا في كشاف المصطلحات ومعنى كرهت الشيء إذا لم ترده ولم ترضه قاله في المغرب
Apakah orang yang sudah mengembalikan apa yang sudah menjadi kewajibannya (haq adami), akan tetapi tidak diterima sudah terbebas dari tanggungannya (haqqul adami) ?
Jawab :
Sudah mencukupi dan sah taubatnya.
Ibarot:
الزواجر عن القتراف الكبائر ج 2 ص 268-269
الضرب الثاني : ما يتعلق به حق آدمي فالتوبة منه يشترط فيها جميع ما مر , ويزيد هذا بأنه لا بد من إسقاط حق الآدمي , فإن كان مالا رده إن بقي وإلا فبدله لمالكه أو نائبه أو لوارثه بعد موته ما لم يبرئه منه ولا يلزمه إعلامه به , فإن لم يكن وارث أو انقطع خبره دفعه إلى الإمام ليجعله في بيت المال أو إلى الحاكم المأذون له التصرف في مال المصالح , فإن تعذر قال العبادي والغزالي : تصدق عنه بنية العزم , وألحق الرافعي في الفرائض واعتمده الإسنوي وغيره بالصدقة سائر وجوه المصالح , فإن لم يكن هناك قاض بشرطه صرفه الأمين بنفسه في مال المصالح , وإن كان هناك قاض بشرطه غير مأذون له في التصرف في مال المصالح ففيه أوجه : يدفعه إليه يصرفه بنفسه إن كان أمينا في مال المصالح , وإلا دفعه للقاضي يوقف إلى ظهور بيت المال , أو ما يقوم مقامه بشرطه . قال النووي : الثالث ضعيف والأولان حسنان وأصحهما الأول ; ولو قيل يتخير بينهما لكان حسنا . قال : بل هو عندي أرجح انتهى . قيل : وقد يقال إذا لم يكن للقاضي الأهل الأمين صرف ذلك في المصالح إذا لم يكن مأذونا له فكيف يكون ذلك لغيره من الآحاد فتأمله انتهى . وبتأمله مع ما قبله فعلم فساده . ومن أخذ حراما من سلطان لا يعرف مالكه , فعن قوم يرده إليه ولا يتصدق به وهو اختيار المحاسبي , وعن آخرين يتصدق به : أي عن مالكه إذا علم أن السلطان لا يرده إليه , وقال النووي : المختار أنه إن علم أو ظن ظنا مؤكدا أنه يصرفه في باطل لزمه صرفه في المصالح كالقناطر , فإن شق عليه لنحو خوف تصدق به على الأحوج فالأحوج وأهم المحتاجين ضعفاء الجثة , وإن لم يظن أنه يصرفه في باطل فليدفعه أو لنائبه حيث لا ضرر وإلا صرفه في المصالح وعلى نفسه إن احتاج . قال الغزالي : وحيث جاز صرفه للفقراء فليوسع عليهم أو لنفسه ضيق عليها ما أمكنه أو لعياله يوسط بين السعة والضيق ولا يطعم غنيا منه إلا إن لم يجد غيره لكونه في نحو برية , ولو عرف من حال فقير أنه لو عرفه تورع عنه أخره إلى أن يجوع وأخبره بالحال ولا يكتفي بكونه لا يدري الحال , وليس له كراء مركوب ولا شراؤه وإن كان مسافرا انتهى . فإن أعسر به قال الماوردي : انتظرت ميسرته وصحت توبته . وفي الجواهر : لو مات المستحق واستحقه وارث بعد وارث ففيمن يستحقه في الآخرة أربعة أوجه : الأول : آخر الورثة الكل فيثبت الآخر لكل وارث مدة عمره ونقله الرافعي عن العبادي في الرقم , ورابعها إن طالبه صاحبه به فجحده وحلف فهو له وإلا انتقل إلى ورثته , وادعى القاضي أنه لا خلاف أنه لو حلف عليه يكون للأول . انتهى . والذي رجحه في الروضة هو الأول حيث قال أرجحها , وبه أفتى الحناطي أنه صاحب الحق أولا انتهى . وقال القاضي حسين : إنه الصحيح , وحكى وجها آخر أنه يكون للكل . قال الإسنوي , وترجيح الروضة ليس في الرافعي وإنما حكاه عن الحناطي فقط , وعبارته عنه يرثه الله تعالى بعد موت الكل ويرده إليه في القيامة , ولفظ الروضة لا يعطي هذه الكيفية انتهى : أي ولا ينافيها فيحمل عليها . وقال النسائي : لو استحق الوفاء وارث بعد وارث فإن كان المستحق ادعاه وحلف قال في الكفاية : فالطلب في الآخرة لصاحب الحق بلا خلاف أو لم يحلف فوجوه في الكفاية أصحها ما نسبه الرافعي للحناطي كذلك والثاني للكل والثالث للأخير ولمن فوقه ثواب المنع . قال الرافعي : وإذا دفع لآخر الورثة خرج عن مظلمة الكل إلا فيما سوف وماطل انتهى . وهو من بقية كلام الحناطي خلافا لما توهمه عبارة الرافعي : ولا خلاف أن الوارث لو أبرأ واستوفى سقط الحق , ثم إن كان عصى بالمماطلة تاب عنها , ولو أعسر من عليه الحق نوى الغرم إذا قدر . قال القاضي : ويستغفر الله أيضا فإن مات قبل القدرة فالمرجو من فضل الله تعالى المغفرة , قال في الخادم : وما قاله تفقها لا خلاف فيه كما جزم به الأنصاري شارح إرشاد الإمام حيث قال : لو حال بينه وبين تسليم النفس أو المال مانع كحبس ظالم له وحدوث أمر يصده عن التمكين سقط ذلك عنه وإنما يلزمه العزم على التسليم إن أمكنه قال : وهذا مما لا خلاف فيه انتهى , وخالف في ذلك النووي فقال : ظواهر السنة الصحيحة تقتضي ثبوت المطالبة بالظلامة إذا كان معسرا عاجزا إن عصى بالتزامه انتهى . قال الزركشي : وفيه نظر , وفي الروضة : لو استدان لحاجة مباحة من غير سرف وهو يرجو الوفاء من جهة أو سبب ظاهر واستمر به العجز إلى الموت أو أتلف شيئا خطأ وعجز عن غرامته حتى مات , فالظاهر أن هذا لا يطالب في الآخرة والمرجو