Kamis, 31 Januari 2013

Daftar Isi

Perspektif Ibnu Khaldun tentang Pendidikan

Biografi Ibnu Khaldun

Nama lengkap Ibnu Khaldun yaitu Abdu al-Rahman ibn Muhamad ibn Muhamad ibn Muhamad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhamad ibn Ibrahim ibn Khalid ibn Utsman ibn Hani ibn Khattab ibn Kuraib ibn Ma`dikarib ibn al-Harits ibn Wail ibn Hujar (Toto Suharto: 2006) atau lebih dikenal dengan sebutan Abdur Rahman Abu Zayd Muhamad ibnu Khaldun. Ia dilahirkan pada 7 Mei 1332 di Tunisia.

Ibnu Khaldun menisbatkan nama dirinya kepada Khalid Ibn utsman karena Khalid adalah nenek moyangnya yang pertama kali memasuki Andalusia bersama para penakluk berkebangsaan Arab lainnya pada abad ke-8 masehi. Ibnu Khaldun adalah seorang yang memiliki prestasi yang gemilang, beliau sangat mahir dalam menyerap segala pelajaran yang diterimanya. Sejak masa kanak-kanak ia sudah terbiasa dengan filsafat, ilmu alam, seni dan kesusastraan yang dengan mudahnya ia padukan dengan bidang kenegaraan, perjalanan dan pengalamannya. Hal inilah salah satu pendorong kemunculan karya fenomenalnya Muqaddama Al Alamat (pengantar fenomenologis) yang lebih dikenal dengan sebutan Muqaddimah (prolegomena) saja.

Pada tahun 1352 Ibnu Kahldun berkelana ke Barat dan menetap di Fez. kemudian beliau pergi ke timur menuju Iskandariah dan Kairo. Disana beliau bertemu dengan Mamluk Sultan Al Zhahir Barquq yang menunjuknya menjadi guru besar fiqh mazhab Maliki dan hakim agung Mesir. Menjelang akhir hayatnya pada 1401, Ibnu Khaldun bertemu dengan Timurlane di luar garis perbatasan Damaskus. Penakluk Mongol tersebut menyambut ilmuwan ini dengan antusias dan mengemukakan minatnya untuk mengangkat Ibnu Khaldun sebagai pejabat pemerintahannya. Ibnu Khaldun sendiri kemudian lebih memilih untuk kembali ke Kairo dan melanjutkan pekerjaanya sebagai qadhi dan penulis hingga akhir hayatnya. Secara sederhana biografi Ibnu Khaldun ini dapat dibagi kepada tiga fase: Fase Pertama, masa pendidikan. Fase Kedua, masa politik praktis. Fase ketiga, masa kepengajaran dan kehakiman.

Pendidikan dalam Perspektif Ibnu Khaldun

Sebagai seorang pemikir, Ibnu Khaldun adalah produk sejarah. Menurut A. Luthfi As-Syaukaniy dari sini muncul apa yang disebut sejarah pemikiran atau sejarah intelektual. Istilah “pemikir” merupakan sesuatu yang ambigu dan dapat diterapkan kepada siapa saja yang memiliki spesialisasi tertentu. Ia dapat diterapkan kepada Philosoper, Thinker, Scholar, atau Intelektual yang merujuk kepada figur terpelajar (Lihat Toto Suharto: 2006). Jelasnya, pemikiran Ibnu Khaldun tidak dapat dipisahkan dari akar pemikiran Islamnya. Disinilah letak alasan Iqbal mengatakan bahwa seluruh semangat al-Muqaddimah yang merupakan manifestasi pemikiran Ibnu khaldun, diilhami pengarangnya dari al-Quran sebagai sumber utama dan pertama dari ajaran Islam. Dengan demikian pemikiran Ibnu Khaldun dapat dibaca melalui setting sosial yang mengitarinya yang diungkapkan baik secara lisan maupun tulisan sebagai sebuah kecenderungan.

Sementara itu ada yang berpendapat bahwa Ibnu Khaldun mendapat pengaruh dari Ibnu Rusyd (1126 – 1198) dalam masalah hubungan filsafat dan agama. Dalam bidang pendidikan, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa pendidikan atau ilmu dan mengajar merupakan suatu kemestian dalam membangun masyarakat manusia. Hal ini dapat terlihat pada pandangannya mengenai tujuan pendidikan, yaitu:

1. Memeberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena aktifitas penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu yang pada gilirannya kematangan individu ini bermanfaat bagi masyarakat.

2. Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan, sebagai alat yang membantu manusia agar dapat hidup dengan baik, dalam rangka terwujudnya masyarakat maju dan berbudaya.

3. Memperoleh lapangan pekerjaan yang dapat digunakan untuk mencari penghidupan.

Pernyataan-pernyataan ini mengindikasikan bahwa maksud pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah mentransformasikan nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk dapat memepertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan adalah upaya melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis.

Dalam kaitannya dengan peserta didik, Ibnu Khaldun melihat manusia tidak terlalu menekankan pada segi kepribadiannya sebagaimana yang acapkali dibicarakan para filosof, baik itu filosof dari golongan muslim atau non-muslim. Ia lebih banyak melihat manusia dalam hubungannya dan interaksinya dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah ia sering disebut sebagai salah seorang pendiri sosiolog dan antropolog.

Menurut Ibnu Khaldun pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh peradaban. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa adanya perbedaan lapisan sosial timbul dari hasil kecerdasannya yang diproses melalui pengajaran. Berkenaan dengan ilmu pengetahuan ini Ibnu Khaldun membaginya kepada tiga macam: 1). Ilmu Lisan; 2). Ilmu Naqli; 3). Ilmu Aqli.

Di samping beberapqa hal diatas, ibnu Khaldun juga menyoroti masalah kurikulum. Menurutnya ada tiga kategori kurikulum yang perlu diajarkan kepada peserta didik. Pertama, kurikulum yang merupakan alat bantu pemahaman. Kurikulum ini mencakup ilmu bahasa, ilmu nahwu, ilmu balaghah dan syair. Kedua, kurikulum sekunder, yaitu mata kuliah yang menjadi pendukung untuk memahami Islam. Kurikulum ini meliputi ilmu-ilmu hikmah seperti: logika, fisika, metafisika, dan matematiuka. Ketiga, kurikulum primer yaityu mata kuliah yang menjadi inti ajaran Islam. Kurikulum ini meliputi semua bidang al ulum al naqliyah seperti: ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu qiraat dan sebagainya.



DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abudin. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gama Media Pratama.

Fakhri, Majid. 2002. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. Bandung: Mizan.

Suharto, Toto. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz.

Bea Vers, Tedd B. 2001. Paradigma Filsafat Pendidikan Islam (Kontribusi Filosof Muslim). Jakarta: Riora Cipta.

Rabu, 30 Januari 2013

Konsep dan Pengertian Lingkungan dan Kepribadian

Konsep Lingkungan dan Kepribadian
1. Lingkungan
Kata lingkungan dalam pengertian umum, berarti segala sesuatu yang ada disekitar kita.[1] Sedangkan dalam lingkup pendidikan, arti lingkungan sangat luas yaitu segala sesuatu yang berada di luar diri manusia dan yang mempunyai arti bagi perkembangannya serta senantiasa memberikan pengaruh terhadap dirinya.[2] Jika lingkungan tersebut berupa faktor yang dengan sengaja diciptakan oleh pendidik, maka disebut lingkungan pendidikan.
Lingkungan ini mengitari manusia sejak dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Antara lingkungan dan manusia ada pengaruh yang timbal balik, yang keduanya tidak dapat dipisahkan.
Dalam ilmu psikologi, lingkungan disebut dengan environment (Milieu).[3] Jadi bukan surrounding yang berarti keadaan sekeliling saja. Karena kata environment mencakup semua faktor di luar diri manusia yang mempunyai arti bagi dirinya, dalam arti memungkinkan untuk memberikan reaksi pada diri manusia tersebut. Jadi antara kita (manusia) dan lingkungan terjadi interaksi yang terus menerus.
Lingkungan dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:
a. Lingkungan fisik (physical environment)
Yaitu lingkungan / segala sesuatu di sekitar kita yang berupa benda mati, misalnya: rumah, kendaraan, udara, air dan sebagainya.
b. Lingkungan biologis
Yaitu lingkungan yang berupa makhluk hidup, lingkungan ini dibedakan menjadi 2, yaitu lingkungan tumbuh-tumbuhan dan lingkungan hewan.
c. Lingkungan abstrak
Semua hal yang abstrak juga bisa dimasukkan dalam lingkungan, jika hal tersebut telah menyatu dengan manusia. Termasuk semua hal yang abstrak, misalnya: pengetahuan, kesenian, kebudayaan, nilai kehidupan seperti aturan-aturan pergaulan, tata krama, sopan santun dan sebagainya.[4]

