Rabu, 31 Oktober 2012

Hukum Khitan dalam Islam

Khitan secara bahasa artinya memotong. Secara terminologis artinya memotong kulit yang menutupi alat kelamin lelaki (penis). Dalam bahasa Arab khitan juga digunakan sebagai nama lain alat kelamin lelaki dan perempuan seperti dalam hadist yang mengatakan "Apabila terjadi pertemuan dua khitan, maka telah wajib mandi" (H.R. Muslim, Tirmidzi dll.).
Dalam agama Islam, khitan merupakan salah satu media pensucian diri dan bukti ketundukan kita kepada ajaran agama. Dalam hadist Rasulullah s.a.w. bersabda:"Kesucian (fitrah) itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memendekkan kumis dan memotong kuku" (H.R. Bukhari Muslim).
Faedah khitan: Seperti yang diungkapkan para ahli kedokteran bahwa khitan mempunyai faedah bagi kesehatan karena membuang anggota tubuh yang yang menjadi tempat persembunyian kotoran, virus, najis dan bau yang tidak sedap. Air kencing mengandung semua unsur tersebut. Ketika keluar melewati kulit yang menutupi alat kelamin, maka endapan kotoran sebagian tertahan oleh kulit tersebut. Semakin lama endapan tersebut semakin banyak. Bisa dibayangkan berapa lama seseorang melakukan kencing dalam sehari dan berapa banyak endapan yang disimpan oleh kulit penutup kelamin dalam setahun. Oleh karenanya beberapa penelitian medis membuktikan bahwa penderita penyakit kelamin lebih banyak dari kelangan yang tidak dikhitan. Begitu juga penderita penyakit berbahaya aids, kanker alat kelamin dan bahkan kanker rahim juga lebih banyak diderita oleh pasangan yang tidak dikhitan. Ini juga yang menjadi salah satu alasan non muslim di Eropa dan AS melakukan khitan.

Dalam fikih Islam, hukum khitan dibedakan antara untuk lelaki dan perempuan. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum khitan baik untuk lelaki maupun perempuan.

Hukum khitan untuk lelaki:
Menurut jumhur (mayoritas ulama), hukum khitan bagi lelaki adalah wajib. Para pendukung pendapat ini adalah imam Syafi'i, Ahmad, dan sebagian pengikut imam Malik. Imam Hanafi mengatakan khitan wajib tetapi tidak fardlu.
Menurut riwayat populer dari imam Malik beliau mengatakan khitan hukumnya sunnah. Begitu juga riwayat dari imam Hanafi dan Hasan al-Basri mengatakan sunnah. Namun bagi imam Malik, sunnah kalau ditinggalkan berdosa, karena menurut madzhab Maliki sunnah adalah antara fadlu dan nadb. Ibnu abi Musa dari ulama Hanbali juga mengatakan sunnah muakkadah.
Ibnu Qudamah dalam kitabnya Mughni mengatakan bahwa khitan bagi lelaki hukumnya wajib dan kemuliaan bagi perempuan, andaikan seorang lelaki dewasa masuk Islam dan takut khitan maka tidak wajib baginya, sama dengan kewajiban wudlu dan mandi bisa gugur kalau ditakutkan membahayakan jiwa, maka khitan pun demikian.
Dalil yang Yang dijadikan landasan bahwa khitan tidak wajib.
1. Salman al-Farisi ketika masuk Islam tidak disuruh khitan;
2. Hadist di atas menyebutkan khitan dalan rentetan amalan sunnah seperti mencukur buku ketiak dan memndekkan kuku, maka secara logis khitan juga sunnah.
3. Hadist Ayaddad bib Aus, Rasulullah s.a.w bersabda:"Khitan itu sunnah bagi lelaki dan diutamakan bagi perempuan. Namun kata sunnah dalam hadist sering diungkapkan untuk tradisi dan kebiasaan Rasulullah baik yang wajib maupun bukan dan khitan di sini termasuk yang wajib.
Adapun dalil-dalil yang dijadikan landasan para ulama yang mengatakan khitab wajib adalah sbb.:
1. Dari Abu Hurairah Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa nabi Ibrahim melaksanakan khitan ketika berumur 80 tahun, beliau khitan dengan menggunakan kapak. (H.R. Bukhari). Nabi Ibrahim melaksanakannya ketika diperintahkan untuk khitan padahal beliau sudah berumur 80 tahun. Ini menunjukkan betapa kuatnya perintah khitan.
2. Kulit yang di depan alat kelamin terkena najis ketika kencing, kalau tidak dikhitan maka sama dengan orang yang menyentuh najis di badannya sehingga sholatnya tidak sah. Sholat adalah ibadah wajib, segala sesuatu yang menjadi prasyarat sholat hukumnya wajib.
3. Hadist riwayat Abu Dawud dan Ahmad, Rasulullah s.a.w. berkata kepada Kulaib: "Buanglah rambut kekafiran dan berkhitanlah". Perintah Rasulullah s.a.w. menunjukkan kewajiban.
4. Diperbolehkan membuka aurat pada saat khitan, padahal membuka aurat sesuatu yang dilarang. Ini menujukkan bahwa khitab wajib, karena tidak diperbolehkan sesuatu yang dilarang kecuali untuk sesuatu yang sangat kuat hukumnya.
5. Memotong anggota tubuh yang tidak bisa tumbuh kembali dan disertai rasa sakit tidak mungkin kecuali karena perkara wajib, seperti hukum potong tangan bagi pencuri.
6. Khitan merupakan tradisi mat Islam sejak zaman Rasulullah s.a.w. sampai zaman sekarang dan tidak ada yang meninggalkannya, maka tidak ada alasan yang mengatakan itu tidak wajib.