من فضل الله تعالى أن يعوض صاحب الحق , وقد أشار إليه الإمام انتهى . وذكر السبكي ما يوافقه , ونقل الزركشي عن الإحياء ما يوافقه أيضا , وعبارته من كان غرضه الرفق وطلب الثواب فله أن يستقرض على حسن الظن بالله تعالى لا اعتمادا على السلاطين والظلمة , فإن رزقه الله من حلال قضاه وإن مات قبل القضاء قضى الله عنه وأرضى غرماءه , ويشترط أن يكون مكشوف الحال عند من يقرضه ولا يغش المقرض ويخدعه بالمواعيد , وأن يكشف عنده ليقدم على إقراضه عن بصيرة , ودين مثل هذا واجب أن يقضى من بيت المال والزكاة . انتهى . وأفهم قول النووي : ولا سرف أن السرف حرام واعتمده الإسنوي وقال تفطن له , قال غيره وهو واضح , ويدل على تحريمه قوله تعالى : { كلوا واشربوا ولا تسرفوا إنه لا يحب المسرفين } وقوله تعالى : { ولا تبذر تبذيرا إن المبذرين كانوا إخوان الشياطين } والتبذير والسرف واحد انتهى . وقد ينافيه قولهم إن صرف المال في الأطعمة والثياب والمراكب النفيسة غير سرف , ويجمع بأن هذا فيما إذا كان يصرف من ماله والأول فيما إذا كان يصرف من اقتراض وليس له جهة ظاهرة يوفي منها . والأصل في توقف التوبة على الخروج من حق الآدمي عند الإمكان قوله صلى الله عليه وسلم : { من كان لأخيه عنده مظلمة في عرض أو مال فليستحله اليوم قبل أن لا يكون دينار ولا درهم فإن كان له عمل يؤخذ منه بقدر مظلمته وإلا أخذ من سيئات صاحبه فحمل عليه } كذا أورده الزركشي عن مسلم . والذي في صحيحه كما مر : { أتدرون من المفلس قالوا : المفلس فينا من لا درهم له ولا متاع , قال : إن المفلس من أمتي من يأتي يوم القيامة بصلاة وصيام وزكاة وقد شتم هذا وقذف هذا وأكل مال هذا وسفك دم هذا وضرب هذا فيعطى هذا من حسناته وهذا من حسناته , فإن فنيت حسناته قبل أن يقضي ما عليه أخذ من خطاياهم فطرحت عليه ثم طرح في النار } رواه الترمذي . ورواه البخاري بلفظ : { من كانت عنده مظلمة لأخيه فليتحلله منها فإنه ليس هناك دينار ولا درهم من قبل أن يؤخذ لأخيه من حسناته فإن لم يكن حسنات أخذ من سيئات أخيه فطرحت عليه } . ورواه الترمذي بمعناه وقال في أوله : { رحم الله عبدا كانت لأخيه مظلمة في عرض أو مال فجاءه فاستحله } . وكأن ابن عبد السلام أخذ من هذه الأحاديث قوله : من مات وعليه دين تعدى بسببه أو بمظلمة أخذ من حسناته بمقدار ما ظلم به فإن فنيت حسناته طرح عليه من سيئات المظلوم ثم ألقي في النار , وإن كان لم يتعد بسببه ولا بمظلمة أحد أخذ من حسناته في الآخرة كما يؤخذ من أمواله في الدنيا حتى لا يبقى له شيء فإن فقدت لم يطرح عليه من سيئات المستحق لأنه غير عاص .
الضرب الثاني : ما يتعلق به حق آدمي فالتوبة منه يشترط فيها جميع ما مر , ويزيد هذا بأنه لا بد من إسقاط حق الآدمي , فإن كان مالا رده إن بقي وإلا فبدله لمالكه أو نائبه أو لوارثه بعد موته ما لم يبرئه منه ولا يلزمه إعلامه به , فإن لم يكن وارث أو انقطع خبره دفعه إلى الإمام ليجعله في بيت المال أو إلى الحاكم المأذون له التصرف في مال المصالح , فإن تعذر قال العبادي والغزالي : تصدق عنه بنية العزم , وألحق الرافعي في الفرائض واعتمده الإسنوي وغيره بالصدقة سائر وجوه المصالح , فإن لم يكن هناك قاض بشرطه صرفه الأمين بنفسه في مال المصالح , وإن كان هناك قاض بشرطه غير مأذون له في التصرف في مال المصالح ففيه أوجه : يدفعه إليه يصرفه بنفسه إن كان أمينا في مال المصالح , وإلا دفعه للقاضي يوقف إلى ظهور بيت المال , أو ما يقوم مقامه بشرطه . قال النووي : الثالث ضعيف والأولان حسنان وأصحهما الأول ; ولو قيل يتخير بينهما لكان حسنا . قال : بل هو عندي أرجح انتهى . قيل : وقد يقال إذا لم يكن للقاضي الأهل الأمين صرف ذلك في المصالح إذا لم يكن مأذونا له فكيف يكون ذلك لغيره من الآحاد فتأمله انتهى . وبتأمله مع ما قبله فعلم فساده . ومن أخذ حراما من سلطان لا يعرف مالكه , فعن قوم يرده إليه ولا يتصدق به وهو اختيار المحاسبي , وعن آخرين يتصدق به : أي عن مالكه إذا علم أن السلطان لا يرده إليه , وقال النووي : المختار أنه إن علم أو ظن ظنا مؤكدا أنه يصرفه في باطل لزمه صرفه في المصالح كالقناطر , فإن شق عليه لنحو خوف تصدق به على الأحوج فالأحوج وأهم المحتاجين ضعفاء الجثة , وإن لم يظن أنه يصرفه في باطل فليدفعه أو لنائبه حيث لا ضرر وإلا صرفه في المصالح وعلى نفسه إن احتاج . قال الغزالي : وحيث جاز صرفه للفقراء فليوسع عليهم أو لنفسه ضيق عليها ما أمكنه أو لعياله يوسط بين السعة والضيق ولا يطعم غنيا منه إلا إن لم يجد غيره لكونه في نحو برية , ولو عرف من حال فقير أنه لو عرفه تورع عنه أخره إلى أن يجوع وأخبره بالحال ولا يكتفي بكونه لا يدري الحال , وليس له كراء مركوب ولا شراؤه وإن كان مسافرا انتهى . فإن أعسر به قال الماوردي : انتظرت ميسرته وصحت توبته . وفي الجواهر : لو