2. Kepribadian
Pada dasarnya jiwa manusia terdiri dari dua aspek, yaitu aspek kemampuan yang meliputi inteligensi dan bakat, sedangkan aspek kepribadian meliputi watak, sikap, sifat dan minat.[5]
Kemajemukan kepribadian manusia ini menimbulkan beberapa pendapat yang berbeda di kalangan para ahli psikologi, diantaranya adalah George Kelly merumuskan bahwa kepribadian sebagai cara yang unik dari individu dalam mengartikan pengalaman-pengalaman hidupnya, sedangkan Gordon Allport berpendapat bahwa kepribadian merupakan suatu organisasi yang dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran individu secara khas.[6] Sementara Sigmund Freud memandang kepribadian sebagai suatu struktur yang terdiri dari 3 sistem, yaitu id, go, dan super ego.[7]
Dari pendapat-pendapat para ahli psikologi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kepribadian adalah struktur kerohanian yang kompleks dan tampak dalam tingkah laku suatu individu.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Kepribadian
Kepribadian merupakan aspek jiwa dan badan yang dipengaruhi oleh faktor dari dalam maupun dari luar diri seseorang. Pengaruh itu tidak sama antara satu dengan yang lain, maka tidak ada kepribadian manusia yang sama persis meskipun saudara kembar.
Kepribadian manusia dapat berubah karena berbagai pengaruh. Pembentukan kepribadian dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:
1. Faktor dari dalam diri manusia
Faktor-faktor yang meliputi fisik dan psikis manusia.
Misalnya: struktur tubuh, keadaan fisik dan mental, dan sebagainya.
2. Faktor dari lingkungan
Meliputi keadaan situasi sekitar diri seseorang maupun orang lain yang berada di lingkungan tersebut.
Faktor lingkungan yang paling berperan dalam pembentukan pribadi manusia adalah rumah, sekolah dan teman sebaya.[8]
Misalnya: di dalam rumah anak tersebut di manja, sehingga dia tumbuh menjadi anak yang manja.

C. Fungsi Lingkungan dalam Pembentukan Kepribadian
Dalam proses pembentukan kepribadian telah dibahas mengenai faktor-faktor yang berperan di dalamnya. Dalam hubungan saling pengaruh mempengaruhi, akan terlihat bahwa seseorang dalam perkembangan dirinya memperlihatkan sifat-sifat yang tertuju pada lingkungan, dimana lingkungan menerima sifat-sifat tersebut, dan memperlihatkan reaksi yang dibentuk atas dasar sifat-sifat, penampilan anak dan pengolahan lingkungan dengan proses perubahannya.[9] Lingkungan yang berubah juga dapat memberikan perangsang pada seseorang yang sangat mempengaruhi terhadap perkembangannya, khususnya perkembangan pembentukan kepribadian. Lingkungan yang baik adalah lingkungan yang mencapai taraf kecanggihan tertentu sehingga seseorang tersebut selalu dapat mereproduksi diri secara terus menerus, mengatasi krisis-krisis yang dialaminya melalui mekanisme-mekanisme yang ada dalam dirinya. Sehingga dengan demikian perkembangan seseorang memberikan penampilan kepada lingkungan yang merubahnya. Dari uraian tersebut terlihat suatu hubungan timbal balik antara seseorang dengan konstitusi yang berkembang terus dan lingkungan yang merubahnya.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kiranya kalau kita simpulkan bahwa pengaruh lingkungan sangat besar dalam pembentukan kepribadian seseorang, meskipun kadar kebesarannya tidak dapat kita tentukan. Atas dasar inilah dalam usaha mengerti kepribadian seseorang, kita tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan dimana manusia tumbuh dan berkembang.

DAFTAR PUSTAKA
A.W. Wijaya, Drs., Individu, Keluarga dan Masyarakat, Akademika Pressindo, Jakarta, 1986.
Abu Ahmadi, Drs. H., dkk., Ilmu Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.
Ahmad Tantowi, Psikologi Pendidikan, Angkasa, Jakarta, 1986.
Fuad Amsyari, Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.
Samsi Haryanto, Dr., M.Pd., Pengantar Teori Pengukuran Kepribadian, Sebelas Maret University, Surakarta, 1994.
Singgih D. Gunarsa, Dr., Psikologi Untuk Membimbing, BPK Gunung Muria, Jakarta, 1992.




[1] Fuad Amsyari, Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 9.
[2] Ahmad Tantowi, Psikologi Pendidikan, Angkasa, Jakarta, 1986, hlm. 56.
[3] Drs. H. Abu Ahmadi, dkk., Ilmu Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 64.
[4] Fuad Amsyari, op.cit., hlm. 11.
[5] Dr. Samsi Haryanto, M.Pd., Pengantar Teori Pengukuran Kepribadian, Sebelas Maret University, Surakarta, 1994, hlm. 1.
[6] Ibid., hlm. 2.
[7] Drs. A.W. Wijaya, Individu, Keluarga dan Masyarakat, Akademika Pressindo, Jakarta, 1986, hlm. 146.
[8] Dr. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Untuk Membimbing, BPK Gunung Muria, Jakarta, 1992, hlm. 69.
[9] Ibid., hlm. 80.

Sabtu, 26 Januari 2013

Pengertian Pragmatisme


Pragmatisme berasal dari kata pragma yang artinya guna. Pragma berasal dari kata Yunani. Makna pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis. Artinya, segala sesuatu dapat diterima asalkan bermanfaat bagi kehidupan. Dan aliran ini menekankan pada praktik dalam mengadakan pembuktian pembenaran dari sesuatu hal yang dapat dilihat dari tindakannya yang praktis atau dari segi kegunaan. 

Menurut pragmatisme, berpikir itu mengabdi pada tindakan, dan tugas pikir itu untuk bertindak. Hal ini mengakibatkan tindakan-tindakan itu menjadi kriteria berpikir dan kegunaan. Dengan kata lain, hasil dari tindakan itu menjadi suatu kebenaran. 

Sebagai aliran filsafat, pragmatisme berpendapat bahwa pengetahuan mencari, bukan sekedar untuk tahu demi tahu, melainkan untuk mengerti masyarakat dan dunia. Pengetahuan bukan sekedar objek pengertian, permenungan atau kontemplasi, tetapi untuk berbuat sesuatu bagi kebaikan, peningkatan serta kemajuan masyarakat dunia. Pragmatisme lebih memprioritaskan tindakan daripada pengetahuan dan ajaran, dan kenyataan pengalaman hidup di lapangan daripada prinsip muluk-muluk yang melayang di dunia. Oleh karena itu, prinsip untuk menilai pemikiran, gagasan, teori, kebijakan, pernyataan tidak hanya cukup berdasarkan logisnya dan bagusnya rumusan-rumusan tetapi berdasarkan dapat-tidaknya dibuktikan, dilaksanakan dan mendatangkan hasil. 

DAFTAR PUSTAKA
A. Mangun Harjono, Isme-isme dari A sampai Z, Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI), Yogyakarta, 1997.
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2003.
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
John K. Roth, Persoalan-persoalan Filsafat Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.


Jumat, 25 Januari 2013

Konsep dan Pengertian Muhkam dan Mutasyabihat


al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab. Maka, untuk memahami hukum-hukum yang di kandung nash-nash al-Qur’an diperlukan antara lain pemahaman dalam segi kebahasaan dalam hal ini adalah bahasa Arab.

Para ulama’ yang ahli dalam bidang ushul fiqh, telah mengadakan penelitian secara sesama terhadap nash-nash al-Qur’an, lalu hasil penelitian itu dituangkan dalam kaidah-kaidah yang menjadi pegangan umat Islam guna memahami kandungan al-Qur’an dengan benar.

Kaidah-kaidah itu membantu umat dalam memahami nash-nash yang nampak samar, menafsirkan yang global, menakwil nash dan lainnya yang bertalian dengan pengambilan hukum dari nashnya.

