Jumat, 17 Februari 2012

Hamdar Arraiyyah: Meneropong Fenomena Kemiskinan: Telaah Perspektif Al-Qur'an


Penulis buku: Dr. M. Hamdar Arraiyyah, MA.; Judul buku: Meneropong Fenomena Kemiskinan: Telaah Perspektif Al-Qur'an; Editor: M. Adib Abdushomad, M.Ag.; Desain cover: A. Choiran Marzuki; Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta; Cetakan Pertama: Juni 2007; Jumlah halaman: x + 150; Ukuran buku: 14x20 cm.

Buku ini secara umum mengkaji tentang fenomena kemiskinan yang dibedah menggunakan perspektif penafsiran al-Quran. Penulis menyebutkan pembahasan tentang kemiskinan berkisar pada dua hal utama, yaitu faktor-faktor penyebab timbulnya kemiskinan dan cara-cara yang dapat ditempuh untuk menanggulanginya, dengan memerhatikan faktor-faktor pendukung dan penghambat ke arah itu. Dua hal itu menjadi penting sebab kemiskinan sebagai masalah yang dihadapi manusia perlu ditanggulangi.
Suatu studi yang bersifat khusus tentang kemiskinan mengemukakan bahwa karakteristik utama dan penyebab utama kemiskinan pada wilayah miskin mencakup: (a) sumber daya alam; (b) teknologi dan unsur pendukungnya; (c) sumber daya manusia; dan (d) sarana dan prasarana termasuk kelembagaan. Adapun sasaran langkah-langkah penanggulangan kemiskinan adalah bagaimana meningkatkan kapasitas dari sumber-sumber penggeraknya melalui peningkatan mutu sumber daya, perbaikan teknologi, maupun efektivitas koordinasi dari faktor-faktor tersebut melalui penyempurnaan organisasi social ekonomi di masing-masing wilayah.
Sistematika penulisan  buku ini dibagi menjadi lima bab. Bab pertama dikemukakan beberapa hal penting berkenaan dengan kajian ini. Di antaranya adalah pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang lahirnya masalah. Uraian-uraian berikutnya menjelaskan ruang lingkup pembahasan, kedudukan pembahasan ini terhadap telaah sejenis yang telah ada, dan metodologi yang diterapkan untuk memberikan jawaban terhadap masalah yang dirumuskan.
Bab kedua mengemukakan analisis tentang kemiskinan dan sebab-sebab terjadinya kemiskinan. Bab ini menjelaskan pengertian yang terdapat pada berbagai term yang digunakan di dalam al-Qur 'an. Dengan demikian, dapat diungkapkan hakikat dan jenis-jenis kemiskinan yang dikehendakinya. Selanjutnya, dikemukakan beberapa sebab terjadinya ke­miskinan yang ditonjolkan al-Qur'an. Kemudian bab ketiga membahas kemiskinan sebagai sunatullah dan kedudukan orang miskin. Dalam hal ini, kaya dan miskin akan dibahas sebagai salah satu pasangan keadaan yang telah diciptakan Tuhan dalam kehidupan manusia. Selanjut­nya, kedudukan orang miskin dibahas dalam kedudukan-nya sebagai hamba Allah dan sebagai salah satu golongan di dalam masyarakat.
Pada bab keempat menguraikan tuntunan al-Qur'an dalam menanggulangi kemiskinan. Dalam hal ini, akan dibahas tuntunan yang sifatnya wajib dan tuntunan yang sifatnya anjuran. Di samping itu, akan dibahas hak-hak khusus bagi penyandang kemiskinan, baik dari negara maupun dari sesama warga masyarakat yang taraf hidupnya lebih baik.
Kemudian bab terakhir adalah penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran yang dianggap perlu, baik untuk kegunaan teoretis maupun kegunaan praktis.