Khitan untuk perempuan
Hukum khitan bagi perempuan telah menjadi perbincangan para ulama. Sebagian mengatakan itu sunnah dan sebagian mengatakan itu suatu keutamaan saja dan tidak ada yang mengatakan wajib.
Perbedaan pendapat para ulama seputar hukum khitan bagi perempuan tersebut disebabkan riwayat hadist seputar khitan perempuan yang masih dipermasalahkan kekuatannya.
Tidak ada hadist sahih yang menjelaskan hukum khitan perempuan. Ibnu Mundzir mengatakan bahwa tidak ada hadist yang bisa dijadikan rujukan dalam masalah khitan perempuan dan tidak ada sunnah yang bisa dijadikan landasan. Semua hadist yang meriwayatkan khitan perempuan mempunyai sanad dlaif atau lemah.
Hadist paling populer tentang  khitan perempuan adalah hadist Ummi 'Atiyah r.a., Rasulllah bersabda kepadanya:"Wahai Umi Atiyah, berkhitanlah dan jangan berlebihan, sesungguhnya khitan lebih baik bagi perempuan dan lebih menyenangkan bagi suaminya". Hadist ini diriwayatkan oleh Baihaqi, Hakim dari Dhahhak bin Qais. Abu Dawud juga meriwayatkan hadist serupa namun semua riwayatnya dlaif dan tidak ada yang kuat. Abu Dawud sendiri konon meriwayatkan hadist ini untuk menunjukkan kedlaifannya. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Talkhisul Khabir.
Mengingat tidak ada hadist yang kuat tentang khitan perempuan ini, Ibnu Hajar meriwayatkan bahwa sebagian ulama Syafi'iyah dan riwayat dari imam Ahmad mengatakan bahwa tidak ada anjuran khitan bagi perempuan.
Sebagian ulama mengatakan bahwa perempuan Timur (kawasan semenanjung Arab) dianjurkan khitan, sedangkan perempuan Barat dari kawasan Afrika tidak diwajibkan khitan karena tidak mempunyai kulit yang perlu dipotong yang sering mengganggu atau menyebabkan kekurang nyamanan perempuan itu sendiri.

Apa yang dipotong dari perempuan
Imam Mawardi mengatakan bahwa khitan pada perempuan yang dipotong adalah kulit yang berada di atas vagina perempuan yang berbentuk mirip cengger ayam. Yang dianjurkan adalah memotong sebagian kulit tersebut bukan menghilangkannya secara keseluruhan. Imam Nawawi juga menjelaskan hal yang sama bahwa khitan pada perempuan adalah memotong bagian bawah kulit lebih yang ada di atas vagina perempuan.
Namun pada penerapannya banyak kesalahan dilakukan oleh umat Islam dalam melaksanakan khitan perempuan, yaitu dengan berlebih-lebihan dalam memotong bagian alat vital perempuan. Seperti yang dikutib Dr. Muhammad bin Lutfi Al-Sabbag dalam bukunya tentang khitan bahwa kesalahan fatal dalam melaksanakan khitan perempuan banyak terjadi di masyarakat muslim Sudan dan Indonesia. Kesalahan tersebut berupa pemotongan tidak hanya kulit bagian atas alat vital perempuan, tapi juga memotong hingga semua daging yang menonjol pada alat vital perempuan, termasuk clitoris sehingga yang tersisa hanya saluran air kencing dan saluran rahim. Khitan model ini di masyarakat Arab dikenal dengan sebutan "Khitan Fir'aun". Beberapa kajian medis membuktikan bahwa khitan seperti ini bisa menimbulkan dampak negatif bagi perempuan baik secara kesehatan maupun psikologis, seperti menyebabkan perempuan tidak stabil dan mengurangi gairah seksualnya. Bahkan sebagian ahli medis menyatakan bahwa khitan model ini juga bisa menyebabkan berbagai pernyakit kelamin pada perempuan.
Seandainya hadist tentang khitan perempuan di atas sahih, maka di situ pun Rasulullah s.a.w. melarang berlebih-lebihan dalam menghitan anak perempuan. Larangan dari Rasulullah s.a.w. secara hukum bisa mengindikasikan keharaman tindakan tersebut. Apalagi bila terbukti bahwa berlebihan atau kesalahan dalam melaksanakan khitan perempuan bisa menimbulkan dampak negatif, maka bisa dipastikan keharaman tindakan tersebut.
Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas beberapa kalangan ulama kontemporer menyatakan bahwa apabila tidak bisa terjamin pelaksanaan khitan perempuan secara benar, terutama bila itu dilakukan terhadap anak perempuan yang masih bayi, yang pada umumnya sulit untuk bisa melaksanakan khitan perempuan dengan tidak berlebihan, maka sebaiknya tidak melakukan khitan perempuan. Toh tidak ada hadist sahih yang melandasinya.

Waktu khitan
Waktu wajib khitan adalah pada saat balig, karena pada saat itulah wajib melaksanakan sholat. Tanpa khitan, sholat tidak sempurna sebab suci yang yang merupakan syarat sah sholat tidak bisa terpenuhi.
Adapun waktu sunnah adalah sebelum balig. Sedangkan waktu ikhtiar (pilihan yang baik untuk dilaksanakan) adalah hari ketujuh seytelah lahir, atau 40 hari setelah kelahiran, atau juga dianjurkan pada umur 7 tahun. Qadli Husain mengatakan sebaiknya melakuan khitan pada umur 10 tahun karena pada saat itu anak mulai diperintahkan sholat. Ibnu Mundzir mengatakan bahwa khitan pada umut 7 hari hukumnya makruh karena itu tradisi Yahudi, namun ada riwayat bahwa Rasulullah s.a.w. menghitan Hasan dan Husain, cucu beliau pada umur 7 hari, begitu juga konon nabi Ibrahim mengkhitan putera beliau Ishaq pada umur 7 hari.

Walimah artinya perayaan. Ibnu Hajar menukil pendapat Imam Nawawi dan Qadli Iyad bahwa walimah dalam tradisi Arab ada delapan jenis, yaitu : 1) Walimatul Urush untuk pernikahan; 2) Walimatul I'dzar untuk merayakan khitan; 3) Aqiqah untuk merayakan kelahiran anak; 4). Walimah Khurs untuk merayakan keselamatan perempuan dari talak, konon juga digunakan untuk sebutan makanan yang diberikan saat kelahiran bayi; 5) Walimah Naqi'ah untuk merayakan kadatangan seseorang dari bepergian jauh, tapi yang menyediakan orang yang bepergian. Kalau yang menyediakan orang yang di rumah disebut walimah tuhfah; 6) Walimah Wakiirah untuk merayakan rumah baru; 7) Walimah Wadlimah untuk merayakan keselamatan dari bencana; dan 8) Walimah Ma'dabah yaitu perayaan yang dilakukan tanpa sebab sekedar untuk menjamu sanak saudara dan handai taulan.
Imam Ahmad meriwayatkan hadist dari Utsman bin Abi Ash bahwa walimah khitan termasuk yang tidak dianjurkan. Namun demikian secara eksplisit imam Nawawi menegaskan bahwa walimah khitan boleh dilaksanakan dan hukumnya sunnah memenuhi undangan seperti undangan lainnya.

Senin, 29 Oktober 2012

Atambua 39 derajat Celcius Film Dokumenter Terbaik Indonesia

Atambua 39 derajat Celcius garapan Sutradara terbaik Indonesia Riri Riza diproduseri Mira Lesmana (Miles) merupakan Film Dokumenter bersetting di Kota Atambua.
Film yang pengambilan gambarnya dimulai pada April 2012 lalu tersebut berjudul Atambua 39 Derajat Celsius.

Film yang menyorot cerita penduduk di sisi perbatasan Atambua, Nusa Tenggara Timur, Indonesia dengan Timor Leste tersebut disebut-sebut sebagai film dengan biaya terendah yang pernah digarap oleh Mira Lesmana.

Atambua sendiri merupakan suatu daerah di Nusa Tenggara Timur yang mayoritas penduduknya berasal dari eksodus besar-besaran penduduk Timor Leste pada 1999. Hingga saat ini, masih ada sebagian penduduk yang diselimuti rasa trauma karena terpisah dari anggota keluarga yang memilih hidup di Timor Leste.

Sinopsis Atambua 39 Derajat Celcius berkisah soal seorang pemuda bernama Joao yang terpisah dari Ibunya sejak umur tujuh tahun karena dibawa sang Ayah, Ronaldo, pindah ke Atambua setelah referendum 1999. Sementara itu, Ibu dan dua adik Joao tinggal di Liquica, Timor Leste.

Setelah tinggal di Atambua, Joao menghabiskan waktu menjadi tukang ojek dan bermalas-malasan dengan gerombolan teman remajanya. Sementara itu, Ronaldo merupakan supir bus antar kota yang sering mabuk sampai akhirnya dipecat oleh atasannya. Ada pula Nikia, seorang gadis yang ada di Atambua guna menyelesaikan ritual duka kematian kakeknya dan kemudian menjadi dekat dengan Joao.

Tabloid Bintang pernah mengabarkan bahwa Atambua 39 Derajat Celsius ini dibuat dengan biaya Rp 1,2 miliar. Sebagai perbandingan, film Laskar Pelangi, yang juga merupakan hasil kolaborasi Riri Riza dan Mira Lesmana, dieksekusi dengan dana Rp 8 miliar.

Sebagian biaya untuk menggarap Atambua 39 Derajat Celsius didapat melalui situs pengumpulan dana massal dalam negeri, Wujudkan.com. Dari target Rp 300 juta, film tersebut berhasil menjaring Rp 312. 837.000 dari 102 donatur pada 31 Mei 2012.

Selain itu, kru film yang memiliki durasi 80 menit ini pun tidak besar, hanya empat belas orang dengan tambahan delapan penduduk asli Timor. Sekumpulan pemeran Atambua 39 Derajat Celsius juga merupakan penduduk asli Timor, bahkan bahasa yang digunakan pun merupakan bahasa asli Tetun dan Porto.

Patut digarisbawahi bahwa film ini juga sudah mendapat tempat untuk mengikuti kompetisi utama di festival film Tokyo yang telah diadakan pada 20 sampai 28 Oktober 2012 dan festival film Rotterdam pada 23 Januari hingga 3 Februari 2013.

Trailer Atambua 39 Derajat Celsius dapat disaksikan di sini.

Kamis, 25 Oktober 2012

Bacaan Takbiran Lengkap dan Sempurna

Takbir umumnya:


الله اكبر- الله اكبر- الله اكبر لااله الاالله والله اكبرالله اكبر ولله الحمد


Allaahu akbar.. Allaahu akbar.. Allaahu akbar.....
Laa - ilaaha - illallaahu wallaahu akbar.
Allaahu akbar walillaahil - hamd.

Artinya :

Allah maha besar (3X)
Tiada Tuhan selain Allah
Allah maha besar
Allah maha besar dan segala puji bagi Allah.

Bacaan Takbir yang sempurna:


َاللهُ اكبَر كَبيْرًا والحَمدُ للهِ كثِيرًا وَسُبحَانَ اللهِ بُكرَةً واَصِيلا, لااله اِلااللهُ ولانعْبدُ الاإيّاه, مُخلِصِينَ لَه الدّ يْن, وَلَو كَرِهَ الكَا فِرُون, وَلَو كرِهَ المُنَافِقوْن, وَلَوكرِهَ المُشْرِكوْن, لاالهَ اِلا اللهَ وَحدَه, صَدَق ُوَعْدَه, وَنَصَرَ عبْدَه, وَأعَزّجُندَهُ وَهَزَمَ الاحْزَابَ وَاحْدَه, لاالهَ اِلاالله وَاللهُ اَكبر, اللهُ اكبَرُ وَِللهِ الحَمْد


Allaahu akbar kabiiraa walhamdulillaahi katsiiraa,...
wasubhaanallaahi bukrataw - wa ashillaa.
Laa - ilaaha illallallahu walaa na'budu illaa iyyaahu mukhlishiina lahuddiin walau karihal - kaafiruun, walau karihal munafiqun, walau karihal musyrikun. Laa - ilaaha - illallaahu wahdah, shadaqa wa'dah, wanashara 'abdah, - wa - a'azza - jundah, wahazamal - ahzaaba wahdah. Laa - ilaaha illallaahu wallaahu akbar. Allaahu akbar walillaahil - hamd.

Artinya:

Allah maha besar dengan segala kebesaran,
Segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya,
Dan maha suci Allah sepanjang pagi dan sore.
Tiada Tuhan selain Allah dan kami tidak menyembah selain kepada-Nya dengan memurnikan agama Islam meskipun orang kafir, munafiq dan musyrik membencinya.
Tiada Tuhan selain Allah dengan ke Esaan-Nya. Dia menepati janji, menolong hamba dan memuliakan bala tentara-Nya serta melarikan musuh dengan ke Esaan-Nya.
Tiada Tuhan selain Allah, Allah maha besar. Allah maha besar dan segala puji bagi Allah.(*)
Description: Lafadz Bacaan Takbir Lengkap Rating: 4.5 Reviewer: Berita Online - ItemReviewed:Lafadz Bacaan Takbir Lengkap

Selasa, 23 Oktober 2012

Mengapa disebut hari TARWIYAH, ARAFAH, dan YAUMUN NAHR?

قال ابن عباس رضي الله تعالى عنهما : لما كانت ليلة التروية ونام, رأى في المنام من يقول: يا إبراهيم أوف بنذرك, فلما أصبح أخذ يتر وى: أي يتفكر أهو من الله أم من الشيطان؟ فلذا سمى يوم التروية, فلما أمسى رأى ثانيا في المنام, فلما أصبح عرف أنه من الله, ولذا سمى ذلك اليوم يوم عرفة, واسم ذلك المكان عرفات, ثم رأى في الليلة الثالثة مثله, فهم بنحره, ولذا سمى يوم النحر,

Ibnu 'Abas ra. Menjelaskan: "pada malam tarwiyah (hari ke 8 dzulhijjah), Nabi Ibrahim tidur dan ada orang berkata dalam mimpinya: "hai Ibrahim, penuhilah nadzarmu. Maka esok harinya iapun berfikir, mengingat-ingat, dan adakah mimpi semalam itu dari Allah ataukah dari syetan? Itulah sebabnya disebut hari TARWIYAH. Dan pada malam berikutnya, ia mimpi yang kedua kalinya dengan impian sama, lalu keesokan harinya ia tahu pasti/yakin bahwa mimpi itu jelas dari Alloh swt. Maka disebutlah dengan hari ARAFAH, sedangkan tempatnya di padang Arafah. Kemudian pada malam ketiganya, ia mimpi lagi dengam mimpi serupa, lalu iapun bertekad bulat untuk memenuhi nadzarnya, menyembelih anaknya, itulah sebabnya keesokan harinya disebut dengan YAUMUN NAHR (hari menyembelih kurban).

Jumat, 19 Oktober 2012

Peran Agama dalam Kehidupan Manusia

Agama merupakan sebuah keniscayaan untuk mengembalikan manuasia pada rel dan fitrah hidupnya sebagai manusia sekaligus citra dari Tuhan. Agama memang masih menjadi sumber nilai, semangat dan institusi terakhir untuk membangun dan mencari makna hidup. Jika seni berperan menjadikan kehidupan lebih halus dan indah, iptek menjadikan kehidupan lebih mudah, maka dengan agama, manusia hidup lebih terarah dan bermakna (Hidayat. 2003: 36).
Di samping nilai dan peran agama di atas, bahwasanya substansi agama untuk manusia adalah sebagai kekuatan pembebas, agama menawarkan sekumpulan nilai, ajaran, visi, dan ketentuan normatif. Namun pada urutanya adalah manusia sebagai aktor yang memiliki kebebasan untuk merespon  tawaran- tawaran agama. Jadi yang beragama adalah manusia, dan yang hendak dilayani oleh pesan moral keagamaan sesungguhnya juga manusia. Dengan demikian pada ahirnya manusia memerlukan agama untuk meningkatkan kualitas hidupnya sendiri, bukan agama yang memerlukan manusia. Dengan logika ini, maka agama hendak membantu manusia untuk melakukan aksi pencerahan dan aksi pembebasan manusia dari situasi keterpenjaraan eperti penjara profesi, kemiskinan, kekayaan, komunalisme dan lain sebagainya.
Secara garis besar, definisi mengenai peran agama (fungsi-substansi) dalam kehidupan manusia antara lain sebagai berikut (Hidayat. 2003: 36): (1) Peran sosial. Sebagaimana kita fahami agama lahir bukan hanya untuk kepentingan personal, karana ia lahir ditengah-tangah fenomena masyarakat. Tentunaya ada peran-peran sosial yang wajib ada dalam “agama”. Maka peran agama di sini adalah apa saja yang mejalankan fungsi agama di masyarakat. Berjalanya proses kelomok dalam kelompok agama. Substansi dari peran ini adalah perumusan ajaran agama yang resmi, konsesnsus tentang kepercayaan dan praktik, sikap di hadapan publik yang diambil greja, sinagog, madzab, dan sekte. (2) Peran personal. Dalam hal ini, peran agama adalah apa saja yang meliputi dan memenuhi tujuan keagamaan individu; seperti memberikan makna, mengurangi rasa bersalah, menambah rasa bersalah, memberikan bimbingan moral, membantu menghadapi maut dan lain sebagainya. Substansi dari peran ini adalah kepercayaan individu yang khusus, kesadaran personal akan adanya yang sakral, transenden dan Illahi.

Rabu, 17 Oktober 2012

Teori Max Weber: Hubungan antara Agama dan Ekonomi

Agama merupakan sistem sosial yang sudah terlembaga dalam setiap masyarakat. Secara mendasar agama menjadi norma yang mengikat dalam keseharian dan menjadi pedoman dari sebagian konsep ideal. Ajaran-ajaran agama yang telah dipahami dapat menjadi pendorong kehidupan individu sebagai acuan dalam berinteraksi kepada Tuhan, sesama manusia maupun alam sekitarnya. Ajaran itu bisa diterapkan dalam mendorong perilaku ekonomi, sosial dan budaya (Nasir, 1999: 45-47).
Agama dan etos kerja memang memiliki wilayah yang berbeda. Agama bergerak dalam dimensi ritual, sedang bekerja atau usaha adalah berdimensi duniawi untuk mencari nafkah hidup. Namun, pada wilayah yang lain, agama dan etos kerja memiliki relevansi yang cukup signifikan sebagai salah satu motivasi spiritual menuju tambahan nilai kebaikan dan amal bagi keluarga dan orang lain.
Sejarah membuktikan bahwa pemikiran agama sangat berpengaruh bagi perkembangan aspek material (kehidupan di dunia ini), baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Atau dengan kata lain, ada hubungan yang sangat signifikan antara kemajuan dalam bidang pemikiran (immaterial) dan kemajuan dalam bidang material. 
Untuk menggambarkan bagaimana relevansi pemahaman agama dengan perilaku ekonomi maka  ada Teori Max Weber  yaitu Die Protestantische Ethik und der “Geist” des Kapitalismus (1905), menjelaskan bahwa ada peranan yang besar bahwa nilai-nilai agama pramodern dalam proses modernisasi. 
Weber mengatakan “Cavinisme”, terutama sekte puritanisme, melihat kerja sebagai Beruf atau panggilan. Kerja tidak hanya sekedar pemenuhan keperluan, tetapi suatu tugas yang suci (Weber, 1905:20). Sikap hidup keagamaan menurut doktrin ini, kata Weber, ialah “askese duniawi” (innerweltliche Askese, innerwordly ascesticism), yaitu intensifikasi pengabdian agama yang dijalankan dalam kegairahan kerja sebagai gambaran dan pernyataan dari manusia yang terpilih. Dalam kerangka pemikiran teologis seperti ini, maka “semangat kapitalisme” yang bersandarkan kepada cita ketekunan, hemat, berperhitungan, rasional, dan sanggup menahan diri, menemukan pasangannya. Sukses hidup yang dihasilkan oleh kerja keras bisa pula dianggap sebagai pembenaran bahwa ia, si pemeluk, adalah orang yang terpilih.

Teori Max Weber (1864-1924) dalam bukunya Die Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism menjelaskan bahwa:
pemikiran agama sangat berpengaruh bagi perkembangan aspek material (kehidupan di dunia ini), baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Atau dengan kata lain, ada hubungan yang sangat signifikan antara kemajuan dalam bidang pemikiran (immaterial) dan kemajuan dalam bidang material. 
Weber menganalisis bahwa perubahan masyarakat Barat menuju kemajuan ekonomi tidak hanya disebabkan oleh kelompok bisnis dan pemodal. Dalam penelitiannya, sebagian dari nilai keberagamaan Protestan memiliki aspek rasionalitas ekonomi dan nilai-nilai tersebut ditunjukkan pada spirit keagamaan (Max Weber, 2006: 95). Tesis yang diperkenalkannya sejak 1905 mengatakan bahwa ada hubungan antara ajaran agama dengan perilaku  ekonomi (Asifudin, Ahmad Janan , 2004: 157). 
Apa yang dikatakan Weber dalam tesisnya ”Etika  Protestan” rupanya memiliki kongruensi dengan yang terjadi di Islam. Taufik Abdullah (1979) dalam bukunya Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi mengatakan bahwa “etika” yang dipancarkan oleh Al-Qur’an hampir takberbeda jauh dengan yang disebut Weber “etika Protestan: jujur, kerja keras, berperhitungan, dan hemat”. 
Dari teori di atas dapat disimpulkan sebuah teori, yang akan dijadikan landasan berfikir dalam penelitian ini yaitu semakin tinggi pemahaman agama seseorang maka akan semakin maju pula dalam perilaku ekonominya, dan akan maju pula tingkat kesejahteraan seseorang. Sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan dapat dipengaruhi oleh seberapa besar tingkat pemahaman keagamaan dan perilaku ekonominya. 

Daftar Pustaka:
- Abdullah, Taufik (ed.). 1986. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES. Yayasan Obor dan LEKNAS-LIPI.

- Asifudin, Ahmad Janan. 2004. Etos Kerja Islami Surakarta: Universitas Muhammadiyah.

- Nasir, Nanat Fatah. 1999. Etos Kerja Wirausahawan Muslim. cet. I Bandung: Gunung Jati Press.

Weber, Max. 1905. Die Protestantische Ethik und der “Geist” des Kapitalismus. diterjemahkan oleh Talcott Parson. 1959. The Protestant Ethic and the spirit of capitalism, , New York: Char Les Scribner’s Son. (terjemahan Yusuf Priyasudiarja. 2002. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Surabaya: Pustaka Promethea).

Kamis, 04 Oktober 2012

Pengertian Wali, Asal Makna Wali dan Pembagian Wali



KH. Djamaluddin Ahmad Jombang menerangkan, Kata wali, ٌوَلِيّ dapat berasal dari wazan ٌفَعِيْل  dengan arti kata ٌمَفْعُوْل. sehingga  وليّ bermakna "yang dicintai", yaitu orang yang urusannya dilindungi Allah. seperti Firman Allah:
وهو يتولى الصاليحين
“Dan Dia Allah SWT yang mengendalikan segala urusan orang-orang yang salih, dengan memberikan pertolongan kepada mereka”. (al-A’raf: 196)

============================================
contoh: قَتِيْلٌ =  bermakna "orang yang dibunuh"
============================================

dan juga,  وَلِيّ berasal dari wazan ٌفَعِيْل  dengan makna mubalaghah, "yang benar-benar cinta"
Firman Allah:
الله ولي الذين آمنوا
“Allah SWT benar-benar cinta orang-orang yang beriman”.

============================================
contoh: عَلِيْمٌ=bermakna "yang benar-benar mengetahui"
============================================


Dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 62 sampai 64 itu disebutkan, persyaratan untuk menjadi wali hanya dua saja (beriman dan bertaqwa). Dari ayat inilah kemudian para ulama menyimpulkan tentang konsep waliyatul amanah atau kewalian secara umum, ada juga yang mengistilahkannya dengan waliyatut tauhid.
Secara konseptual, terdapat berbagai tingkatan pada para wali, yaitu :
1. Walayatul Haqqullah. Istilah haq yang disandarkan kepada Allah SWT itu mengandung beberapa pengertian. Dalam istilah haq Allah SWT itu tercermin pengertian pesan, ajaran dan perintah Allah SWT. Karenanya haqqullah bisa diartikan dengan syari’ah Allah SWT. Jadi Auliya pada tingkatan ini adalah mereka yang sudah mampu menjalankan syari’at Allah SWT secara kaffah, yaitu secara komprehensif dan istiqomah. Jadi tidak ada konsep kewalian yang justru mengabaikan aspek syari’ah. Kecuali itu, istilah haqqullah juga mengacu pada realitas wujud yang tertinggi. Jadi kewalian dalam tingkatan ini adalah mereka yang sudah mampu berintegrasi dengan realitas yang tertinggi, yaitu Allah SWT, pengertian berintegrasi ini tentunya harus mengacu pada apa yang dikonsepsikan oleh para sufi itu sendiri. Ada yang mengkonsepsikan dengan makrifah, ada yang menyebutnya ittihad, hulul dan lainnya.
2. Waliyullah. Tidak digandengkan dengan istilah haq lagi. Tingkatan ini untuk menggambarkan bahwa sang wali itu, bukan berarti tidak lagi berpegang pada syari’at. Tetapi perhatian dan orientasinya sudah pada substansi, bukan lagi berkutat pada aspek formal dari syari’ah. Jadi dia sudah sampai pada tingkat merasakan inti atau substansi dari syari’at. Dalam konteks ini, Imam asy-Syatibi mengistilahkan dengan hikmah syari’at. Orang pada level ini adalah mereka yang sudah mencapai ghaayatush-shidqi fil-‘ibadah, pucak kesungguhan dalam beribadah. Dia sudah mencapai taraf optimal dalam kualitas ibadahnya. Ia sudah jauh melampaui batas minimal.
3. Al-Munibbuun. Yaitu orang-orang yang sudah senantiasa mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah SWT. Dia sudah berhasil menekan egonya, sudah dapat menekan kepentingan-kepentingan pribadinya, persepsinya tentang hal-hal duniawi sudah jernih. Orang seperti ini sudah mendekati karakter malaikat. Ada juga disebut muqarrabin, yaitu orang-orang sudah benar-benar dekat dengan Allah SWT itu dekat. Tetapi kita baru sampai pada tarap kognitif, tarap pemahaman betul kita tidak pernah mengubah pendirian bahwa Allah SWT itu dekat. Saya yakin betul. Tetapi kita belum merasakan kedekatannya. Nah, wali al-muqarrabun ini selalu dapat merasakan kedekatannya kepada Allah SWT, dalam seluruh waktunya dan dalam sepanjang hidupnya.
4. Al-Mufariduun. Pada level ini berarti sang wali sudah mencapai taraf menyendiri bersama Allah SWT untuk dapat memahami tingkatan ini mungkin kita perlu analogi. Misalnya ada yang hendak bertemu kepada seseorang yang sudah dikenalnya. Kalau yang masih tergolong ‘am, kehendaknya itu kan baru pada taraf minimal. Kita kenal seseorang, kita tahu siapa namanya, tahu pekerjaannya, tahu bagaimana karakternya, tahu di mana rumahnya. Baru sebatas ini, kalau pada level berikutnya, misalnya: o ya kita sudah sampai ke pekarangan rumahnya, bahkan sudah dipersilahkan masuk. Tapi kalau pada tingkat al-muqarrabuun, o kita bukan sudah dipersilahkan masuk, tapi kita sudah diajak ke ruang tengah. Kita sudah diajak berbicara, hanya saja belum bertemu langsung dengannya. Sebab dia masih berada dibalik hijan. Nah, kalau tingkatan al-mufariduun, pemilik rumah sudah menampakkan diri. Bukan sekedar dekat bersamanya, tapi sudah berduaan dengannya.
5. Khatamul Walaayah. Ini juga disebut kutubul auliya, poros tertinggi dari kewalian. Kalau pada tingkatan ini bukan sekedar berduaan. Kalau berduaankan masih bisa dibedakan antara dirinya dengan Tuhannya. Jadi masih ada pemisah, kita dan Dia, atau kita dengan Engkau. Sementara pada tingkatan ini antara hamba dan Tuhan itu sudah benar-benar menyatu, tidak ada lagi pemisah.

Kalau melihat dari pembahasan di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa untuk mengetahui wali itu terlalu sulit bagi kita, kita mungkin hanya bisa mengetahui sekedar mengenai konsep, sehingga dari konsep itulah kita bisa mengenalnya secara teori yaitu walayatul haqqullah, waliyullah, al-muniibuun, al-muqarrabuun, al-mufarriduun, khatamul walaayah. Tapi semua itu tidak terlepas dari syar’iah, artinya meskipun mendapat kedudukan yang bagaimana pun tingginya di sisi Allah SWT masih tetap menjalankan ajaran syari’ah, karena di dalam al-Qur’an wali adalah orang yang bertaqwa dan beriman.
Contoh Nabi, meskipun beliau sudah di ma’fu (ma’shum) dari segala dosanya, tapi ibadahnya tak mau kalah dengan orang-orang yang bertaubat nasuha, karena hal semacam itu beliau lakukan untuk memuji atau bersyukur pada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Burnawi, Ahmad Najib, Tarekat Tanpa Tarekat, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2002.
Massignon, Louis, dan Mustafa Abdur Razid, Islam dan Tasawwuf, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001.
Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, PT. Bina Ilmu, Pare-Pare, 1976.