Dalam upaya mengenal kaidah-kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama’ khusus yang berkaitan dengan aspek kebahasaan dalam al-Qur’an disajikan beberapa bahasan antara lain : muhkam dan mutasyabihat, mujmal dan mufasar, ‘amm, khos dan musytarak, mutlaq dan muqoyyad, ‘amr dan nahi. [1]

A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabihat
Kata muhkam merupakan pengembangan dari kata “ahkama, yuhkimu, ihkaman” yang secara bahasa adalah atqona wa mana’a yang berarti mengokohkan dan melarang. Dari pengertian itu, maka al-muhkam menurut bahasa adalah berarti yang dikokohkan. Dalam istilah muhkam ialah suatu lafadz yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan kuat berdiri sendiri tanpa dita’wilkan karena susunannya tertib dan tepat, serta pengertiannya tidak sulit dan masuk akal.[2] Namun seluruh pengertian ini pada dasarnya berbentuk perintah dan larangan, maupun yang bersifat khobar (penerangan) tentang halal dan haram.[3]
Kata mutasyabihat berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti kesamaan atau kesamaran yang mengarah pada keserupaan. Contoh dalam ayat 70 surat al-Baqarah :
Artinya : …Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami…
Dalam istilah, mutasyabih adalah suatu lafadz al-Qur’an yang artinya samar, sehingga tidak dapat dijangkau akal manusia, karena bisa ditakwilkan macam-macam sehingga tidak dapat berdiri sendiri, maka dari itu cukup diyakini adanya saja dan tidak perlu diamalkan, karena merupakan ilmu yang hanya dimengerti ole Allah SWT saja.[4]
Secara istilah, para ulama’ berbeda-beda pendapat dalam merumuskan definisi muhkam dan mutasyabihat. Dr. Amir Aziz dalam Dirasat fi Ulum al-Qur’an menginventarisasi enam definisi, yaitu :
1. Dari Dr. Amir dinyatakan sebagai pendapat ahlu sunnah, muhkam adalah ayat yang bisa dilihat pesannya dengan gamblang atau jelas, maupun dita’wil. Adapun mutasyabihat adalah ayat-ayat yang pengertian pastinya hanya diketahui oleh Allah. Misalnya, saat datangnya hari kiamat dan makna huruf tahajji, yakni huruf-huruf yang terdapat pada awal surat, seperti : Qaf, Alif Lam Mim, dan lain-lainnya.
2. Dari Ibnu Abbas, muhkam adalah ayat yang penakwilannya hanya mengandung satu makna, sedang mutasyabihat adalah ayat yang mengandung pengertian bermacam-macam.
3. Muhkam adalah ayat yang maknanya rasional, artinya dengan akal manusia saja pengertian ayat itu sudah dapat ditangkap tetapi ayat-ayat mutasyabih mengandung pengertian yang tidak dapat dirasionalkan, misalnya: bilangan raka’at di dalam shalat 5 waktu. Demikian juga penentuan puasa yang dijatuhkan pada bulan ramadhan, bukan bulan sya’ban atau muharram.
4. Ayat-ayat al-Qur’an yang muhkam adalah ayat yang dinasikh dan padanya mengandung pesan pernyataan halal, haram, hudud, faraidl, dan semua yang wajib diimani dan diamalkan. Adapun mutasyabihat adalah ayat yang padanya terdapat mansukh dan qosam serta yang wajib diimani tetapi tidak wajib diamalkan lantaran tidak tertangkap makna yang dimaksud. Definisi ini menurut Dr. Amir Abdul Aziz, juga dinisbatkan pada Ibnu Abbas.
5. Ayat muhkamat yaitu ayat yang mengandung halal dan haram diluar ayat tersebut adalah ayat-ayat mutasyabihat.
6. Ayat muhkam adalah ayat yang tidak ternask, sementara ayat mutasyabihat adalah ayat yang dinask.[5]
B. Sebab-sebab Adanya Dalil Muhkam dan Mustasyabihat
Secara tegas dapat dikatakan, bahwa sebab adanya ayat muhkam dan mutasyabihat adalah karena Allah SWT menjadikannya demikian itu. Allah memisahkan ayat antara yang muhkam dan mutasyabihat dan menjadikan ayat muhkan sebagai bandingan ayat yang mutasyabih.
Allah berfirman :
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.
C. Macam-macam Dalil Mutasyabihat
Sesuai dengan sebab-sebab adanya ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an. Maka macam-macam ayat mutasyabihat itu ada tiga macam :
1. Ayat-ayat mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manusia kecuali Allah SWT.
Contohnya seperti dzatnya Allah, hakikat sifat-sifat-Nya waktu datangnya hari kiamat, dan sebagainya, hal ini termasuk urusan-urusan ghaib yang hanya diketahui oleh Allah SWT, seperti isi ayat 34 surat Lukman :
Artinya: “Sesungguhnya Allah, Hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati”.
2. Ayat-ayat mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang dengan jalan pembahasan dan pengkajian yang dalam.
Contohnya seperti merinci yang mujmal, menentukan yang musytarok, mengqoyidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib dan sebagainya.
3. Ayat-ayat mutasyabihat yang hanya diketahui oleh pakar ilmu dan sains, bukan oleh semua orang, apalagi orang awam. Hal ini termasuk urusan-urusan yang hanya diketahui oleh Allah SWT dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Seperti keterangan ayat 7 surat Ali Imran :
“Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya”[6]
Dalam pengertian yang sama, al-Bahiq al-Asfahani memberikan penjelasan yang mirip. Menurut Din Mutasyabih terbagi pada 3 jenis yaitu jenis yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya seperti waktu kiamat, keluarnya dabbah (binatang) dan sebagainya.
Jenis yang dapat diketahui manusia, seperti lafadz-lafadz yang ganjil (gharib) dan hukum yang tertutup dan jenis yang hanya diketahui oleh ulama’ tertentu yang sudah dapat ilmu, jenis terakhir inilah yang disyaratkan Nabi dengan do’anya bagi Ibnu Abbas.
اَللَّـهُمَّ فَقِّهْهُ فِىالدِّيْنِ وَعَلَّمَهُ اَلتَّأْوِيْلَ.
Artinya: “Ya Tuhanku, jadikanlah dia seorang yang paham dalam agama dan ajarkanlah padanya ta’wilnya”.[7]
D. Pandangan Para Ulama terhadap Dalil Muhkam Mutasyabihat
Apakah arti dan maksud ayat-ayat mutasyabihat itu dapat diketahui oleh umat manusia atau tidak, ada dua pendapat di antara para ulama. Sebagian ulama mengatakan bahwa arti dan ayat mutasyabihat itu dapat diketahui oleh umat manusia dan sebagian ulama yang lain mengatakan tidak dapat yang menjadi pangkal perselisihan ialah mereka berbeda pendapat dalam memahami ayat 7 surat Ali Imran :
Artinya : “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.
Yang mereka perselisihkan ialah apakah kalimat والراسخون فىالعلم itu disambungkan dengan lafadz Allah yang sebelumnya dan lafadz يقول أمنابه itu menjadi hal dari الراسخون? Ataukah kalimat والراسخون فىالعلم itu menjadi subjek (mubtada’), sedang kalimat يقول أمنابه itu menjadi khobar (predikat)nya sedang huruf wawu sebagai tanda isti’naf (tanda permulaan)?
1. Imam Mujahid dan sahabat-sahabatnya serta Imam Nawawi memilih pendapat pertama, yakni bahwa kalimat والراسخون فىالعلم itu di ‘athofkan (disambungkan) kepada lafadz Allah. Pendapat ini berasal dari riwayat Ibnu Abbas berdasarkan dalil sebagai berikut :
a) Hadits riwayat Ibnu Mundzir dari Mujahid dari Ibnu Abbas ra mengenai firman Allah :
وَمَايَعْلَمْ تَعْوِيْلَهُ اِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِىالْعِلْمِ.
أَنَا مِمَّنْ يَعْلَمُ تَعْوِيْلَهُ.
Ibnu Abbas berkata “saya termasuk orang-orang yang lebih mengetahuai ta’wilnya”
b) Hadits riwayat Ibnu Hatim dari ad-Dhahak yang berkata :
اَلرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَعْلَمُوْنَ تَأْوِيْلَهُ وَلَوْلَمْ يَعْلَمُوْا تَعْوِيْلَهُ لَمْ يَعْلَمُوْنَا سِحَّهُ مِنْ مَنْسُوْخِهُ وَلاَحَلاَلَهُ مِنْ حَرَامِهِ وَلاَ مُحْكَمَهُ مِنْ مُتَشَابِهِهِ.
“Orang-orang yang mendalami ilmunya mengetahui ta’wilnya, sebab jika mereka tidak mengetahui ta’wilnya, tentu mereka tidak mengerti mana yang nasikh dari yang mansukh, dan tidak mengetahui yang halal dan yang haram, serta mana yang muhkam dan yang mutasyabih”.
Imam Nawawi mengatakan bahwa pendapat yang pertama itulah yang lebih shahih sebab impossible (tidak mungkin) Allah itu akan mengkhithob hambanya dengan sesuatu yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.
2. Kebanyakan sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in serta orang-orang setelah mereka, memilih pendapat kedua yakni kalimat والراسخون فىالعلم itu menjadi mubtadak (subjek) sedang khobarnya (predikatnya) adalah kalimat يقول أمنابه dan riwayat yang ini lebih sohih dibanding riwayat lainnya.
Dalil yang mendasari pendapat kedua ini adalah sebagai berikut :
a) Riwayat Abdul Rozzaq dalam tafsirnya dan riwayatnya al-Hakim dalam mustadraknya berasal dari Ibnu Abbas ra bahwa dia membaca :
...tوالراسخون فىالعلم يقول أمنابه 
Bacaan itu menunjukkan bahwa huruf wawu tersebut adalah menjadi permulaan, sehingga kalimat والراسخون فىالعلم menjadi mubtadak dan lafadz يقولون menjadi khobarnya.
b) Ayat 7 surat Ali Imran mencela orang-orang dan mencari ayat-ayat mutasyabihat yang mensifati mereka dengan kesesatan dan mencari-cari fitrah, dan dalam ayat itu Allah memuji mereka yang menyerahkan urusan-urusan samar itu kepada Allah dengan firman Allah :
tArtinya : “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami."
c) Hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dan yang lain dari ‘Aisyah, dia mengatakan bahwa Rasulullah saw setelah membaca ayat 7 surat Ali Imran itu, beliau bersabda :
فَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِيْنَ يَبْتَغُوْنَ مَاتَشَابَهَ مِنْهَ فَأُولَئِكَ الَّذِيْنَ سَمُّوْا الله فَاحْذَرْهُمْ.
Artinya : “Maka kalau kamu melihat yang mencari hal-hal yang samar itu, maka hindarilah mereka itu”
KESIMPULAN
Dari definisi-definisi tentang muhkam dan mutasyabihat di atas, kami dapat menyimpulkan bahwa muhkam adalah suatu lafadz yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan kuat berdiri sendiri serta mudah dipahami. Juga tercakup di dalamnya tentang halal, haram, amar, nahi, janji (wa’d) dan ancaman (wa’id) dan semua itu wajib diimani dan diamalkan. Sedangkan mutasyabihat adalah suatu lafadz yang artinya samar, maksudnya tidak jelas dan sulit bisa ditangkap karena mengandung penafsiran yang berbeda-beda dan bisa jadi mengandung pengertian arti yang bermacam-macam.
Pandangan ulama mengenai ayat-ayat mutasyabihat dan dipahami manusia atau tidak ada dua pendapat. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa arti dan ayat-ayat mutasyabihat dapat diketahui oleh umat manusia, dan ulama yang lain mengatakan bahwa umat manusia tidak dapat mengetahuinya.
HIKMAH
Salah satu hikmah ayat muhkamat adalah memberi rahmat pada manusia, khususnya orang yang bahasa Arabnya lemah, memudahkan manusia mengetahui arti dan maksudnya juga memudahkan mereka menghayati makna maksudnya agar mudah melaksanakan ajaran-ajarannya. Sedangkan hikmah dari ayat-ayat mutasyabihat salah satunya adalah menambah pahala usaha umat manusia, dengan bertambah sukarnya memahami ayat-ayat mutasyabihat sebab semakin sukar pekerjaan seseorang maka akan semakin besar jugalah pahalanya.
DAFTAR PUSTAKA
Djalal, Abdul, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 1997.
Faridl, Miftah, al-Qur’an Sumber Hukum Islam yang Pertama, Bandung: Pustaka, 1989.
Marzuki, Kamaluddin, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka, 1992.
Syadali, Ahmad, Ilmu al-Qur’an, Solo: Pustaka Setia, tt.



[1] Dr. Miftah Faridl, al-Qur’an Sumber Hukum Islam yang Pertama, Bandung: Pustaka, 1989, hlm. 160.
[2] Prof. Dr. H. Abdul Djalal, H.A., Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 1997, hlm. 243.
[3] Dr. Miftah Faridl, op.cit., hlm. 164.
[4] Prof. Dr. H. Abdul Djalal, H.A., op.cit., hlm. 243.
[5] Kamaluddin Marzuki, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka, 1992, hlm. 114-115.
[6] Prof. Dr. H. Abdul Djalal, H.A., op.cit., hlm. 252.
[7] Drs. Ahmad Syadali, M.A., Ilmu al-Qur’an, Solo: Pustaka Setia, tt., hlm. 206.


Kamis, 24 Januari 2013

Konsep dan Teori Pendidikan Ibnu Miskawaih

Perlu diketahui dari sekian karya Ibnu Miskawaih, tidak di temukan buku yang bertemakan “pendidikan” secara langsung. Hanya beberapa buku yang pembahasannya berkaitan dengan pendidikan dan kejiwaan, akal serta etika. Salah satu buku yang dinilai banyak mengandung konsep pendidikan ialah kitab Tahzib al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq, yang banyak dijadikan rujukan ulama’ dalam pendidikan. Namun jika ditelaah sedikit dalam, Ibnu Miskawaih mendasarkan pendidikan pada dua hal:

1. Syariat
Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan secara pasti tentang dasar pendidikan. Namun secara tegas ia menyatakan bahwa syari’at agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia, yang menjadikan manusia terbiasa melakukan perbuatan terpuji, yang menjadikan jiwa mereka siap menerima kearifan (hikmah), dan keutamaan (fadilah), sehingga dapat memperoleh kebahagiaan berdasarkan penalaran yang akurat. Dengan demikian syariat agama merupakan landasan pokok bagi pelaksanaan pendidikan yang merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, prinsip syariat harus diterapkan dalam proses pendidikan, yang meliputi aspek hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan makhluk lainnya.

2. Psikologi
Menurut Ibnu Miskawaih, antara pendidikan dan pengetahuan tentang jiwa erat kaitannya. Untuk menjadikan karakter yang baik, harus melalui perekayasaan (shina’ah) yang didasarkan pada pendidikan serta pengarahan yang sistematis. Itu semua tidak akan tercapai kecuali dengan mengetahui jiwa lebih dahulu. Jika jiwa dipergunakan dengan baik, maka manusia akan sampai kepada tujuan yang tertinggi dan mulia.
Maka dari itu, jiwa merupakan landasan yang penting bagi pelaksanaan pendidikan. Pendidikan tanpa pengetahuan psikologi laksana pekerjaan tanpa pijakan. Dengan demikian teori psikologi perlu diaplikasikan dalam proses pendidikan. Dalam hal ini Ibnu Miskawaih adalah orang yang pertama kali melandaskan pendidikan kepada pengetahuan psikologi. Ia adalah perintis psikologi pendidikan, dan layak disebut sebagai ‘Bapak Psikologi Pendidikan’.

Metode Pendidikan menurut Ibnu Miskawaih

Definisi metode yang digunakan dalam topik ini identik dengan alat, karena fungsinya sebagai pelancar terjadinya proses pendidikan, dan cara yang harus dilakukan. Ada beberapa metode pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, di antaranya adalah :

1. Metode alami (thabi’i)
Manusia mempunyai metode alami yang dilakukan sesuai dengan proses alam. Cara ini berangkat dari pengamatan potensi manusia, di mana potensi yang muncul lebih dahulu, selanjutnya pendidikannya diupayakan sesuai dengan kebutuhan. Menurut Ibnu Miskawaih potensi yang pertama terbentuk bersifat umum yang juga ada pada hewan dan tumbuhan, kemudian baru potensi yang khusus manusia. Oleh karena itu, pendidikan harus dimulai dengan memperhatikan kebiasaan makan dan minum, karena dengannya akan terdidik jiwa syahwiyyah, kemudian baru yang berhubungan dengan jiwa ghadhabiyah yang berfungsi memunculkan cinta kasih, dan baru muncul jiwa nathiqah yang berfungsi memenuhi kecenderungan pengetahuan. Urutan ini yang disebut dengan metode alamiah.

2. Metode Bimbingan
Metode ini penting untuk mengarahkan subjek didik kepada tujuan pendidikan yang diharapkan yaitu mentaati syariat dan berbuat baik. Hal ini banyak ditemukan dalam Al-Qur’an, yang menunjukkan betapa pentingnya nasihat dalam interaksi pendidikan yang terjadi antar subjek-didik. Nasihat merupakan cara mendidik yang ampuh yang hanya bermodalkan kepiawaian bahasa dan olah kata.

3. Metode Ancaman, Hardikan, dan Hukuman
Berangkat dari metode yang sebelumnya, jika subjek-didik tidak melaksanakan nilai yang telah diajarkan, maka mereka diberi berbagai cara secara bertahap sehingga kembali kepada tatanan nilai yang ada. Seperti ancaman, kemudian baru hukuman, baik bersifat jasmani atau rohani.

4. Metode Pujian
Jika subjek didik melaksanakan syariat dan berperilaku baik, maka ia perlu dipuji dihadapannya. Hal ini agar mereka merasa bahwa perbuatan tersebut mendapat nilai tambah bagi dirinya. Jika pandangan ini menyebar, akan semakin gencar subjek-didik melaksanakan kebajikan.


Tujuan Pendidikan menurut Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih memusatkan perhatiannya kepada filsafat akhlak. Karena itu corak pemikiran pendidikannya bertendensi moral. Adapun tujuan pendidikan menurut Ibnu Miskawaih adalah:

1. Kebaikan dan kebahagiaan
Manusia yang ingin diwujudkan oleh pendidikan adalah manusia yang baik, bahagia dan sempurna. Kebaikan, kebahagiaan dan kesempurnaan adalah suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Seluruhnya adalah berkaitan dengan akhlak, etika dan moral. Untuk mencapai tingkatan tersebut, harus memiliki 4 kualitas, yaitu; kemampuan dan semangat yang kuat, ilmu pengetahuan yang esensial-substansial, malu kebodohan, dan tekun melakukan keutamaan dan konsisten mendalaminya.

2. Tercapainya Kemuliaan Akhlak
Manusia yang paling mulia ialah yang paling besar kadar jiwa rasionalnya, dan terkendali. Oleh karena itu pembentukan individu yang berakhlak mulia terletak pada bagian yang menjadikan jiwa rasional ini unggul dan dapat menetralisir jiwa-jiwa lain.

Tujuan pendidikan yang diinginkan Ibnu Miskawaih adalah idealistik-spiritual, yang merumuskan manusia yang berkemanusiaan. Rumusan ini sejalan dengan fungsi kerasulan Muhammad yang digambarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Al-Qalam: 4:

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.

Dari sinilah kebanyakan para ahli pendidik Muslim sepakat bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling pokok adalah pendidikan budi pekerti dan jiwa. Faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan Islam inilah kemudian menjadi penentu bagi keberhasilan pendidikan Islam. Sebagaimana yang terangkum dalam firman Allah SWT (QS. Al-Baqarah: 201) :

“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka"

3. Sebagai Sarana Sosialisasi Individu
Manusia adalah makhluk sosial, maka pendidikan harus berfungsi sebagai proses sosialisasi bagi subjek didik. Kebijakan manusia sangat banyak jumlahnya, yang tidak mampu dicapai oleh individu, perlu bergabung dengan kelompok lain untuk tujuan tersebut. Gagasan ini merupakan jalan rintis lahirnya sosiologi pendidikan yang di kembangkan oleh para sosiolog modern.

Dari konsep pemikiran pendidikan yang disampaikan oleh Ibnu Miskawaih, jika ditelaah dengan pendekatan epistemology secara hirarkhi, maka konsep tersebut selalu mengacu kepada tiga hirarkhi yaitu yang mengacu kepada kondisi psikologis dan kesiapan peserta didik, yang dipetakan menjadi tiga tingkatan yaitu bayany untuk pemula, burhany untuk orang dewasa dan ‘irfany bagi mereka yang telah matang baik jiwa maupun intelektual. Sementara dari segi materi dan sasarannya juga dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu empirik bagi pemula, logik bagi dewasa dan etik bagi mereka yang sudah matang.


Daftar Pustaka

Jalaluddin, Usman Said. 1996. Filsafat Pendidikan Islam : Konsep dan perkembangan pemikirannya. Cetakan ke-2. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Suyudi, M. 2005. Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an : Integrasi Epistemologi Bayani, Burhani, dan Irfani. Cetakan 1. Yogyakarta : Mikraj.

Boy ZTF, Pradana. 2003. Filsafat Islam : Sejarah, Aliran dan Tokoh. Cetakan 1. Malang : UMM Press.

Rabu, 23 Januari 2013

Cara Cepat Mengetahui Halaman Juz al Quran

Bagaimana sih cara cepat mengetahui awal halaman juz dalam al-Quran? nah langsung saja ya, caranya adalah:
JUZ dikurangi 1, hasilnya dikalikan 2, lalu belakang angka dikasih angka 2.

Misalnya coba Pada halaman berapakah awal juz 16?

Jawab: 
16 - 1 = 15
lalu
15 x 2 = 30
lalu kasih angka 2 di belakang 30

jadi awal Juz 16 pada halaman 302
HOREEE...

Misalnya lagi pada halaman berapakah juz 25?

JawabP
25 - 1 = 24
lalu
24 x 2 = 48
lalu kasih angka 2 di belakang 48

Jadi, 482  HOREE....

Kalo di tengah Juz, Awal Juz harus ditambah berapa coba?

Etika Menyambut Maulid Nabi Muhammad

Untuk menjaga agar perayaan maulid Nabi tidak melenceng dari aturan agama yang benar, sebaiknya perlu diikuti etika-etika berikut:

1. Mengisi dengan bacaan-bacaan shalawat kepada Rasulullah SAW.
Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya". QS. Al-Ahzab:56.

2. Berdzikir dan meningkatkan ibadah kepada Allah.
Syekh Husnayn Makhluf berkata: "Perayaan maulid harus dilakukan dengan berdzikir kepada Allah SWT, mensyukuri kenikmatan Allah SWT atas kelahiran Rasulullah SAW, dan dilakukan dengan cara yang sopan, khusyu' serta jauh dari hal-hal yang diharamkan dan bid'ah yang munkar".

3. Membaca sejarah Rasulullah s.a.w. dan menceritakan kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaan beliau.
3. Memberi sedekah kepada yang membutuhkan atau fakir miskin.
4. Meningkatkan silaturrahmi.
5. Menunjukkan rasa gembira dan bahagia dengan merasakan senantiasa kehadiran Rasulullah s.a.w. di tengah-tengah kita.
6. Mengadakan pengajian atau majlis ta'lim yang berisi anjuran untuk kebaikan dan mensuri tauladani Rasulullah s.a.w.

Jika timbul pertanyaan, perayaan maulid yang datangnya pada bulan Robi'ul Awwal, juga bertepatan dengan bulan wafat Rasulullah SAW, mengapa tidak ada luapan kesedihan  atas wafatnya beliau? Imam Suyuthi menjelaskan: "Kelahiran Nabi SAW adalah kenikmatan terbesar untuk kita, sementara wafatnya beliau adalah  musibah terbesar atas kita. Sedangkan syariat memerintahkan kita untuk menampakkan rasa syukur atas nikmat dan bersabar serta diam dan merahasiakan atas cobaan yang menimpa. Terbukti agama memerintahkan untuk menyembelih kambing sebagai 'aqiqoh pada saat kelahiran anak, dan tidak memerintahkan menyembelih hewan pada saat kematian, maka kaidah syariat menunjukkan bahwa yang baik pada bulan ini adalah menampakkan kegembiraan atas kelahiran Rasulullah SAW bukan menampakkan kesusahan atas musibah yang menimpa". 

Oleh karena hakekat dari perayaan maulid adalah luapan rasa syukur serta penghormatan kepada Rasulullah SAW, sudah semestinya tidak dinodai dengan kemunkaran-kemunkaran dalam merayakannya. Seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, tampilnya perempuan di atas pentas dihadapan kaum laki-laki, alat-alat musik yang diharamkan dan lain-lain. 
Begitu juga peringatan maulid tidak seharusnya digunakan untuk saling provokasi antar kelompok Islam yang berujung pada kekerasan antar kelompok. Sebab jika demikian yang terjadi, maka bukanlah penghormatan yang didapat akan tetapi justru penghinaan kepada Rasulullah SAW.

Selasa, 22 Januari 2013

Maksud dan Bacaan Takbiratul Ihram

Perlu diketahui oleh seorang mukmin bahwa yang dimaksud takbiratul ihram adalah takbir pertama memasuki pintu gerbang shalat.  Ihram berasal dari kata haram,  yang berarti takbir haram.,  artinya takbir yang mengharamkan segala yang halal sebelum shalat.  Ketika sebelum shalat makan minum dihalalkan,  maka memasuki shalat,  hal tersebut menjadi haram.

Bacaan takbiratul ihram,  sama seperti takbir lain dalam shalat yakni :
الله أكبر
Allahu Akbar

Artikel Selanjutnya

Macam-Macam Dosa Besar

Kualifikasi manusia di dalam al-Qur’an itu terdapat dua golongan. Golongan yang pertama merupakan golongan orang-orang yang selamat (orang-orang yang beruntung), golongan ini merupakan golongan orang yang senantiasa berbuat baik, golongan yang senantiasa beribadah kepada Tuhan YME, yang senantiasa menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Golongan ini tertera dalam al-Qur’an seperti : al-Muhlisin, al-Mu’minin, al-Muttaqien, dan sebagainya. Golongan yang kedua merupakan golongannya orang-orang rugi atau orang-orang yang tidak beruntung, golongan ini merupakan golongan yang senantiasa berbuat kemungkaran, kemaksiatan, kedholiman, dan sebagainya.

Dari kedua kualifikasi tersebut, tentunya bisa disimpulkan bahwa orang-orang yang mendapat kebahagiaan yaitu orang-orang yang senantiasa berbuat baik (ma’ruf), sedangkan orang-orang yang mendapat siksaan yaitu orang-orang senantiasa berbuat dosa (kemungkaran). Dari sini kita seharusnya selektif, agar masuk golongan orang-orang yang selamat tentunya harus berani menjauhi segala perbuatan dosa (kemungkaran) lebih-lebih dosa-dosa besar.

PEMBAHASAN

Banyak hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim yang membicarakan mengenai dosa-dosa besar, diantaranya:

حَدِّثُنااحمد بن سعيد الهمد انيّ حديثنا ابن وهب عن سليمان بن بِلَلٍ عن ثور بن زيد عن أبىالغيث عن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ.

Terjemah :


Abu Hurairah r.a berkata : Nabi Saw bersabda: Tinggalkanlah tujuh dosa yang dapat membinasakan. Sahabat bertanya: Apakah itu ya Rasulullah? Jawab Nabi Saw : 1. Syirik mempersekutukan Allah, 2. Berbuat sihir (tenung), 3. Membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak, 4. Makan harta riba, 5. Makan harta anak yatim, 6. Melarikan diri dari perang pada saat berperang, 7. Dan menuduh wanita mu’minat yang sopan (berkeluarga) dengan zina. (HR. Bukhari Muslim).

حَدِيثُ أَبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَ لاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلاَثًا، قالوا يارسول الله، قال: اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ، وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا، فَقَالَ، أَلاَ وَقَوْلُ الزُّوْنِ، قَالَ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ.

Terjemah :


Abu Bakrah r.a berkata: Nabi Saw bersabda: Sukakah aku beritahukan kepadamu dosa-dosa yang besar? Pertanyaan ini diulang tiga kali. Jawab sahabat : Baiklah ya Rasulullah. Maka Nabi bersabda : 1. Syirik mempersekutukan Allah, 2. Durhaka terhadap kedua ayah bunda. Nabi Saw tadinya menyandar tiba-tiba duduk dan bersabda: 3. Ingatlah, dan kata-kata dusta, tipuan, lalu mengulang yang ketiga ini beberapa kali sehingga kami (sahabat) berkata : semoga berhenti (diam)”.

Al-Bukhari mentakhrijkan hadits ini dalam “Kitab Persaksian” bab tentang apa yang dikatakan dalam saksi palsu.

حَدِيثُ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ :قال سئل رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عن الْكَبَائِرِ قَالَ الشِّرْكُ بِاللهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ. {اخرجه البخارى : 52- كتاب الشهادات : باب ماقيل في سهاددة الزور}.

Terjemahan:


Anas r.a berkata: ketika Nabi Saw ditanya tentang dosa-dosa besar, maka jawabannya : Syirik mempersekutukan Allah, dan durhaka terhadap kedua ayah bunda, dan membunuh jiwa (manusia) dan saksi palsu.

Al-Bukhari mentakhrij hadits ini dalam “Kitab Persaksian” bab tentang apa yang diketahui dalam saksi palsu.

Hadits yang pertama secara kualitas bagus atau sohih karena diriwayatkan oleh kedua imam besar, yaitu Imam Bukhari Muslim, asbabul nuzulnya yaitu ada sahabat yang melarikan diri dari medan perang. Sedangkan hadits yang kedua dan ketiga secara kualitas sohih karena diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dan sudah diakui kebenarannya. Dari ketiga hadits ini terhadap sedikit persamaan, yaitu ketiganya membicarakan syirik, hanya saja hadits pertama terdiri dari 7 item, sedangkan hadits kedua tiga item, sedangkan hadits yang terakhir empat item (sub pokok bahasan).

Syirik, seperti yang dikatakan Ibnu Qoyyim yaitu : menjadikan sekutu bagi Allah, mencintainya sebagaimana ia mencintai Allah. Ini merupakan syirik yang mengandung penyamaan tuhan-tuhan orang musyrik dengan Tuhan semesta alam. Perbuatan syirik sangat dimurka oleh Allah. Sihir merupakan ilmu yang di dalamnya terdapat unsur ilmu hitam, ia percaya terhadap kekuatan gaib. Ilmu ini banyak dimiliki oleh para dukun, padahal dalam hadits Bukhari Muslim dikatakan “orang yang mendatangi dukun dan ia percaya maka ia akan dimasukkan neraka”.

Membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak. Janganlah sampai diantara kita membunuh jiwa (manusia) tanpa alasan nyata kebenarannya, karena akibat-akibatnya dunia luas dan langit dengan segala penjurunya akan menjadi sempit dan orang tersebut akan dimasukkan neraka dengan penuh murka dari Tuhan. Makan harta riba, Riba secara bahasa maknanya tambahan, sedangkan secara istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’, atau terlambat menerimanya.

Firman Allah Swt:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ {ال عمران:130}


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (Ali Imran : 130).

Makan harta anak yatim, Anak yatim itu titipan umat untuk disantuni, dididik, sehingga mereka merasa sama seperti waktu masih memiliki orang tua. Mereka mesti diarahkan, agar memperoleh masa depan yang lebih baik. Jangan sekali-kali menghardik anak yatim.

Allah berfirman:

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ {1} فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ {2}


“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim”.

Melarikan diri dari medan peperangan merupakan perbuatan pengecut yang di murka Allah, padahal Islam mengajarkan umatnya untuk berani melawan musuh, menanamkan sifat pemberani (saja’ah).

Menuduh wanita mu’minat yang sopan (berkeluarga) dengan zina merupakan dosa besar, dan mewajibkan hukum dera. Orang merdeka di dera delapan puluh kali dan hamba empat puluh kali dera dengan beberapa syarat yang akan dibahas kemudian. Firman Allah surat an-Nur ayat 4 yang artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera”. Durhaka kepada kedua ayah bunda, alangkah naifnya sebagai anak yang berani (durhaka) kepada orang tuanya yang membesarkan dengan susah payah. Ada ungkapan “bahwa ridhonya Allah terletak pada ridhonya kedua orang tua”. Dusta merupakan dosa besar tetapi masyarakat memandang remeh mengenai hal ini, padahal dusta merupakan ciri-ciri orang munafik.

Dalam yang mendakwa hendaknya mengajukan saksi, maka jika yang mendakwa mempunyai saksi yang cukup, dakwaannya hendaklah diterima oleh hakim; berarti dia menang dalam perkaranya, begitu pula sebaliknya. Namun sebagai saksi harus memenuhi kriteria atau syarat-syarat sebagai saksi; kalau tidak terpenuhi berarti saksi tersebut palsu dan dakwaannya tidak bisa diterima alias gagal.

KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas pemakalah menyimpulkan ada dosa-dosa besar yang harus kita jauhi, karena dosa-dosa tersebut akan menjadikan fatal dalam kehidupan kita, baik di dunia maupun akhirat. Dosa-dosa tersebut antara lain:

1. Syirik

2. Sihir

3. Membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak

4. Makan harta riba

5. Makan harta anak yatim

6. Melarikan diri dari medan perang

7. Menuduh wanita baik-baik berbuat zina

8. Durhaka kepada kedua orang tua

9. Dusta atau bohong

10. Saksi palsu.




DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Lu’lu wal Marjan, “Himpunan Hadits Shahih yang Disepakati Bukhari Muslim”, Semarang: PT. Bina Ilmu, 1995.

Muh. Fuad Abdul Baqi, Terjemahan al-Lu’lu wal Marjan, “Koleksi yang Disepakati oleh Bukhari Muslim”, Semarang: al-Ridha, 1993.

Dr. Yusuf Qardhawi, Fikih Prioritas Urutan Amal Yang Terpenting dari Yang Penting, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Al-Faqih Abu Laits Samarqandi, Tanbihul Ghafilin Pembangunan Jiwa Moral Umat, Surabaya: Darul Ulya, 1993.
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: PT. Sinar Baru, 2003.

Drs. Moh. Zuhri, Terjemah Juz ‘Amma, Jakarta: PT. Pustaka Amani, 1979.


Senin, 21 Januari 2013

Konsep Manusia dalam Islam dan Psikologi

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi ini.[1] Oleh karenanya manusia dijadikan khalifah Tuhan di bumi[2] karena manusia mempunyai kecenderungan dengan Tuhan.

Berbicara dan berdiskusi tentang manusia selalu menarik dan karena selalu menarik, maka masalahnya tidak pernah selesai dalam arti tuntas. Pembicaraan mengenai makhluk psikofisik ini laksana suatu permainan yang tidak pernah selesai, selalu ada saja pertanyaan mengenai manusia.[3]

Sikap seseorang biasanya ikut dipengaruhi oleh bagaimana pandangannya terhadap dirinya dan terhadap orang lain. Seseorang yang memandang dirinya sebagai yang berkuasa dan orang lain sebagai yang dikuasai cenderung bersikap otoriter. Pandangan evolusionisme biologis tentang manusia, bahwa manusia adalah binatang mamalia yang cerdas, berbeda sekali dengan pandangan spiritualisme Hindu, bahwa hakekat manusia adalah roh (atman)nya. Kalau pendidikan atau pembangunan suatu masyarakat di dasarkan kepada pandangan pertama, yang akan di perhatikan adalah pendidikan, jasmani, dan penalaran. Kalau pendidikan dan pembangunan itu di dasarkan kepada pandangan spiritualisme, yang akan diperhatikan tentu hanya pendidikan kerohanian. Demikianlah seterusnya, perbedaan sikap, orientasi pendidikan dan pembangunan pada hakekatnya kelanjutan dari bagaimana pandangan yang melaksanakannya terhadap manusia. Islam juga mengajarkan pandangan tertentu tentang manusia. Sebelum pandangan Islam ini diuraikan, terlebih dahulu ada baiknya difahami dulu perbedaan dan kelebihan manusia di banding dengan makhluk lainnya.[4]

1. Manusia menurut Islam
Dalam al-Qur’an ada beberapa kata untuk merujuk kepada arti manusia yaitu insan, basyar dan bani Adam. Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti “penampakan sesuatu yang baik dan indah”. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia disebut basyar karena kulitnya tampak jelas. Dan berbeda jauh dari kulit hewan yang lain. Al-Qur’an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriyah serta persamaanya dengan manusia seluruhnya, karena Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk menyampaikan seperti yang terungkap pada al-Qur’an.

Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang di beri wahyu” (Q.S. Al-Kahfi, 18 : 110)

Dari sisi lain dapat diamati bahwa banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan kata basyar dengan mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan. Misalnya Allah berfirman yang artinya sebagai berikut:

Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya (Allah) menciptakan kamu dari sel, kemudian kamu menjadi basyar, kamu bertebaran” (Q.S. Ar- Rum, 30 : 20).

Bertebaran disini bisa diartikan berkembang biak akibat hubungan seks atau bertebaran karena mencari rizki kedua hal tersebut tidak dilakukan oleh manusia kecuali oleh orang yang memiliki kedewasaan dan tanggung jawab. Karena itu Siti Maryam as, mengungkapkan keherananya manakala akan dapat anak padahal ia tidak pernah disentuh oleh basyar (manusia) yang menggaulinya dengan berhubungan seks. (Qs Ali Imron, 3 : 47). Begitulah terlihat, penggunaan kata basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul suatu tanggung jawab (amanat). Dan karena itu pula, tugas khalifah di bebankan kepada basyar (Qs Al Hajr 15 : 28 yang menggunakan basyar).

Sedangkan kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Pendapat ini jika dilihat dari sudut pandang al-Qur’an lebih tepat dibanding dengan yang berpendapat bahwa kata insan terambil dari kata nasiya (lupa, lalai) atau nasa-yanusu (terguncang). Kata insan digunakan al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya. Jiwa dan raga, psikis dan fisik, manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lainnya, adalah akibat perbedaan fisik, psikis (mental) dan kecerdasan.

Yang jelas sekali kita dapat melihat bahwa al-Qur’an menyebutkan jiwa manusia sebagai suatu sumber khas pengetahuan. Menurut al-Qur’an seluruh alam raya ini merupakan manifestasi Allah, di dalamnya terdapat tanda-tanda serta berbagai bukti untuk mencapai kebenaran. Al-Qur’an mendefinisikan dunia eksternal sebagai al-ayat dan dunia internal sebagai jiw, dan dengan cara ini mengingat kita akan pentingnya jiwa manusia itu ungkapan tanda-tanda dan jiwa-jiwa yang terdapat dalam kepustakaan Islam bersumber dari pertanyaan sebagai berikut :

Aku akan tunjukkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan-Ku dari yang terbentang di horison ini dan dari jiwa mereka sendiri, sehingga tahulah mereka akan kebenaran itu”. (Q.S Fushilat, 41 : 53).

Dalam al-Qur’an, manusia berulangkali diangkat derajatnya karena aktualisasi jiwanya secara positif, sebaliknya berulangkali pula manusia direndahkan karena aktualisasi jiwa yang negatif. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam surgawi, bumi dan bahkan para malaikat, tetapi pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan makhluk hewani. Manusia dihargai sebagai makhluk yang mampu menaklukkan alam, namun bisa juga mereka merosot menjadi “yang paling rendah dari segala yang rendah” juga karena jiwanya.[5]

2. Manusia menurut Psikologi

Manusia sejak semula ada dalam suatu kebersamaan, ia senantiasa berhubungan dengan manusia-manusia lain dalam wadah kebersamaan, persahabatan, lingkungan kerja, rukun warga dan rukun tetangga, dan bentuk-bentuk relasi sosial lainnya. Dan sebagai partisipan kebersamaan sudah pasti ia mendapat pengaruh lingkungannya, tetapi sebaliknya ia pun dapat mempengaruhi dan memberi corak kepada lingkungan sekitarnya. Manusia dilengkapi antara lain cipta, rasa, karsa, norma, cita-cita dan nurani sebagai karakteristik kemanusiaannya, kepadanya diturunkan pula agama agar selain ada relasi dengan sesamanya, juga ada hubungan degan sang pencipta.[6]

a. Manusia menurut psikologi Barat

Bertolak dari pengertian psikologi sebagai ilmu yang menelaah perilaku manusia, para ahli psikologi umumnya berpandangan bahwa kondisi ragawi, kualitas kejiwaan, dan situasi lingkungan merupakan penentu-penentu utama perilaku dan corak kepribadian manusia. Determinan tri-dimentional organo-biologi, psiko-edukasi dan sosiokultural in dapat dikatakan dianut oleh semua ahli di dunia psikologi dan psikiatri. Dalam hal ini untuk ruhani sama sekali tak masuk hitungan, karena dianggap termasuk dimensi kejiwaan dan merupakan penghayatan subjektif semata-mata.

Selain itu psikologi, apapun alirannya menunjukkan bahwa filsafat manusia yang mendasarinya bercorak anthroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala pengalaman dan relasi-relasinya serta penentu utama segala peristiwa yang menyangkut masalah manusia dan kemanusiaan. Pandangan ini menyangkut derajat manusia ke tempat teramat tinggi, ia seakan-akan prima causa yang unik. Pemilik akal budi yang sangat hebat, serta memiliki pula kebebasan penuh untuk berbuat apa yang dianggap baik dan sesuai baginya.

Sampai dengan penghujung abad XX ini terdapat empat aliran besar psikologi:
- Psikoanalisis (psychoanalysis)
- Psikologi perilaku (behavior psychology)
- Psikologi humanistik (humanistic psychology)
- Psikologi transpersonal (transpersonal psychology)

Masing-masing aliran meninjau manusia dari sudut pandang berlainan dan dengan metodologi tertentu berhasil menentukan berbagai dimensi dan asas tentang kehidupan manusia, kemudian membangun teori dan filsafat mengenai manusia.[7]

Menurut Freud, kepribadian manusia terdiri dari 3 kategori : aspek biologis (struktur ID), psikologis (struktur ego), dan sosiologis (struktur super ego). Dengan pembagian 3 aspek ini maka tingkatan tertinggi kepribadian manusia adalah moralitas dan sosialitas, dan tidak menyentuh pada aspek keagamaan, lebih lanjut Freud menyatakan bahwa tingkatan moralitas digambarkan sebagai tingkah laku yang irasional, sebab tingkah laku hanya mengutamakan nilai-nilai luas, bukan nilai-nilai yang berada dalam kesadaran manusia sendiri.[8]

Teori Freud ini banyak mendapat kecaman dari psikolog lain, Paul Riccoeur misalnya menyatakan bahwa teori Freud telah memperkuat pendapat orang-orang atheis, tetapi ia belum mampu menyakinkan atau membersihkan imam orang-orang yang beragama.

Psikolog lain yang membantah teori Freud adalah Allport, menurutnya pemeluk agama yang sholeh justru mampu mengintegrasikan jiwanya dan mereka tidak pernah mengalami hambatan-hambatan hidup secara serius. Ringkasnya perlu adanya aspek agama dalam memahami kepribadian manusia.[9]

b. Manusia menurut psikologi Islam

Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa teori Freud tentang kepribadian manusia mendapat kecaman, maka ditawarkanlah manusia dalam perspektif psikologi Islam.

Penentuan struktur kepribadian tidak dapat terlepas dari pembahasan substansi manusia, sebab dengan pembahasan substansi tersebut dapat diketahui hakikat dan dinamika prosesnya. Pada umumnya para ahli membagi subtansi manusia atas jasad dan ruh, tanpa memasukkan nafs. Masing-masing aspek yang berlawanan ini pada prinsipnya saling membutuhkan, jasad tanpa ruh merupakan substansi yang mati, sedang ruh tanpa jasad tidak dapat teraktualisasi, karena saling membutuhkan maka diperlukan perantara yang dapat menampung kedua naluri yang berlawanan, yang dalam terminologi psikologi Islam disebut dengan nafs. Pembagian substansi tersebut seiring dengan pendapat Khair al-Din al-Zarkaly yang di rujuk dari konsep Ikhwan al-Shafa.

1) Substansi jasmani

Jasad adalah substansi manusia yang terdiri atas struktur organisme fisik. Organisme fisik manusia lebih sempurna di banding dengan organisme fisik makhluk-makhluk lain. Setiap makhluk biotik lahiriyah memiliki unsur material yang sama, yakni terbuat dari unsur tanah, api, udara dan air.[10]

Jisim manusia memiliki natur tersendiri. Al-Farabi menyatakan bahwa komponen ini dari alam ciptaan, yang memiliki bentuk, rupa, berkualitas, berkadar, bergerak dan diam serta berjasad yang terdiri dari beberapa organ. Begitu juga al-Ghazali memberikan sifat komponen ini dengan dapat bergerak, memiliki ras, berwatak gelap dan kasar, dan tidak berbeda dengan benda-benda lain. Sementara Ibnu Rusyd berpendapat bahwa komponen jasad merupakan komponen materi, sedang menurut Ibnu Maskawaih bahwa badan sifatnya material, Ia hanya dapat menangkap yang abstrak. Jika telah menangkap satu bentuk kemudian perhatiannya berpindah pada bentuk yang lain maka bentuk pertama itu lenyap.[11]

2) Substansi rohani

Ruh merupakan substansi psikis manusia yang menjadi esensi kehidupannya. Sebagian ahli menyebut ruh sebagai badan halus (jism latief), ada yang substansi sederhana (jaubar basiib), dan ada juga substansi ruhani (jaubar ruhani). Ruh yang menjadi pembeda antara esensi manusia dengan esensi makhluk lain. Ruh berbeda dengan spirit dalam terminologi psikologi, sebab term ruh memiliki arti jaubar (subtance) sedang spirit lebih bersifat aradh (accident).

Ruh adalah substansi yang memiliki natur tersendiri. Menurut Ibnu Sina, ruh adalah kesempurnaan awal jisim alami manusia yang tinggi yang memiliki kehidupan dengan daya. Sedang bagi al-Farabi, ruh berasal dari alam perintah (amar) yang mempunyai sifat berbeda dengan jasad.[12]

Menruut Ibnu Qoyyim al-Jauzy menyatakan pendapatnya bahwa, roh merupakan jisim nurani yang tinggi, hidup bergerak menembusi anggota-anggota tubuh dan menjalar di dalam diri manusia. Menurut Imam al-Ghazaly berpendapat bahwa roh itu mempunyai dua pengertian : roh jasmaniah dan roh rihaniah. Roh jasmaniah ialah zat halus yang berpusat diruangan hati (jantung) serta menjalar pada semua urat nadi (pembuluh darah) tersebut ke seluruh tubuh, karenanya manusia bisa bergerak (hidup) dan dapat merasakan berbagai perasaan serta bisa berpikir, atau mempunyai kegiatan-kegiatan hidup kejiwaan. Sedangkan roh rohaniah adalah bagian dari yang ghaib. Dengan roh ini manusia dapat mengenal dirinya sendiri, dan mengenal Tuhannya serta menyadari keberadaan orang lain (kepribadiam, ber-ketuhanan dan berperikemanusiaan), serta bertanggung jawab atas segala tingkah lakunya.

Prof. Dr. Syekh Mahmoud Syaltout mengatakan bahwa roh itu memang sesuatu yang ghaib dan belum dibukakan oleh Allah bagi manusia, akan tetapi pintu penyelidikan tentang hal-hal yang ghaib masih terbuka karena tidak ada nash agama yang menutup kemungkinannya.[13]

KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat kami simpulkan terdapat poin-poin penting, yaitu :
1. Manusia terdiri dari 2 substansi yaitu substansi jasad dan substansi roh
2. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi.
3. Hakikat psikologi Islam dapat dirumuskan yaitu kajian Islam yang berhubungan dengan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia agar secara sadar ia dapat membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI
Dr. Rifaat Syauqi Nawawi, MA., dkk., Metodologi Psikologi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.
Bustanuddin Agus, al-Islam, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta, 1993.
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995.
Abdul Mujib, M.Ag, dan Yusuf Muzakir, M.Si., Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Jamaluddin Kafie, Psikologi Dakwah, Offset Indah, Surabaya, 1993.







[1] Q.S. 95 : 4
[2] Q.S. 2 : 30
[3] Dr. Rifaat Syauqi Nawawi, MA., dkk., Metodologi Psikologi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hal. 3
[4] Bustanuddin Agus, al-Islam, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta, 1993, hal. 18-19
[5] Dr. Rifaat Syauqi Nawawi, MA., dkk., op.cit., hal. 5-7
[6] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hal. 48
[7] Ibid., hal. 49
[8] Abdul Mujib, M.Ag, dan Yusuf Muzakir, M.Si., Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 70
[9] Ibid., hal. 71
[10] Ibid., hal. 38-40
[11] Ibid., hal. 41
[12] Ibid., hal. 41-42
[13] Jamaluddin Kafie, Psikologi Dakwah, Offset Indah, Surabaya, 1993, hal. 15-16