Multikulturalisme kadangkala dimaknai dalam konteks filosofis dan juga ideologis. Multikulturalisme adalah sebuah paham yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern.[ Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur (Jogjakarta: LkiS, 2005), hlm. 68-69 ] Dengan kata lain, multikulturalisme dapat dirujukkan pada makna ideologis tentang kesejajaran ras, kultur dan etnis yang berbeda-beda. Dengan demikian ia meniscayakan sebuah kesetaraan atau kesejajaran antar agama yang dipegangi oleh berbagai ras maupun etnis.
Dengan makna ideologis ini setiap komponen sosial dalam masyarakat secara sadar harus mengakui tidak hanya keberadaan kultur, ras, agama, atau etnis yang ada, lebih dari itu, ia menuntut setiap komponen sosial tersebut untuk menempatkan sejajar berbagai kultur, etnis, ras, agama ataupun keyakinan serta nilai yang ada di masyarakatnya. Sebagai konsekuensinya, semua kelompok kultur, etnis, agama harus mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dalam hiruk pikuk kehidupan sosial. Oleh karena itu multikulturalisme menolak dengan tegas segala bentuk diskriminasi dengan berbagai latar belakangnya. Semua komponen sosial memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mengaktualisasikan diri dan berperan di atmosfer sosial yang terbangun atas keberagaman itu.
Selain itu, tidak boleh ada klaim bahwa kelompok kultur tertentu lebih unggul dan dengan demikian lebih berhak untuk menjadi yang dominan. Tidak ada etnis yang lebih unggul dari etnis yang lain. Termasuk juga tidak ada truth claim dalam konteks hubungan antar pemeluk agama. Karena truth claim itu bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung tigggi dalam multikulturalisme.
Meskipun secara konseptual multikulturalisme tidak terlahir dari benak dan pikiran para Founding Fathers negara-bangsa ini, bukan berarti nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam ideologi multikulturalisme tersebut tidak dikenal oleh mereka. Bukan berarti nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi multikultralisme itu sebagai sesuatu yang tidak indigenius dan oleh karena itu asing bagi bangsa ini.
Falsafah Bhineka Tunggal Ika (Unity in Diversity), yang secara simbolik selalu dibawa oleh Burung Garuda lambang negara Indonesia, menunjukkan bahwa bangsa ini telah sejak lama mengenal dan memahami bahkan menjadikan multikulturalisme itu sebagai falsafah hidup dalam membangun kebersamaan dalam berbagai keragaman. Secara konstitusional multikultralisme itu kemudian ditetapkan sebagai ”jalan hidup” yang harus dipegang teguh oleh negara ini. Hal itu dapat dirunut secara historis, bagaimana UUD 1945 yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 mengakomodasi berbagai keragaman dari anak bangsa ini.[ Nugroho Notosusanto, 1983. Sejarah Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hlm 102. ] Terkhusus lagi menyangkut kehidupan beragama.
Sehari setelah Ir. Sukarno memproklamirkan kemerdekaan melalui UUD 1945 itu, bangsa ini menyatakan keteguhan hatinya bahwa negara yang baru saja diresmikan itu berdasar pada Pancasila. Sebagaimana diketahui bahwa sila pertama dari Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara pada pasal 29 dijelaskan bahwa negara ini akan menjamin kebebasan beragama dan beribadah bagi para pemeluknya. Ketetapan mendasar yang telah dibuat oleh bangsa ini merupakan jaminan akan kebebasan beragama yang dijamin oleh negara. Ketetapan itu juga menyiratkan tidak diperbolehkannya diskriminasi oleh pihak manapun atas nama apapun juga.