مات المستحق واستحقه وارث بعد وارث ففيمن يستحقه في الآخرة أربعة أوجه : الأول : آخر الورثة الكل فيثبت الآخر لكل وارث مدة عمره ونقله الرافعي عن العبادي في الرقم , ورابعها إن طالبه صاحبه به فجحده وحلف فهو له وإلا انتقل إلى ورثته , وادعى القاضي أنه لا خلاف أنه لو حلف عليه يكون للأول . انتهى . والذي رجحه في الروضة هو الأول حيث قال أرجحها , وبه أفتى الحناطي أنه صاحب الحق أولا انتهى . وقال القاضي حسين : إنه الصحيح , وحكى وجها آخر أنه يكون للكل . قال الإسنوي , وترجيح الروضة ليس في الرافعي وإنما حكاه عن الحناطي فقط , وعبارته عنه يرثه الله تعالى بعد موت الكل ويرده إليه في القيامة , ولفظ الروضة لا يعطي هذه الكيفية انتهى : أي ولا ينافيها فيحمل عليها . وقال النسائي : لو استحق الوفاء وارث بعد وارث فإن كان المستحق ادعاه وحلف قال في الكفاية : فالطلب في الآخرة لصاحب الحق بلا خلاف أو لم يحلف فوجوه في الكفاية أصحها ما نسبه الرافعي للحناطي كذلك والثاني للكل والثالث للأخير ولمن فوقه ثواب المنع . قال الرافعي : وإذا دفع لآخر الورثة خرج عن مظلمة الكل إلا فيما سوف وماطل انتهى . وهو من بقية كلام الحناطي خلافا لما توهمه عبارة الرافعي : ولا خلاف أن الوارث لو أبرأ واستوفى سقط الحق , ثم إن كان عصى بالمماطلة تاب عنها , ولو أعسر من عليه الحق نوى الغرم إذا قدر . قال القاضي : ويستغفر الله أيضا فإن مات قبل القدرة فالمرجو من فضل الله تعالى المغفرة , قال في الخادم : وما قاله تفقها لا خلاف فيه كما جزم به الأنصاري شارح إرشاد الإمام حيث قال : لو حال بينه وبين تسليم النفس أو المال مانع كحبس ظالم له وحدوث أمر يصده عن التمكين سقط ذلك عنه وإنما يلزمه العزم على التسليم إن أمكنه قال : وهذا مما لا خلاف فيه انتهى , وخالف في ذلك النووي فقال : ظواهر السنة الصحيحة تقتضي ثبوت المطالبة بالظلامة إذا كان معسرا عاجزا إن عصى بالتزامه انتهى . قال الزركشي : وفيه نظر , وفي الروضة : لو استدان لحاجة مباحة من غير سرف وهو يرجو الوفاء من جهة أو سبب ظاهر واستمر به العجز إلى الموت أو أتلف شيئا خطأ وعجز عن غرامته حتى مات , فالظاهر أن هذا لا يطالب في الآخرة والمرجو من فضل الله تعالى أن يعوض صاحب الحق , وقد أشار إليه الإمام انتهى . وذكر السبكي ما يوافقه , ونقل الزركشي عن الإحياء ما يوافقه أيضا , وعبارته من كان غرضه الرفق وطلب الثواب فله أن يستقرض على حسن الظن بالله تعالى لا اعتمادا على السلاطين والظلمة , فإن رزقه الله من حلال قضاه وإن مات قبل القضاء قضى الله عنه وأرضى غرماءه , ويشترط أن يكون مكشوف الحال عند من يقرضه ولا يغش المقرض ويخدعه بالمواعيد , وأن يكشف عنده ليقدم على إقراضه عن بصيرة , ودين مثل هذا واجب أن يقضى من بيت المال والزكاة . انتهى . وأفهم قول النووي : ولا سرف أن السرف حرام واعتمده الإسنوي وقال تفطن له , قال غيره وهو واضح , ويدل على تحريمه قوله تعالى : { كلوا واشربوا ولا تسرفوا إنه لا يحب المسرفين } وقوله تعالى : { ولا تبذر تبذيرا إن المبذرين كانوا إخوان الشياطين } والتبذير والسرف واحد انتهى . وقد ينافيه قولهم إن صرف المال في الأطعمة والثياب والمراكب النفيسة غير سرف , ويجمع بأن هذا فيما إذا كان يصرف من ماله والأول فيما إذا كان يصرف من اقتراض وليس له جهة ظاهرة يوفي منها . والأصل في توقف التوبة على الخروج من حق الآدمي عند الإمكان قوله صلى الله عليه وسلم : { من كان لأخيه عنده مظلمة في عرض أو مال فليستحله اليوم قبل أن لا يكون دينار ولا درهم فإن كان له عمل يؤخذ منه بقدر مظلمته وإلا أخذ من سيئات صاحبه فحمل عليه } كذا أورده الزركشي عن مسلم . والذي في صحيحه كما مر : { أتدرون من المفلس قالوا : المفلس فينا من لا درهم له ولا متاع , قال : إن المفلس من أمتي من يأتي يوم القيامة بصلاة وصيام وزكاة وقد شتم هذا وقذف هذا وأكل مال هذا وسفك دم هذا وضرب هذا فيعطى هذا من حسناته وهذا من حسناته , فإن فنيت حسناته قبل أن يقضي ما عليه أخذ من خطاياهم فطرحت عليه ثم طرح في النار } رواه الترمذي . ورواه البخاري بلفظ : { من كانت عنده مظلمة لأخيه فليتحلله منها فإنه ليس هناك دينار ولا درهم من قبل أن يؤخذ لأخيه من حسناته فإن لم يكن حسنات أخذ من سيئات أخيه فطرحت عليه } . ورواه الترمذي بمعناه وقال في أوله : { رحم الله عبدا كانت لأخيه مظلمة في عرض أو مال فجاءه فاستحله } . وكأن ابن عبد السلام أخذ من هذه الأحاديث قوله : من مات وعليه دين تعدى بسببه أو بمظلمة أخذ من حسناته بمقدار ما ظلم به فإن فنيت حسناته طرح عليه من سيئات المظلوم ثم ألقي في النار , وإن كان لم يتعد بسببه ولا بمظلمة أحد أخذ من حسناته في الآخرة كما يؤخذ من أمواله في الدنيا حتى لا يبقى له شيء فإن فقدت لم يطرح عليه من سيئات المستحق لأنه غير عاص .