Dalam buku ini, tentang term-term ke­miskinan, penulis mencoba menerangkan bahwa al-Qur'an mengemukakan tiga jenis kemiskinan, yaitu: (a) kemiskinan materi; (b) kemiskinan jiwa (rohani); dan (c) kemiskinan dalam arti khusus, yakni kebutuhan manusia terhadap penciptanya. Jenis kemiskinan itu disebutkan secara tersendiri dan adakalanya disebutkan dalam kaitan antara satu dengan lainnya. (hlm. 44)
Di antara ketiga jenis kemiskinan itu, maka yang sering dikemukakan adalah kemiskinan materi. Yang dimaksud dalam hal ini adalah perihal miskin, yakni keadaan manusia yang berada pada taraf membutuhkan, tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga perlu dibantu oleh orang lain. Kebutuhan manusia akan pangan merupakan salah satu kebutuhan jasmani yang bersifat pokok. Artinya, untuk menjaga kelangsungan hidup manusia, kebutuhan akan pangan harus dipenuhi. Jika diabaikan, manusia akan mengalami kesusahan, dan bahkan mungkin mengalami kematian. Kebutuhan tersebut sudah merupakan kodrat hidup manusia. (hlm. 45)
Jenis kemiskinan yang kedua adalah kemiskinan jiwa/rohani. Yang dimaksudkan dengannya adalah sifat jiwa yang buruk dan tercermin dalam bentuk sikap negatif, seperti rendah diri atau kehinaan, kehilangan gairah atau pesimis, dan perasaan tidak puas dengan apa yang di-perolehnya. Jenis kemiskinan ini erat kaitannya dengan apa yang dinamakan kemiskinan moral. (hlm. 51)
Kemiskinan jiwa agaknya mencakup pula apa yang diistilahkan dengan kemiskinan relatif. Kemiskinan relatif lebih mengacu pada pertimbangan psikologi masyarakat, yakni ketidaksamaan perolehan yang didapat oleh masing-masing individu. Seseorang yang mendapat lebih sedikit akan merasa miskin bila membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki lebih banyak. Kemiskinan relatif senantiasa ada, termasuk di negara-negara yang sudah maju. Kemiskinan relatif ini lahir dari interaksi antar-individu dalam kehidupan sosial. 
Jenis kemiskinan ketiga yang ditunjuk dalam al-Qur'an adalah kemiskinan dalam arti khusus yakni kebutuhan manusia terhadap Penciptanya. Pandangan ini terkait dengan dimensi spiritual yang ada pada diri manusia. Akan tetapi, tidak semua orang menyadari atau menunjukkan kepedulian terhadap hal ini.
137 Penutup (point A. Kesimpulan, numbering 1-9) Saran-saran gak usah ditulis
Setidaknya, ada 10 kosakata tentang kemiskinan yang dapat dijumpai di dalam al-Qur'an. Kosakata yang dimaksud adalah: (a) al-maskanat, (b) al-faqr, (c) al-'ailat, (d) al-ba'sa, (e) al-imlaq, (f) al-sail, (g) al-mahrum, (h) al-qani, (i) al-mu'tarr dan (j) al-dha'if dan al-mustadh'af. Pemakaian setiap kosakata itu mencerminkan segi tertentu dari kemiskinan atau penyandang kemiskinan. Segi-segi yang dimaksud, antara lain: jenis kemiskinan, keadaan orang miskin, sifat manusia dalam menghadapi ke­miskinan, dan akibat yang dapat ditimbulkan oleh ke­miskinan. Meskipun demikian, segi-segi yang ditunjuk itu terkait satu dengan yang lain.
Pengertian kemiskinan yang ditunjuk oleh berbagai kosakata ataupun term itu pada dasarnya dapat dilihat dari dua segi, yaitu kemiskinan materi dan kemiskinan rohani atau jiwa. Pengertian pertama menunjuk kepada keadaan yang dialami oleh manusia yang tidak mem-punyai harta, tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya yang pokok. Pengertian kedua menunjuk kepada keadaan atau perilaku negatif, seperti kehinaan, sifat-sifat jiwa yang buruk, kehilangan gairah hidup dan ketidakpuasan.
Pada satu sisi, al-Qur'an mengakui adanya peng-golongan manusia atas kaya dan miskin, atau mengakui stratifikasi sosial dari sudut pandangan ekonomi. Pada sisi lain, al-Qur'an menggunakan term miskin (fuqara) dalam arti khusus, yakni ketergantungan. Semua manusia miskin, dalam arti merasakan ketergantungan pada Penciptanya. Manusia, tanpa kecuali, mem-butuhkan rahmat Allah dalam pengertian luas. Hanya Tuhan Yang Maha Kaya, Maha Sempurna dan sejumlah nama atau sifat sempurna lainnya.