مغني المحتاج ج: 4 ص: 440
تنبيهات الأول لو عبر المصنف بالخروج من ظلامة آدمي بدل الرد لكان أولى ليشمل الرد والإبراء منها وإقباض البدل ثم التلف ويشمل المال والعرض والقصاص فلا بد في القصاص وحد القذف من التمكين أو طلب العفو فإن لم يعلم وجب إعلامه بالقصاص فيقول أنا الذي قتلت أباك ولزمني القصاص فاقتص إن شئت وكذلك حد القذف وأما الغيبة فإن بلغت المغتاب اشترط أن يأتيه ويستحل منه فإن تعذر بموته أو تعسر لغيبته الطويلة استغفر الله تعالى ولا اعتبار بتحليل الورثة وإن لم تبلغه كفى الندم والاستغفار كما قاله الحناطي في فتاويه ويظهر أنها إذا بلغته بعد ذلك أنه لا بد من استحلاله إن أمكن لأن العلة قوما وهو الإيذاء وهل يكفي الاستحلال من الغيبة المجهولة قال في زيادة الروضة فيه وجهان سبقا في كتاب الصلح اه ولكنهما إنما سبقا في كتاب الضمان ولم نرجح منهما شيئا ورجح في الأذكار عدم الاكتفاء والوجهان كالوجهين في الإبراء من المجهول قال الشيخ عماد الدين الحسباني وقد يقال بالمسامحة في ذلك بخلاف الأموال وفي كلام الحليمي وغيره الاقتصار على الجواز وحديث كلام الأذكار في باب الضمان ولكن الفرق بينهما وبين الأموال أظهر والحسد وهو أن يتمنى زوال نعمة ذلك الشخص ويفرح بمصيبته كالغيبة كما نقلاه عن العبادي فيأتي فيه ما مر فيها قال في زيادة الروضة المختار بل الصواب أنه لا يجب إخبار المحسود ولو قيل بكراهته لم يبعد التنبيه الثاني قضية إطلاقه رد الظلامة توقف التوبة في القصاص على تسليم نفسه ولكن الذي نقله في زيادة الروضة عن الإمام تركها إن القاتل إذا ندم صحت توبته في حق الله تعالى قبل أن يسلم نفسه للقصاص وكان تأخر ذلك معصية أخرى تجب التوبة منها ولا يقدح في الأولى التنبيه الثالث كان ينبغي له أن يقول حيث أمكن لئلا يوهم أنها لا تصح ثم تعذر الرد قال الزركشي فينبغي أن يكون قوله إن تعلقت بآدمي أعم مما تمحض حقا له أو لم يتمحض وفيه حق الله تعالى كالزكاة إذا تمكن من إخراجها فلم يفعل وكذا الكفارات قاله البندنيجي والمراد التي يجب إخراجها على الفور وحينئذ فلا يقال إن تقييده بالآدمي يخرج حقوق الله تعالى كالزكاة التنبيه الرابع أن مقتضى كلامه أن المعصية القولية لا يشترط فيها ذلك بل يكفي القول وليس مرادا بل الثلاثة الأول ركن في التوبة لكل معصية قولية كانت أو فعلية وإذا تعلق بالمعصية حد لله تعالى كالزنا وشرب المسكر فإن لم يظهر عليه أحد فله أن يظهره ويقربه ليستوفي منه وله أن يستر على نفسه وهو الأفضل فإن ظهر فقد فات الستر فيأتي الحاكم ويقربه ليستوفي منه التنبيه الخامس أن كلامهم يقتضي أنه لا يكفي في انتفاء المعصية استيفاء الحد بل لا بد معه من التوبة وقد قدمت الكلام على ذلك في أول كتاب الجراح فليراجع التنبيه السادس من مات وله ديون أو مظالم ولم تتصل إلى الورثة طالب بها في الآخرة لا آخر وارث كما قيل وإن دفعها إلى الوارث أو أبرأه كما قاله القاضي خرج عن المطل التنبيه السابع تجب التوبة من المعصية ولو صغيرة على الفور بالاتفاق وتصح من ذنب دون ذنب وإن تكررت وتكرر العود لا تبطل به بل هو مطالب بالذنب الثاني دون الأول ولا يجب عليه تجديد التوبة كلما ذكر الذنب كما رجحه ابن المقري التنبيه الثامن أن من شروط التوبة زيادة على ما مر كونها لله تعالى فلو تاب عن معصية مالية لفقره أو شحه أو نحو ذلك لم تصح توبته وكونها قبل وصوله إلى الغرغرة أو الاضطرار بظهور الآيات كطلوع الشمس من مغربها قاله البلقيني التنبيه التاسع أن سقوط الذنب بالتوبة مظنون لا مقطوع به وسقوط الكفر بالإسلام مع الندم مقطوع به وتائب بالإجماع قال في أصل الروضة وليس إسلام الكافر توبة من كفره وإن توبته ندمه على كفره ولا يتصور إيمانه بلا ندم فيجب مقارنة الإيمان للندم على الكفر اه وإنما كان توبة الكافر مقطوعا بها لأن الإيمان لا يجامع الكفر والمعصية قد تجامع التوبة
المسودة ج: 1 ص: 79
والتحقيق أن هذه الافعال يتعلق بها حق الله وحق الآدمى فأما حق الله فيزول بمجرد الندم وأما حقوق العباد فلا تسقط الا بعد أدائها إليهم وعجزه عن ايفائها حين التوبة لا يسقطها بل له أن يأخذ من حسنات هذا الظالم فى الآخرة الى حين زوال الظلم وأثره كما له أن يضمنه ذلك فى الدنيا اذ لو كان عليه ديون من ظلم عجز عن وفائها أو قتل نفوسا لم يستحل أربابها ولا يعرفهم وكلام ابن عقيل يقتضى ذلك فانه شبهه بمن تاب من قتل أو اتلاف أموال محترمة مع بقاء أثر ذلك القتل والاتلاف لكنه ادعى أن توبته فى هذه المواضع تمحو جميع ذلك وهذا لاطلاق ان لم يقيد والا فليس بجيد ثم ذكر أن الاثم واللائمة والمعتبة ينعقد عنه من جهة الله وجهة المالك ولا يبقى الا حق الضمان للمالك قلت هذا ليس بصحيح بدليل أن الجارح لو تاب بعد الجرح لم يسقط عنه القود وكذلك الذى أوقع نفسه على نيام فمات أحدهم بمكثه عليه فانه يجب عليه القود ولو كان كالمخطىء لم يجب عليه الا الدية وكذلك التائب بعد وجوب القود لا يسقط عنه ولو كان مخطئا من الابتداء لما وجب عليه الا الدية فقد فرقت الشريعة بين من كان معذورا فى ابتداء الفعل وبين التائب فى أثناء الفعل وأثره فهذا القول الثالث هو الوسط لمن يتأمل وهكذا هو القول فيمن أضل غيره معتقدا أنه مضل وأما من كان لا يرى أنه مضل فهو كالكافر اذا قتل مسلما أو دعا الى الكفر ثم تاب فان جميع معاصيه اندرجت فى ضمن اعتقاده وأظن هذا قول الجوينى
فتاوى ابن الصلاح ج: 1 ص: 190
38 مسألة رجل اغتاب رجلا مسلما وجاء إليه وقال اغتبتك رجاء عنك كذا وكذا اجعلني في حل فما فعل بجعله في حل هل هو مخطىء بكونه لم يجعله في حل وهذا الذي اغتابه بقي عليه تبعة أم لا وهل يجوز للانسان أن يسبح بسبحة خيطها حرير والخيط تخين وهل يجوز مهزوءا للفقراء على أوجه الإنكسار أم لا أجاب رضي الله عنه ليس عليه أن يجعله في حل ولكن حرم
فتاوى ابن الصلاح ج: 1 ص: 191
نفسه فائدة العفو ومثوبة إسعاف السائل والتبعة باقية على المغتاب وينبغي أن يكثر من أن يقول اللهم اغفر لي ولمن اغتبته ولمن ظلمته وقد روي في حديث لا أعلمه يقوي إسناده كفارة الغيبة إن تستغفر لمن أغتبته وإن لم يثبت فله أصل ولا يحرم ما ذكره في السبحة المذكورة والأولى إبداله بخيط آخر يكفونها جائزة إن سلمت من التذلل في السؤال أو من الإلحاح في السؤال ومن أن المسؤل وكان المسؤل له فمن يحل له السؤال لعجزه عن الكسب ولا مال له فإذا كان سؤاله سليما عن الخلل ومن يسأل له أهل يحل له المسألة فذلك حسن والله أعلم
حاشية البجيرمي ج: 1 ص: 447
قوله بتوبة ومحل توقف التوبة على رد المظالم حيث قدر عليه وإلا كفاه العزم على ردها ومحله أيضا حيث عرف المظلوم وإلا فيتصدق بما ظلم به عن المظلوم كذا قيل والأقرب أن يقال هو مال ضائع يرده على بيت المال فلعل من قال يتصدق به مراده حيث غلب على ظنه أن بيت المال لا يصرف ما يأخذه على مستحقيه ثم لو كان الظالم مستحقا في بيت المال فهل يجوز له الاستقلال به والتصرف فيه لكونه من المستحقين أو لا لاتحاد القابض والمقبض والأقرب الأول ومحل التوقف على الاستحلال أيضا حيث لم يترتب عليه ضرر فمن زنى بامرأة ولم يبلغ الإمام فلا ينبغي أن يطلب من زوجها وأهلها الاستحلال لما فيه من هتك عرضهم فيكفي الندم والعزم على أن لا يعود وسيأتي لهذا الكلام بسط في كتاب الشهادات ع ش على م ر قال حج في حاشية الإيضاح ظاهر كلامهم توقف التوبة على تمام حفظ ما نسيه من القرآن وتمام قضاء الفوائت وإن الغرماء حيث قال وخروج من المظالم بردها أو برد بدلها إن تلفت لمستحقها ما لم يبرئه منها ومنها قضاء نحو صلاة وإن الغرماء ويجب عليه صرف سائر زمنه لذلك ما عدا الوقت الذي يحتاج لصرف ما عليه نفسه وعياله وكذا يقال في نسيان القرآن أو بعضه بعد بلوغه ا هـ أقول وهو واضح إن قدر على قضائها في زمن يسير أما لو كانت عليه فوائت كثيرة جدا وكان يستغرق قضاؤها زمنا طويلا فيكفي في صحة توبته عزمه على قضائها مع الشروع فيه وكذا يقال بمثله في حفظ القرآن حتى لو مات زمن القضاء لم يمت عاصيا لأنه فعل ما في مقدوره أخذا من قول م ر وخروج من مظلمة قدر عليها أما إذا لم يقدر عليها فيكفي العزم كما تقدم ع ش قوله بأن يبادر تفسير للاستعداد للموت بتوبة
اسعاد الرفيق الجزء الثاني ص :145 الهدايه
فإن كان الحق نحو ضرب لاقود فيه تحلل من المضروب وطيب نفسه فإن أمكنه وإلا أمكنه من نفسه ليفعل به مثل فعله لأنه الذي في وسعه فإن امتنع من تحليله والاستيفاء صحت توبته
اسعاد الرفيق الجزء الثاني ص : 144 الهدايه
قال السيوطي ولو لم يرض صاحب الحق في نحو الغيبة الاببذل المال كان للتائب بذله سعيا لخلاص ذمته والغبطة في ذلك له ومحل التوقف على الاسترضاء والاستبراء مالم يخش زيادة غيظ أو تحريك فتنة والا بأن خاف ضررا على نفسه أوغيره فليرغب الى الله أن يرضيه عنه ويكثر الاستغفار له.
Pertanyaan :
Bolehkah Topan mensyaratkan akan memaafkan asalkan Zakki memberikan konpensasi berupa sejumlah uang (material) ? Dan wajibkah Zakki memenuhi permintaan Topan ?
Jawab :
Boleh, Dan bagi Zakki kalau memang hal itu adalah alternatif terakhir untuk bisa terbebas dari beban haq al-Adami, maka hukumnya wajib bagi Zakki untuk memenuhinya .
Ibarot:
÷ احياء علوم الدين الجزء الرابع ص : 34 دار الكتب العلمية
÷ وأما الذكر والتعريف فهو سيئة جديدة يجب الاستحلال منها ومهما ذكر جنايته وعرفه المجني عليه فلم يسمح نفسه بالاستحلال بقيت المظلمة عليه فإن هذا حقه فعليه أن يتلطف به ويسعي في مهملته واغراضه ويظهر من حبه والشفقة عليه ما يستميل به قلبه فإن الإنسان عبد الإحسان وكل من نفر بسيئة مال بحسنة فإذا طاب قلبه بكثرة تودده وتلطفه سمحت نفسه بالإحلال فإن أبى إلاالإصرار فيكون تلطفه به واعتذاره إليه من جملة حسناته وليكن قدر سعيه في فرحه و سرور قلبه بتودده وتلطفه كقدر سعيه في أذاه حيى إذا قاوم أحدهما الأخر أو زاد عليه أخذ ذلك منه عوضا في القيامة بحكم الله به عليه كمن أتلف مالا فجاء بمثله فامتنع من له المال من القبول وعن الإبراء فإن الحاكم يحكم عليه بالقبض منه شاء أم أبى فكذلك يحكم في صعيد القيامة احكم الحاكمين واعدل المقسطين.
÷ وأما الذكر والتعريف فهو سيئة جديدة يجب الاستحلال منها ومهما ذكر جنايته وعرفه المجني عليه فلم يسمح نفسه بالاستحلال بقيت المظلمة عليه فإن هذا حقه فعليه أن يتلطف به ويسعي في مهملته واغراضه ويظهر من حبه والشفقة عليه ما يستميل به قلبه فإن الإنسان عبد الإحسان وكل من نفر بسيئة مال بحسنة فإذا طاب قلبه بكثرة تودده وتلطفه سمحت نفسه بالإحلال فإن أبى إلاالإصرار فيكون تلطفه به واعتذاره إليه من جملة حسناته وليكن قدر سعيه في فرحه و سرور قلبه بتودده وتلطفه كقدر سعيه في أذاه حيى إذا قاوم أحدهما الأخر أو زاد عليه أخذ ذلك منه عوضا في القيامة بحكم الله به عليه كمن أتلف مالا فجاء بمثله فامتنع من له المال من القبول وعن الإبراء فإن الحاكم يحكم عليه بالقبض منه شاء أم أبى فكذلك يحكم في صعيد القيامة احكم الحاكمين واعدل المقسطين.
اسعاد الرفيق الجزء الثاني ص : 144 الهدايه
قال السيوطي ولو لم يرض صاحب الحق في نحو الغيبة الاببذل المال كان للتائب بذله سعيا لخلاص ذمته والغبطة في ذلك له ومحل التوقف على الاسترضاء والاستبراء مالم يخش زيادة غيظ أو تحريك فتنة والا بأن خاف ضررا على نفسه أوغيره فليرغب الى الله أن يرضيه عنه ويكثر الاستغفار له.
Rabu, 14 November 2012
Rabu, 07 November 2012
Arti atau pengertian dari Tanda muka bekas Sujud
عَنْ مَنْصُورٍ قَالَ قُلْتُ لِمُجَاهِدٍ (سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ) أَهُوَ أَثَرُ السُّجُودِ فِى وَجْهِ الإِنْسَانِ؟ فَقَالَ : لاَ إِنَّ أَحَدَهُمْ يَكُونُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ مِثْلُ رُكْبَةِ الْعَنْزِ وَهُوَ كَمَا شَاءَ اللَّهُ يَعْنِى مِنَ الشَّرِّ وَلَكِنَّهُ الْخُشُوعُ.
“Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah?
Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapalan’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702).
from: Mbah Lalar
Selasa, 06 November 2012
Pluralisme dan Khilafah
"Pluralisme" begitu menjijikkan para pengusung Khilafah ketika mendengarnya. Betapa dalam benaknya mereka telah mencampakkan keimanan dan nilai nilai agama.
"Khilafah" betapa bencinya orang orang plural ketika mendengarnya. Seketika itu terbayang sederetan peristiwa komudity agama yang mencecerkan darah atas nama agama.
Bagaimana mungkin Khilafah akan berdiri, jika sejak awal kalian telah menam
pakkan ambisi untuk menjadi pemimpin dunia? Tentu saja para penguasa dg sistemnya masing2 akan berjuang untuk menenggelamkan ide itu demi imperium yg telah ia bangun.
Bagaimana mungkin plaralisme bisa membenci Khilafah, jika tujuan akhir ide itu adalah melindungi kaum minoritas dan tertindas?
Pluralisme tanpa Khilafah sama dg berjalan tanpa ujung, Khilafah tanpa Pluralisme bagaikan pedang tak bersarung.
"Khilafah" betapa bencinya orang orang plural ketika mendengarnya. Seketika itu terbayang sederetan peristiwa komudity agama yang mencecerkan darah atas nama agama.
Bagaimana mungkin Khilafah akan berdiri, jika sejak awal kalian telah menam
pakkan ambisi untuk menjadi pemimpin dunia? Tentu saja para penguasa dg sistemnya masing2 akan berjuang untuk menenggelamkan ide itu demi imperium yg telah ia bangun.
Bagaimana mungkin plaralisme bisa membenci Khilafah, jika tujuan akhir ide itu adalah melindungi kaum minoritas dan tertindas?
Pluralisme tanpa Khilafah sama dg berjalan tanpa ujung, Khilafah tanpa Pluralisme bagaikan pedang tak bersarung.
quote dari Mbah Lalar
Rabu, 31 Oktober 2012
Hukum Khitan dalam Islam
Faedah khitan: Seperti yang diungkapkan para ahli kedokteran bahwa khitan mempunyai faedah bagi kesehatan karena membuang anggota tubuh yang yang menjadi tempat persembunyian kotoran, virus, najis dan bau yang tidak sedap. Air kencing mengandung semua unsur tersebut. Ketika keluar melewati kulit yang menutupi alat kelamin, maka endapan kotoran sebagian tertahan oleh kulit tersebut. Semakin lama endapan tersebut semakin banyak. Bisa dibayangkan berapa lama seseorang melakukan kencing dalam sehari dan berapa banyak endapan yang disimpan oleh kulit penutup kelamin dalam setahun. Oleh karenanya beberapa penelitian medis membuktikan bahwa penderita penyakit kelamin lebih banyak dari kelangan yang tidak dikhitan. Begitu juga penderita penyakit berbahaya aids, kanker alat kelamin dan bahkan kanker rahim juga lebih banyak diderita oleh pasangan yang tidak dikhitan. Ini juga yang menjadi salah satu alasan non muslim di Eropa dan AS melakukan khitan.
Dalam fikih Islam, hukum khitan dibedakan antara untuk lelaki dan perempuan. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum khitan baik untuk lelaki maupun perempuan.
Hukum khitan untuk lelaki:
Menurut jumhur (mayoritas ulama), hukum khitan bagi lelaki adalah wajib. Para pendukung pendapat ini adalah imam Syafi'i, Ahmad, dan sebagian pengikut imam Malik. Imam Hanafi mengatakan khitan wajib tetapi tidak fardlu.
Menurut riwayat populer dari imam Malik beliau mengatakan khitan hukumnya sunnah. Begitu juga riwayat dari imam Hanafi dan Hasan al-Basri mengatakan sunnah. Namun bagi imam Malik, sunnah kalau ditinggalkan berdosa, karena menurut madzhab Maliki sunnah adalah antara fadlu dan nadb. Ibnu abi Musa dari ulama Hanbali juga mengatakan sunnah muakkadah.
Ibnu Qudamah dalam kitabnya Mughni mengatakan bahwa khitan bagi lelaki hukumnya wajib dan kemuliaan bagi perempuan, andaikan seorang lelaki dewasa masuk Islam dan takut khitan maka tidak wajib baginya, sama dengan kewajiban wudlu dan mandi bisa gugur kalau ditakutkan membahayakan jiwa, maka khitan pun demikian.
Dalil yang Yang dijadikan landasan bahwa khitan tidak wajib.
1. Salman al-Farisi ketika masuk Islam tidak disuruh khitan;
2. Hadist di atas menyebutkan khitan dalan rentetan amalan sunnah seperti mencukur buku ketiak dan memndekkan kuku, maka secara logis khitan juga sunnah.
3. Hadist Ayaddad bib Aus, Rasulullah s.a.w bersabda:"Khitan itu sunnah bagi lelaki dan diutamakan bagi perempuan. Namun kata sunnah dalam hadist sering diungkapkan untuk tradisi dan kebiasaan Rasulullah baik yang wajib maupun bukan dan khitan di sini termasuk yang wajib.
Adapun dalil-dalil yang dijadikan landasan para ulama yang mengatakan khitab wajib adalah sbb.:
1. Dari Abu Hurairah Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa nabi Ibrahim melaksanakan khitan ketika berumur 80 tahun, beliau khitan dengan menggunakan kapak. (H.R. Bukhari). Nabi Ibrahim melaksanakannya ketika diperintahkan untuk khitan padahal beliau sudah berumur 80 tahun. Ini menunjukkan betapa kuatnya perintah khitan.
2. Kulit yang di depan alat kelamin terkena najis ketika kencing, kalau tidak dikhitan maka sama dengan orang yang menyentuh najis di badannya sehingga sholatnya tidak sah. Sholat adalah ibadah wajib, segala sesuatu yang menjadi prasyarat sholat hukumnya wajib.
3. Hadist riwayat Abu Dawud dan Ahmad, Rasulullah s.a.w. berkata kepada Kulaib: "Buanglah rambut kekafiran dan berkhitanlah". Perintah Rasulullah s.a.w. menunjukkan kewajiban.
4. Diperbolehkan membuka aurat pada saat khitan, padahal membuka aurat sesuatu yang dilarang. Ini menujukkan bahwa khitab wajib, karena tidak diperbolehkan sesuatu yang dilarang kecuali untuk sesuatu yang sangat kuat hukumnya.
5. Memotong anggota tubuh yang tidak bisa tumbuh kembali dan disertai rasa sakit tidak mungkin kecuali karena perkara wajib, seperti hukum potong tangan bagi pencuri.
6. Khitan merupakan tradisi mat Islam sejak zaman Rasulullah s.a.w. sampai zaman sekarang dan tidak ada yang meninggalkannya, maka tidak ada alasan yang mengatakan itu tidak wajib.
Khitan untuk perempuan
Hukum khitan bagi perempuan telah menjadi perbincangan para ulama. Sebagian mengatakan itu sunnah dan sebagian mengatakan itu suatu keutamaan saja dan tidak ada yang mengatakan wajib.
Perbedaan pendapat para ulama seputar hukum khitan bagi perempuan tersebut disebabkan riwayat hadist seputar khitan perempuan yang masih dipermasalahkan kekuatannya.
Tidak ada hadist sahih yang menjelaskan hukum khitan perempuan. Ibnu Mundzir mengatakan bahwa tidak ada hadist yang bisa dijadikan rujukan dalam masalah khitan perempuan dan tidak ada sunnah yang bisa dijadikan landasan. Semua hadist yang meriwayatkan khitan perempuan mempunyai sanad dlaif atau lemah.
Hadist paling populer tentang khitan perempuan adalah hadist Ummi 'Atiyah r.a., Rasulllah bersabda kepadanya:"Wahai Umi Atiyah, berkhitanlah dan jangan berlebihan, sesungguhnya khitan lebih baik bagi perempuan dan lebih menyenangkan bagi suaminya". Hadist ini diriwayatkan oleh Baihaqi, Hakim dari Dhahhak bin Qais. Abu Dawud juga meriwayatkan hadist serupa namun semua riwayatnya dlaif dan tidak ada yang kuat. Abu Dawud sendiri konon meriwayatkan hadist ini untuk menunjukkan kedlaifannya. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Talkhisul Khabir.
Mengingat tidak ada hadist yang kuat tentang khitan perempuan ini, Ibnu Hajar meriwayatkan bahwa sebagian ulama Syafi'iyah dan riwayat dari imam Ahmad mengatakan bahwa tidak ada anjuran khitan bagi perempuan.
Sebagian ulama mengatakan bahwa perempuan Timur (kawasan semenanjung Arab) dianjurkan khitan, sedangkan perempuan Barat dari kawasan Afrika tidak diwajibkan khitan karena tidak mempunyai kulit yang perlu dipotong yang sering mengganggu atau menyebabkan kekurang nyamanan perempuan itu sendiri.
Apa yang dipotong dari perempuan
Imam Mawardi mengatakan bahwa khitan pada perempuan yang dipotong adalah kulit yang berada di atas vagina perempuan yang berbentuk mirip cengger ayam. Yang dianjurkan adalah memotong sebagian kulit tersebut bukan menghilangkannya secara keseluruhan. Imam Nawawi juga menjelaskan hal yang sama bahwa khitan pada perempuan adalah memotong bagian bawah kulit lebih yang ada di atas vagina perempuan.
Namun pada penerapannya banyak kesalahan dilakukan oleh umat Islam dalam melaksanakan khitan perempuan, yaitu dengan berlebih-lebihan dalam memotong bagian alat vital perempuan. Seperti yang dikutib Dr. Muhammad bin Lutfi Al-Sabbag dalam bukunya tentang khitan bahwa kesalahan fatal dalam melaksanakan khitan perempuan banyak terjadi di masyarakat muslim Sudan dan Indonesia. Kesalahan tersebut berupa pemotongan tidak hanya kulit bagian atas alat vital perempuan, tapi juga memotong hingga semua daging yang menonjol pada alat vital perempuan, termasuk clitoris sehingga yang tersisa hanya saluran air kencing dan saluran rahim. Khitan model ini di masyarakat Arab dikenal dengan sebutan "Khitan Fir'aun". Beberapa kajian medis membuktikan bahwa khitan seperti ini bisa menimbulkan dampak negatif bagi perempuan baik secara kesehatan maupun psikologis, seperti menyebabkan perempuan tidak stabil dan mengurangi gairah seksualnya. Bahkan sebagian ahli medis menyatakan bahwa khitan model ini juga bisa menyebabkan berbagai pernyakit kelamin pada perempuan.
Seandainya hadist tentang khitan perempuan di atas sahih, maka di situ pun Rasulullah s.a.w. melarang berlebih-lebihan dalam menghitan anak perempuan. Larangan dari Rasulullah s.a.w. secara hukum bisa mengindikasikan keharaman tindakan tersebut. Apalagi bila terbukti bahwa berlebihan atau kesalahan dalam melaksanakan khitan perempuan bisa menimbulkan dampak negatif, maka bisa dipastikan keharaman tindakan tersebut.
Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas beberapa kalangan ulama kontemporer menyatakan bahwa apabila tidak bisa terjamin pelaksanaan khitan perempuan secara benar, terutama bila itu dilakukan terhadap anak perempuan yang masih bayi, yang pada umumnya sulit untuk bisa melaksanakan khitan perempuan dengan tidak berlebihan, maka sebaiknya tidak melakukan khitan perempuan. Toh tidak ada hadist sahih yang melandasinya.
Waktu khitan
Waktu wajib khitan adalah pada saat balig, karena pada saat itulah wajib melaksanakan sholat. Tanpa khitan, sholat tidak sempurna sebab suci yang yang merupakan syarat sah sholat tidak bisa terpenuhi.
Adapun waktu sunnah adalah sebelum balig. Sedangkan waktu ikhtiar (pilihan yang baik untuk dilaksanakan) adalah hari ketujuh seytelah lahir, atau 40 hari setelah kelahiran, atau juga dianjurkan pada umur 7 tahun. Qadli Husain mengatakan sebaiknya melakuan khitan pada umur 10 tahun karena pada saat itu anak mulai diperintahkan sholat. Ibnu Mundzir mengatakan bahwa khitan pada umut 7 hari hukumnya makruh karena itu tradisi Yahudi, namun ada riwayat bahwa Rasulullah s.a.w. menghitan Hasan dan Husain, cucu beliau pada umur 7 hari, begitu juga konon nabi Ibrahim mengkhitan putera beliau Ishaq pada umur 7 hari.
Walimah artinya perayaan. Ibnu Hajar menukil pendapat Imam Nawawi dan Qadli Iyad bahwa walimah dalam tradisi Arab ada delapan jenis, yaitu : 1) Walimatul Urush untuk pernikahan; 2) Walimatul I'dzar untuk merayakan khitan; 3) Aqiqah untuk merayakan kelahiran anak; 4). Walimah Khurs untuk merayakan keselamatan perempuan dari talak, konon juga digunakan untuk sebutan makanan yang diberikan saat kelahiran bayi; 5) Walimah Naqi'ah untuk merayakan kadatangan seseorang dari bepergian jauh, tapi yang menyediakan orang yang bepergian. Kalau yang menyediakan orang yang di rumah disebut walimah tuhfah; 6) Walimah Wakiirah untuk merayakan rumah baru; 7) Walimah Wadlimah untuk merayakan keselamatan dari bencana; dan 8) Walimah Ma'dabah yaitu perayaan yang dilakukan tanpa sebab sekedar untuk menjamu sanak saudara dan handai taulan.
Imam Ahmad meriwayatkan hadist dari Utsman bin Abi Ash bahwa walimah khitan termasuk yang tidak dianjurkan. Namun demikian secara eksplisit imam Nawawi menegaskan bahwa walimah khitan boleh dilaksanakan dan hukumnya sunnah memenuhi undangan seperti undangan lainnya.
Langganan:
Postingan (Atom)