Penulis kemudian mencoba menyebutkan sejumlah kosakata tentang kemiskinan, yang paling tinggi frekuensi pemakaiannya adalah kata yang asalnya dari al-maskanat dan al-faqr. Kata-kata yang dimaksud adalah miskin dan masakin, faqir dan fuqara. Kata-kata itu menunjuk kepada orang atau keadaan orang yang dilanda kemiskinan. Ini memberi isyarat bahwa al-Qur'an banyak menyoroti manusia penyandang kemiskinan. Al-Qur'an banyak menyoroti kemiskinan sebagai persoalan manusia atau sifat yang berhubungan dengan diri manusia. Dalam membicarakan kemiskinan, ayat-ayat al-Qur'an banyak menekankan kepada manusia yang lebih baik taraf hidupnya untuk membantu mereka yang miskin dan menanggulangi kesulitan hidup yang dihadapi dan agar mereka itu tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang dapat merendahkan martabatnya. Tuntunan ini sejalan dengan tujuan syariat Islam yang dimaksudkan untuk kesejahteraan manusia lahir dan batin,dunia dan akhirat.
Penulis mencoba menyimpulkan bahwa kaya dan miskin termasuk sunnatullah. Keadaan itu diciptakan Tuhan berdasarkan sebab-sebab tertentu, kaidah-kaidah yang bersifat tetap dan berlaku umum bagi semua manusia, berlaku bagi mereka yang beriman dan tidak beriman. Untuk menjadi kaya, dari segi materi, seorang manusia harus menempuh ketentuan-ketentuan yang digariskan Tuhan atau sunnatullah dalam mencari rezeki. Kaya dan miskin sebagai sunatullah juga mengandung arti bahwa pasangan keadaan itu akan selalu ada dalam kehidupan manusia. Kemiskinan tak dapat dihapuskan dari muka bumi karena ia terkait dengan persoalan manusia yang mempunyai sifat dan watak yang beraneka ragam. Keragaman itu juga ter­masuk sunnatullah. Jadi yang dapat diusahakan ialah mengentaskan masyarakat miskin atau menekan sekecil mungkin penyandang kemiskinan di muka bumi.
Kemudian penulis memberikan kesimpulan lebih lanjut bahwa kemiskinan yang melanda seseorang tidaklah berarti bahwa ia dibenci oleh Tuhan. Sebaliknya, kekayaan yang dianugerahkan kepada seseorang tidak pula ber­arti bahwa ia dikasihi oleh Tuhan. Kekayaan ataupun kemiskinan merupakan ujian Tuhan bagi manusia. Manusia yang sabar dalam menghadapi kesulitan hidup akan dikasihi oleh Tuhan. Demikian pula halnya bagi manusia yang bersyukur tatkala diberi nikmat, ia akan dikasihi oleh Tuhan. Orang kaya maupun orang miskin sama-sama berpeluang untuk mendapatkan rida Allah melalui iman dan amal saleh.
Al-Qur'an memberikan beberapa tuntunan dalam menanggulangi kemiskinan. Tuntunan yang bersifat wajib meliputi zakat, infak wajib yang sifatnya insidental, menolong orang miskin sebagai ganti kewajiban keagamaan, dan menolong orang miskin sebagai sanksi terhadap pelanggaran hukum agama. Tuntunan yang bersifat anjuran meliputi sedekah, infak, ihsan dan qurban. Berbagai bentuk bantuan itu memberi petunjuk bahwa usaha penanggulangan kemiskinan hendaknya dilakukan secara berkelanjutan dengan menempuh berbagai cara. Sumber bantuan itu terutama dari mereka yang mampu, namun demikian mereka yang kurang mampu tetap dilibatkan. Paling tidak, kewajiban membantu bagi mereka yang tidak mampu memberi suatu motivasi untuk membebaskan diri dan orang lain dari kemiskinan. 
Penulis menambahkan atas fenomena kemiskinan bahwa orang-orang miskin mempunyai hak untuk memperoleh bantuan dari sumber-sumber resmi pendapatan negara sebagaimana telah dipraktikkan di zaman Rasul dan al-Khulafa al-Rasyidin. Ini memberi petunjuk bahwa penanggulangan kemiskinan adalah merupakan tanggung jawab bersama antara warga masyarakat dan pemerintah.
[Mustolehuddin, S.Ag.]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar